Apakah Parents menyadari bahwa semakin banyak orangtua yang menjadikan anak sebagai konten media sosial? Atau apa Parents sendiri pernah melakukannya? Sebenarnya, fenomena anak dijadikan konten sosmed sudah tak asing. Namun, belum banyak orang tua yang memerhatikan hak partisipasi anak, agar tidak berdampak negatif untuk psikologisnya.
Karena itu, Parents perlu mengetahui sejauh mana anak boleh dijadikan konten medsos tanpa memengaruhi psikologisnya.
Daftar isi
Anak Dijadikan Konten Medsos, Benarkah Berdampak Negatif?
Mengenai hal ini, theAsianparent Indonesia berkesempatan untuk mewawancarai Psikolog Anak dan Remaja Irma Gustiana, M.Psi, Psi. Tren atau fenomena anak dijadikan konten medsos sebenarnya sudah tak asing lagi. Apalagi kian banyak peluang bisnis melalui media sosial seperti endorse yang biasanya mengajak serta anak sebagai modelnya.
Menurut Psikolog yang disapa Ayank Irma, tren ini dianggap sebagai cara yang normal untuk mendokumentasikan kegiatan anak melalui media sosial. Misalnya, ketika orang tua mendokumentasikan anak saat sedang beraktivitas seperti biasa.
“Berbagai cerita tentang aktivitas anak dan secara nggak sadar orangtua sudah menjadikan anak objek dalam cerita-ceritanya. Dan memang tiap orang punya caranya masing-masing untuk mengasuh anak. Hanya saja dalam pemanfaatan media sosial, orangtua harus menyadari hak-hak digital anak,” kata Ayank Irma.
Menyadari hak-hak digital anak di sini, diartikan sebagai tidak sembarangan membagikan aktivitas anak di media sosial.
“Jangan sembarangan membagikan aktivitas anak di media digital. Karena anak rentan mengalami cyberbully akibat (salah satunya) postingan yang dibagikan orangtuanya,” lanjut Ayank Irma.
Artikel terkait: 6 Tanda Anak Manja, Ini Penyebab, Cara Mengatasi dan Mencegah
Dampak Negatif dan Positif Bila Anak Dijadikan Konten Medsos
Seperti yang sebelumnya diungkap Psikolog Ayank, tentu ada dampak negatif bila orang tua tidak berhati-hati saat menjadikan anak sebagai objek konten medsos. Selain cyberbullying, anak bisa mengalami ujaran kebencian, hoax, dan lainnya.
“Dampak buruk yang harus diwaspadai orangtua adalah anak bisa terpapar perundungan online (cyberbullying), persekusi online, hoax, ujaran kebencian, pornografi, dan lain sebagainya. Dan tentu saja ini sangat mungkin memengaruhi kesehatan mental anak,” ungkap Ayank Irma.
Meski demikian, ada hal positif yang bisa dirasakan anak saat mengemas konten medsos, apabila orangtua melibatkan anak dengan cara yang tepat. Misalnya, anak dapat berpikir kreatif untuk membuat konten medsos.
“Bila anak setuju dan dilibatkan dalam proses diskusinya, bisa mengembangkan kemampuan berpikir kreatif apalagi jika anak ikut serta berunding tema. Lalu bisa mengembangkan rasa percaya diri dan bakat-bakat lainnya,” ujar Ayank.
Dari sini, bahkan orangtua dapat melihat kemampuan berpikir anak yang kreatif dan open minded terhadap suatu konsep.
Pentingnya Hak Partisipasi Anak
Namun, agar kegiatan ini berdampak positif untuk anak, orangtua sebaiknya memerhatikan betul hak partisipasi anak.
Hak partisipasi anak disini termasuk meminta izin terlebih dahulu ketika melibatkan anak dalam pembuatan konten medsos, mengajak anak berdiskusi tentang apa yang akan dilakukan dan yang akan didapatkan dari aktivitas tersebut. Juga menghargai dan memberikan anak ruang untuk mengekspresikan apapun perasaannya.
Dengan begitu, kegiatan ini dapat memberikan dampak yang baik untuk perkembangan sosial-emosional anak. Karena bila orangtua tidak mementingkan hak partisipasi anak, bukan tidak mungkin anak merasa terpaksa dan akan memengaruhi kualitas emosinya.
“Apalagi jika orangtua tidak mempertimbangkan hak partisipasi anak. Mungkin saja anak sebenarnya tidak pernah menyetujui tapi karena kebutuhan konten dan validasi sosial orangtua, anak merasa terpaksa melakukannya. Akibatnya, akan memengaruhi kualitas emosi dia,” jelas Psikolog yang berpraktik di Klinik Ruang Tumbuh ini.
Bila anak belum bisa diajak berdiskusi tentang apa yang akan dilakukan, misalnya ketika anak masih berusia di bawah 3 tahun, Parents tetap perlu memerhatikan kenyamanan dan keamanan anak saat melibatkannya sebagai objek konten. Misalnya, tidak melakukan saat anak sedang tidak mood, sedang lelah atau lapar. Jangan lupa untuk memerhatikan kebutuhan anak terlebih dahulu.
Artikel terkait: Pendidikan Progresif dan Konvensional: Mana yang Lebih Baik untuk Anak?
Tips Agar Anak Tidak Merasakan Dampak Negatif Sebagai Objek Konten
Meskipun orangtua akan mendapatkan keuntungan dari tren ini, tidak dipungkiri bahwa keamanan dan kenyamanan anak lah yang harus pertama diperhatikan. Karena bagaimanapun, kegiatan ini akan menjadi bagian dari tumbuh kembang anak.
Itulah mengapa Parents perlu memahami apa saja hak anak dalam aktivitas digital, sekaligus menerapkan batasan untuk anak. Sebagai psikolog, Ayank Irma menyarankan agar otangtua tidak memaksa anak untuk melakukan aktivitas digital.
“Orangtua harus paham tentang hak anak dalam hal aktivitas digital. Mengerti batasan, jangan asal posting, menghargai hak anak apalagi bila anak tidak setuju dan tidak ingin terlibat. Jangan paksa anak saat situasi tidak mendukung terutama sedang sakit, sedang ada ulangan, atau hal-hal lain yang privat,” tutup Ayank Irma.
Jadi, meskipun anak bisa bersenang-senang saat membuat konten medsos bersama orang tua, Parents harus memerhatikan hal diatas, ya.
Semoga informasi ini bermanfaat untuk Parents!
Baca juga
id.theasianparent.com/membentak-anak-perlukah-ibu-melakukannya
Membesarkan anak generasi Alpha, ini tantangannya buat Parents!
Pelecehan anak bisa melalui internet, ini langkah yang perlu Parents lakukan