Pandemi memang membawa dampak di segala bidang termasuk pernikahan. Selain angka perceraian yang meningkat, angka pernikahan anak di bawah umur juga tinggi selama pandemi. Mengapa hal ini bisa terjadi dan apa korelasi antara pandemi dan pernikahan anak?
Baru-baru ini publik dihebohkan dengan pemberitaan pernikahan anak lelaki berusia 16 tahun dengan anak perempuan berusia 12 tahun yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Video pernikahan mereka pun viral di berbagai platform media sosial dan menjadi pembicaraan warganet.
Setelah diusut, pernikahan anak di Lombok itu ternyata diselenggarakan atas desakan keluarga anak perempuan. Mereka tak terima anak gadisnya pulang malam, diantar oleh teman lelakinya yang baru dikenal empat hari. Atas nama menjaga kehormatan keluarga, pasangan muda-mudi itu pun dinikahkan.
Angka Pernikahan Anak yang Tinggi Merupakan Dampak Nyata Pandemi
Pernikahan dua pelajar SMP di Lombok
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Kesehatan dan Kesejahteraan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rohika Kurniadi memberi tanggapan terkait peristiwa itu. Ia mengatakan bahwa kejadian tersebut merupakan dampak nyata dari pandemi Covid-19 yang saat ini terjadi.
“Anak (dianggap) tidak belajar, pacaran mulu. Itu realita di masa pandemi. Di beberapa daerah menjadi sesuatu yang menggoyahkan perspektif perkawinan anak,” ujar Rohika dilansir Suara.com (22/9/2020).
Pernyataan Rohika didukung oleh atau UNFPA serta data lama dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018. UNFPA adalah organisasi pembangunan internasional yang fokus terhadap isu kesehatan seksual dan reproduksi. UNFPA bahkan memprediksi pernikahan anak akan bertambah sebanyak 13 juta kasus secara global hingga 10 tahun ke depan akibat pandemi Covid-19.
Sementara di Indonesia, sebelum ada pandemi pun angka pernikahan anak di Indonesia sudah sangat tinggi. BPS mencatat angka pernikahan anak di Indonesia mencapai angka 10,82 % pada tahun 2019.
Apa Korelasi Antara Pandemi dan Pernikahan Anak?
Selama pandemi, fungsi sekolah di Indonesia sedikit banyak telah berkurang. Menurut Rohika, hal ini memberikan dampak yang berbeda-beda terutama di daerah dengan fasilitas teknologi yang tak segesit di kota-kota besar di Pulau Jawa.
Jika sebelumnya anak menghabiskan waktu hingga delapan jam sehari di sekolah, kini mereka harus belajar secara jarak jauh selama hanya dua jam. Inilah yang membuat anak memiliki banyak waktu luang.
Anak-anak yang beranjak remaja memilih bermain atau berpacaran, alih-alih tetap bertahan di rumah untuk menjaga kesehatan.
Pada posisi ini, Rohika mengatakan banyak orangtua bingung bagaimana cara mengisi waktu luang anak, apalagi untuk para orangtua yang bekerja. Mereka yang pendek akal akan mencari solusi praktis. Dari pada pacaran baiknya nikahkan saja, pikir mereka.
“Orangtua semakin pendek mencari solusi, sudah tidak berpikir panjang, solusi yang diambil tidak memperhitungkan buruknya. Paham menikah usia anak itu buruk digoyahkan lagi, beberapa anak juga mempunyai kerenggangan dengan orangtua,” jelas Rohika.
Di sisi lain, Rohika juga menyinggung bagaimana banyaknya permohonan dispensasi atau keringanan batas usia menikah untuk anak yang masih di bawah 19 tahun.
“Di daerah banyak yang menyampaikan ini kenapa kok banyak yang memohonkan dispensasi kawin, sebagian besar didominasi umur 18 hingga 19, ada juga yang berumur di bawah itu 16,17,18 tahun,” ungkapnya.
Sebagai Orangtua, Apa yang Harus Kita Lakukan?
Melihat fenomena ini, lantas bagaimana kita harus menyikapinya sebagai orangtua?
Psikolog Anak dan Keluarga Samanta Ananta, M.Psi berkali-kali mengatakan bahwa pernikahan perlu pertimbangan. Samanta menganalogikan pernikahan sebagai organisasi terkecil dalam sebuah negara.
“Pasangan yang belum dewasa dan matang, menikah karena kondisi terpaksa akan berdampak besar terhadap kesehatan mental, organ reproduksi serta bagaimana nilai moral dalam masyarakat,” ungkap Samantha dilansir Suara.com.
Samanta juga mengingatkan pentingnya pernikahan legal yang dicatat negara, bukan semata sah secara agama.
“Maka penting prosesi menikah disaksikan oleh lembaga hukum yang bertanggungjawab,” tuturnya.
Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan orangtua sebelum menikahkan anak menurut Samanta:
- Pertama, orangtua perlu mengetahui perkembangan anaknya baik secara mental, fisik hingga finansial.
- Kedua, orangtua harus tahu dan menanyakan kebutuhan anak akan pernikahan yang akan ia jalani.
- Ketiga, orangtua sebisa mungkin menguasai bagaimana cara berkomunikasi dengan anak.
- Yang terakhir, orangtua bersedia mencari pertolongan dan mencari informasi sebanyak-banyaknya sebelum memutuskan menikahkan anak yang masih di bawah umur.
Baca juga:
5 Hal yang Wajib Diketahui Seputar Hukum Anak yang Lahir dari Pernikahan Siri
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.