Pernikahan dini masih banyak terjadi di daerah-daerah terpencil di Indonesia, terutama dalam keluarga yang memiliki kemampuan ekonomi rendah.
Menurut data dari BPS dalam penelitiannya didukung oleh UNICEF, menyebutkan bahwa perkawinan usia anak masih cukup tinggi di Indonesia. Secara global, ada 700 juta perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, bahkan 250 juta diantaranya menikah sebelum genap berusia 15 tahun.
Berjuang untuk tidak jadi korban pernikahan dini
Jerat pernikahan dini juga hampir menimpa Sanita, perempuan muda asal Desa Sanetan, Rembang, Jawa Tengah. Pengalaman tersebut membuat Sanita kini berjuang untuk hak pendidikan bagi perempuan, dan berusaha membebaskan anak perempuan dari jerat pernikahan dini.
Sanita baru berusia 13 tahun ketika orangtuanya berusaha menjodohkan dia dengan pemuda anak tetangga sebelah rumah. Saat itu dia baru kelas 2 SMP, kesulitan ekonomi membuat orangtua Sanita berharap bisa mengurangi beban finansial dengan menikahkan putri mereka.
“Aku menegaskan pada orangtuaku bahwa aku ingin melanjutkan sekolah ke SMA, dan tidak mau menikah. Akhirnya mereka mengiyakan dengan berat hati,” ungkap Sanita seperti dikutip dari Cewek Banget.
Untuk sesaat, Sanita bisa tenang menjalani pendidikannya. Namun dua tahun kemudian, saat usianya 15 tahun. Ide tentang perjodohan itu kembali dilontarkan, dengan calon lelaki yang sama. Kali ini, Sanita kembali dihadapkan oleh pertentangan batin.
Di satu sisi, ia tidak ingin menyakiti kedua orangtuanya dengan menolak perjodohan tersebut. Di sisi lain, Sanita ingin meneruskan kuliah dan tidak ingin menikah dalam usia muda. Kemudian, dengan mengumpulkan segenap keberanian, Sanita berbicara kepada orangtuanya.
“Aku tanya, berapa uang yang mereka habiskan untuk menyekolahkanku sampai saat ini. Kemudian aku bilang, kalau mereka mengizinkanku untuk kuliah, aku akan mengembalikan uang yang telah mereka keluarkan untukku. Aku juga berjanji akan memberikan apa yang mereka inginkan,” kata Sanita.
“Aku pun menjelaskan, kalau aku menikah, aku enggak bisa melakukan hal itu karena nantinya aku harus memikirkan suami dan mertua juga, enggak hanya memikirkan bapak dan ibu,” tambahnya.”Setelah itu, orangtuaku pun luluh dan mengizinkanku untuk lanjut kuliah.”
Kini, Sanita telah berusia 22 tahun dan sedang menjalani tahun terakhirnya di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YPPI Rembang. Juli mendatang dia akan menjalani wisuda dan menyandang predikat sarjana Ilmu Manajemen SDM.
Tidak hanya berhasil melanjutkan pendidikan dengan beasiswa, Sanita juga berjuang agar gadis-gadis lain tidak jatuh ke dalam jerat pernikahan dini.
Berjuang di level internasional
Pada bulan Mei 2017 lalu, Sanita mewakili Indonesia dalam forum internasional the Asian Development Bank’s 5th Annual Asian Youth Forum di Jepang. Di sana, dia menyampaikan pentingnya menyelamatkan anak-anak perempuan di Asia dari bahaya pernikahan dini karena masalah ekonomi.
Sebelumnya, Sanita juga pernah menjadi Duta Pemberdayaan Ekonomi di Belanda pada tahun 2014.
Sanita memperjuangkan hak anak-anak perempuan atas pendidikan.
Fokus utama Sanita ialah, memberikan edukasi pada penduduk desa terpencil dimana ia tinggal. Agar tidak meneruskan tradisi menikahkan anak di bawah umur. Sanita telah melihat banyak dampak buruk dari pernikahan dini yang dijalani teman-temannya.
“Banyak teman sebayaku yang menikah di bawah usia 18 tahun. Temanku yang menikah di usia 15 tahun meninggal ketika berumur 16 tahun saat masih hamil 7 bulan. Ada juga satu temanku yang menikah lalu bercerai dengan alasan enggak cocok. Rata-rata mereka yang menikah muda itu juga kurang bahagia, karena pernikahan itu enggak selalu seindah di bayangan mereka.”
Untuk itulah, Sanita berjuang agar anak-anak perempuan memperoleh hak untuk menempuh pendidikan. Juga memiliki pilihan sendiri apakah ia ingin menjalani pernikahan atau tidak.
“Aku tidak ingin ada anak-anak yang menikah dengan terpaksa atau menikah di bawah umur. Aku mau memberi tahu ke anak-anak perempuan itu kalau menikah bukan solusi utama, malah menambah masalah-masalah lain yang lebih besar. Pendidikan adalah yang utama, bukan pernikahan,” jelasnya.
Sanita berjuang keras agar jumlah anak perempuan yang jadi korban pernikahan dini di Rembang bisa berkurang.
“Dalam usaha untuk menghentikan pernikahan dini, kita juga perlau memberdayakan para wanita dan anak perempuan. Tidak hanya lewat pendidikan, namun juga lewat pelatihan untuk membuat kemampuan mereka lebih terasah. Seringkali, anak perempuan tidak diberi pendidikan atau pelatihan, sehingga mereka pikir menikah adalah satu-satunya pilihan dalam hidup,” papar Sanita sebagaimana dikutip dari Huffington Post.
Mendirikan Youth Coalition for Girls
Di tahun 2016, Sanita dan teman-temannya sepakat untuk mendirikan sebuah koalisi yang memperjuangkan hak perempuan atas pendidikan. Koalisi tersebut bernama Youth Coalition for Girls. Kini, anggotanya telah mencapai lebih dari 80 orang yang berasal dari 20 organisasi anak muda seluruh Indonesia.
Koalisi yang digagas oleh Sanita ini mendesak pemerintah untuk mengubah hukum perkawinan. Agar usia yang legal untuk menikah bagi perempuan adalah 18 tahun, bukan 16 tahun.
“Tujuan utama dari Youth Coalition for Girls adalah untuk mendorong hak-hak asasi perempuan dan kesetaraan gender,” ujar Sanita.
Menghadiri Asian Youth Forum, membuka mata Sanita bahwa anak muda di Asia Pasifik menghadapi problema yang sama di negara mereka masing-masing. Yakni pernikahan anak, akses pendidikan, dan sulitnya mendapatkan pekerjaan.
“Kami harus bekerjasama untuk memastikan bahwa semua anak perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam hidup mereka. Tidak boleh ada anak yang putus sekolah dan menikah di usia 13 tahun. Nasib yang hampir saja menimpaku jika saja aku tidak berdiri tegak menuntut masa depan lebih baik untuk diriku sendiri,” pungkasnya.
Baca juga:
Kisah Kriti Bharti, Perempuan yang Berjuang Menghapuskan Pernikahan Anak di India
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.