Modus baru penculikan anak
Parents, pernahkah Anda mendengar tentang digital kidnapping atau penculikan anak digital? Penculikan anak ini memang tidak seperti penculikan anak pada umumnya.
Para penculik itu tidak membawa anak-anak kita pergi; tapi mengambil foto dan data diri anak-anak kita. Mereka kemudian menyatakan kepada semua pengguna media sosial bahwa foto yang mereka pajang adalah anak-anak mereka.
Sebagai orangtua, sangatlah penting untuk selalu berhati-hati, saat mengunggah apapun di internet.
Memang maksud kita baik, ingin berbagi kebahagiaan, momen-momen indah. Tanpa kita sadari, anak-anak menjadi target penculikan anak digital.
Peristiwa Ruben Onsu yang melapor ke polisi bahwa foto anaknya disebar dan ditawarkan di dunia maya mungkin mengingatkan kita akan contoh kasus penculikan anak melalui internet.
Di luar negeri, penculikan anak digital ini digunakan dengan maksud dan tujuan berbeda. Di sana tindakan ini juga dikenal dengan nama baby role-playing (bermain pura-pura menjadi bayi).
Pelaku penculikan anak digital, akan mengambil foto-foto para pengguna media sosial dan mengunggah kembali gambar tersebut dengan akun palsu
Para penculik data anak ini biasanya mengganti nama anak-anak pada foto yang mereka “culik”.
Kemudian membuat kronologi cerita baru, memberi gambaran apa yang si kecil suka atau tidak suka, sekaligus memberi gambaran apa yang menjadi kebiasaan si kecil.
Malah kadang mereka juga membuat akun atas nama baru si kecil, dan menjawab komentar pada foto-foto curian tersebut dengan bahasa bayi.
Kasus semacam ini pernah menimpa seorang blogger bernama Lindsey Paris, pemilik situs blog Red Head Baby Mama.
Suatu hari ia mengecek kronologi halaman Facebooknya di tahun 2012. Salah seorang fansnya yang memberikan tanda suka ternyata menggunakan foto anak Lindsey sebagai foto profil. Pemilik akun itu mengaku sebagai ibu dari anak Lindsey.
Meski sangat marah, tapi Lindsey mencoba untuk mengirim pesan pribadi kepada pengguna tersebut. Ia meminta si pengguna untuk menghapus foto bayi Lindsay dari akunnya.
Dua hari kemudian, pengguna tersebut menjawab dan mengaku sebagai seorang gadis berusia 16 tahun yang selalu mendambakan memiliki bayi laki-laki bertopi merah.
Penculikan anak digital memang tidak menyakiti anak secara langsung; tapi beberapa akun pelaku penculikan tersebut senang sekali membicarakan masalah seksual dan kekerasan pada anak dengan terang-terangan
Psikiatris Gail Saltz berkata pada Fastcompany.com , umumnya para penculik tersebut menyembunyikan identitas aslinya; jadi sangatlah sulit untuk melacak siapa dan di mana lokasi mereka.
Umumnya penculik yang mengaku adalah para gadis remaja. Biasanya mereka bermain pura-pura sebagai ibu si bayi bersama dengan teman atau saudara kembar mereka.
Uniknya, latar belakang para gadis itu biasanya seragam. Ada yang datang dari keluarga broken home, orangtua mereka bercerai atau mereka pernah mengalami tindakan kekerasan pada anak-anak.
Penculikan anak digital ini sebenarnya telah hampir 3 tahun terjadi di media sosial, dan terus memburuk.
Memang masalah penculikan anak digital ini tidak langsung menyakiti anak. Tahukah Anda bahwa akun-akun penculik itu ada yang berisi layanan seksual dan kekerasan?
DailyMail menyatakan bahwa akun-akun tersebut sangat menjengkelkan untuk dilihat publik, karena secara eksplisit berbicara tentang penganiayaan fisik dan seksual pada anak.
Tips untuk mencegah penculikan anak secara digital
1. Buat pengaturan akun Anda “privat”
Tentu Parents telah paham, bahwa situs sosial media populer seperti Facebook, Twitter, dan Instagram memiliki pengaturan pribadi (privacy setting).
Fitur ini bisa Parents gunakan untuk mengatur siapa saja yang bisa melihat foto Parents di timeline atau kronologi media sosial. Pertimbangkan untuk mengatur hanya orang tertentu saja yang bisa melihat foto si kecil.
Jangan lupa, hanya setujui permintaan pertemanan atau pengikut (followers) dari orang-orang yang Parents kenal.
2. Beri tanda air (watermark) semua foto Anda
Dengan semakin maraknya aksi pencurian foto, memberi tanda air atau watermark menjadi salah satu jalan yang ditempuh oleh banyak desainer guna melindungi hasil pekerjaan mereka.
Cara ini dapat Parents tiru sebelum Parents mengunggah foto si Kecil ke jejaring media sosial.
Jangan lupa letakkan tanda air di tempat yang tidak bisa di-cropping atau dipotong (misalnya pada foto topi si kecil, atau bagian tengah baju bayi).
Foto-foto dengan tanda air biasanya sudah tidak menarik bagi para pelaku baby role-play yang biasanya menyasar foto-foto dengan definisi tinggi serta obyek yang bersih dari coretan-coretan.
Parents dapat mencoba menggunakan situs Picasa atau Picmark untuk membuat tanda air pada foto-foto anak Anda.
3. Hindari mengunggah foto sekaligus memberikan informasi data pribadi
Pertimbangkan baik-baik saat mengunggah foto yang berisi informasi lokasi keberadaan si kecil saat ini, sekolahnya, atau informasi pribadi lainnya.
Mengunggah foto si kecil saat mengenakan seragam identitas sekolah akan membuat si kecil menjadi target potensial penculikan anak digital. Para penculik akan dengan mudah menelusuri dimana si Kecil bersekolah.
Begitu juga dengan mengunggah foto yang menggambarkan bahwa sekolah si kecil tidak jauh dari rumah tempat tinggal Parents. Foto itu bisa saja digunakan untuk melacak alamat rumah Parents.
Para pelaku baby role-play atau penculikan anak digital ini kebanyakan memang terlihat tidak membahayakan. Ingatlah bahwa beberapa di antara mereka bisa saja bertindak lebih dari apa yang mereka lakukan saat ini.
Cobalah simak video berikut ini untuk mengetahui segala hal tentang digital kidnapping.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.