Depresi pasca melahirkan tentu bisa dirasakan oleh siapa pun juga, tak terkecuali diri Anda. Sebabnya memang beragam, terutama kurangnya dukungan dari keluarga terdekat.
Bullying pemicu depresi pasca melahirkan
Cantik, seksi, menarik, wanita mana yang tidak menginginkan semua itu? Ironisnya, penampilanlah yang membuat diriku pernah terpuruk akibat depresi pasca melahirkan. Inilah kisahku.
Namaku Nur Yanayirah, anak ketiga dari tiga bersaudara. Aku lahir 8 Januari 1987 di suatu kota di Jawa Barat. Aku lahir di tengah keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang, kadang mungkin berlebihan.
Aku tumbuh di tengah lingkungan di mana citra adalah sesuatu yang utama. Citra yang baik akan membuat seseorang merasa bangga karena dipandang dan dikagumi masyarakat. Sedangkan citra yang buruk akan membuat seseorang makin terpuruk dan dianggap rendah oleh sekitarnya.
Bukannya aku mau menjelek-jelekkan orang-orang yang telah melahirkan dan membesarkan aku. Namun kedua orangtuaku sering khawatir berlebihan tentang sesuatu yang buruk akan menimpa diriku.
Kedua orangtua sangat khawatir aku mendapat citra buruk karena saat SMA tubuhku sedikit subur daripada teman-teman sebayaku. Di sekolah mereka sering memanggilku ‘si ondel-ondel’ atau ‘badut’ karena aku gemuk.
Aku tahu teman-temanku hanya bercanda, tapi aku sedih karena selalu jadi sasaran olok-olok. Perasaan ini berkembang jadi rasa tertekan karena keluarga di rumah kadang juga melontarkan sindiran yang sama dengan teman-temanku di sekolah.
Rasa tertekan saat remaja juga diperparah oleh pelecehan seksual yang pernah menimpaku di angkot yang aku naiki sepulang sekolah.
Syukurlah selepas SMA aku berhasil bebas dari bullying. Kebebasan itu aku dapatkan setelah aku sering menjadi bahan eksperimen dosenku di Akademi Gizi untuk mata kuliah food combining. Hasilnya, aku bisa menurunkan berat badan sampai 25 kg dalam waktu 2 tahun.
Penampilanku kini lebih sempurna, bertolak belakang dari apa yang mereka hinakan padaku dulu. Akan tetapi, rasa tertekan dan takut tidak bisa tampil sempurna belum benar-benar hilang dari dasar hatiku.
Awal cobaan
Suatu saat aku bertemu sesosok pria yang tampan dan lemah lembut. Ia mencintaiku apa adanya, bukan karena penampilanku. Aku pun mencintainya dan kami menikah di tahun 2009 setelah beberapa saat menjalin kasih.
Seperti pasangan pengantin baru lainnya, hari-hari kami lalui dengan bahagia. Kebahagiaan kami makin berlipat setelah tahu aku hamil. Tak sabar rasanya hati menanti kehadirannya di tengah-tengah keluarga kami, dan menimangnya dalam pelukanku.
Apa boleh buat, di tahun 2011 calon bayi kami meninggal dalam kandungan pada minggu ke-26 kehamilan karena kelainan genetik.
Bukan pengiburan yang aku dapat dari orang-orang di sekitarku setelah kepergian bayi kami. Melainkan tudingan bahwa dirikulah yang menyebabkan bayi kami meninggal. Mereka bilang sel telurku buruk dan aku tak becus menjaga kandunganku.
Kesedihan dan rasa tertekan yang dulu pernah kurasakan saat SMA timbul kembali. Aku berusaha menghilangkannya dengan bersikap tabah. Aku tak menyangka bahwa suatu saat rasa tertekan ini akan meledak pada suatu fase dalam kehidupanku.
Masalah penampilan kembali menghantui
Tak berapa lama setelah kejadian tragis itu, aku hamil lagi. Syukurlah bayi kami lahir dengan selamat, meski melalui operasi caesar. Bayi kami perempuan dan sangat cantik, kami memberinya nama Hana.
Aku mengira kelahiran bayi kedua kami akan menghapus rasa sedih akibat meninggalnya bayi pertama kami. Kenyataannya, rasa tertekan makin menjadi-jadi karena perbedaan pandangan antara aku, suami dan keluarga kami.
Aku dan suami bersepakat memberi ASI eksklusif buat Hana. Tapi kerabat kami berpendapat, menyusui hanya akan merusak penampilanku karena payudara akan jadi kendur.
Mereka juga bilang, ibu teladan adalah yang berhasil menjadi langsing dalam waktu singkat setelah melahirkan. Seorang istri wajib menjaga penampilan agar tetap menarik dan pandai mengurus rumah, supaya suami tidak berpaling ke wanita lain.
Menurut mereka, bayi sebaiknya diberi susu formula agar cepat gemuk dan aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti biasa. Aku memaksakan diri untuk beraktivitas demi mematuhi saran mereka. Akibatnya, plester anti air yang menutup luka bekas operasi robek berulang kali.
Kami tidak tahu ternyata Hana alergi susu formula. Ia sempat mondok di rumah sakit karena diare. Di sisi lain, aku mengalami kelelahan secara fisik dan psikis. Badanku sering meriang dan ASI tidak lancar.
Selain itu, aku juga sering tidak bisa tidur dan mudah marah. Ada saat-saat di mana aku merasa dadaku terasa sesak dan hendak meledak.
Aku benturkan kepalaku ke tembok karena sudah tak tahan lagi. Bahkan aku pernah ingin mengakhiri hidupku dengan minum cairan pembersih lantai.
Atas saran suamiku kami mengunjungi seorang dokter laktasi untuk berkonsultasi tentang ASI-ku yang kurang lancar. Aku masih ingat, saat itu Hana berumur 40 hari. Dokter laktasi melihat tanganku gemetaran saat menggendong Hana. Ia bilang, mungkin aku mengalami sindrom baby blues.
Setelah kunjungan itu aku googling tentang sindrom baby blues dan bergabung dengan beberapa komunitas media sosial yang concern terhadap kesehatan jiwa ibu. Di antaranya adalah Komunitas Mamma Mia dan Komunitas Peduli Trauma.
Aku mendirikan Peduli Kesehatan Jiwa Ibu Perinatal Indonesia sebagai bentuk kepedulianku mengatasi masalah depresi pasca melahirkan dalam masyarakat.
Depresi pasca melahirkan, pengtingnya nencari bantuan profesional
Aku dan suami sering mengikuti pertemuan yang diadakan Komunitas Peduli Trauma. Dalam pertemuan itu kami berkenalan dengan Dede Mustafa, seorang hipnoterapis profesional.
Saat Hana berusia 9 bulan aku mendengar suara-suara yang menyuruhku menyerahkan Hana pada orang lain. Di lain kesempatan suara-suara itu juga menyuruhku menceburkan diri ke dalam danau dekat rumah.
Psikolog yang kami datangi mengatakan apa yang aku alami sudah bukan lagi sindrom baby blues. Menurutnya, aku mengalami depresi pasca melahirkan dengan kecenderungan postpartum psikosis.
Hasil diagnosa psikolog membuat kami tergerak untuk menemui Pak Dede kembali. Aku menjalani hipnoterapi di bawah bimbingan Pak Dede secara berkala.
Selain itu aku juga mengikuti konseling, EFT (Emotional Freedom Technique) dan konsultasi pernikahan. Lama-lama aku menyadari apa pemicu depresi yang aku alami.
Trauma yang aku alami karena bullying di masa SMA ternyata belum usai sepenuhnya. Aku bisa bilang begitu karena aku tetap merasa sedih dan marah setiap kali ada orang yang mengatakan aku gendut (padahal semua ibu yang baru melahirkan ya pasti gendut, ya nggak sih?).
Namun, pemicu terbesar tetaplah rasa kehilangan akibat meninggalnya bayi kami. Pertanyaan besar mengapa ia harus pergi dan juga penyesalan terus membayangi.
Ini masih ditambah lagi dengan stres karena ASI tidak lancar plus konflik keluarga. Semua bergabung menjadi satu dan mendatangkan kegelapan. Tapi, itu dulu.
Melapangkan hati
Aku tahu aku tak bisa mengatur apa yang dikatakan orang tentang diriku. Yang bisa aku ubah adalah caraku bereaksi terhadap omongan mereka. Maka aku memilih melapangkan hatiku, memaafkan mereka yang sering mengatakan hal buruk tentang diriku.
Aku sadar, memikirkan omongan orang hanya akan membuang waktu dan menyiksa hatiku sendiri. Sedangkan aku punya seorang suami yang mencintaiku dengan tulus. Aku juga punya Hana, juga adiknya yang sekarang masih berada dalam kandunganku.
Setelah 1,5 tahun akhirnya aku terbebas dari depresi pasca melahirkan. Kini aku merasa duniaku lebih luas, hatiku lebih tenang, rumah tanggaku lebih harmonis dan hidupku terasa lebih indah.
Seorang ibu tetaplah manusia biasa yang memiliki keterbatasan dan bantuan, terutama ibu yang baru saja melahirkan. Jangan anggap ia lemah, manja ataupun malas jika tampak bersedih dan kelelahan sepanjang hari, karena bisa saja ia sedang mengalami depresi pasca melahirkan.
Aku juga berharap pemerintah melalui Departemen Kesehatan meningkatkan edukasi dan sosialisasi, agar masyarakat memahami bagaimana cara memperlakukan ibu yang baru melahirkan.
Ini perlu kita lakukan bersama agar tidak ada lagi kasus penyiksaan atau pembunuhan bayi oleh ibunya sendiri, seperti yang sering kita lihat di televisi akibat depresi pasca melahirkan dan postpartum psikosis.
Parents, aku harap apa yang telah aku alami bisa menjadi pencerahan bagi Anda semua dan membuka mata kita tentang apa itu depresi pasca melahirkan.
(Nur Yanayirah adalah founder Peduli Kesehatan Jiwa Ibu Perinatal Indonesia dan volunteer Postpartum Support International).
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.