Parents, sekolah di kecil sudah mulai membahas soal wacana Pembelajaran Tatap Muka (PTM)? Sekolah anak sudah, dan seperti dugaan saya sebelumnya responnya sangat beragam.
“Saya setuju PTM dengan kapasitas maksimal 30% atau sekitar 5-7 anak dengan fasilitas sanitasi kelas dilengkapi dan kelas didisinfektan setiap hari.”
“Saya setuju kapasitas 50% tetapi prosedur penerapan prokesnya kudu jelas dulu.”
“Aku setuju 5 orang tapi belajar di ruang terbuka, kalau di ruang ber-AC mesti dipasang HEPA filter di dalamnya dan prokesnya tegas.”
“Aku masih bingung nih.. soalnya anakku nggak betah duduk diem dan pake masker terus-terusan.”
“Aku kok, kayaknya masih milih PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) ya?”
Begitu pendapat ibu-ibu di kelas anak saya di grup kelas setelah bu guru membagikan link survei jajak pendapat orang tua murid mengenai wacana Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Wacana dan kesiapan untuk menjalani PTM mengemuka dengan pemberlakuan pelaksanaan PPKM level 3, setelah dinilai wilayah DKI Jakarta mengalami penurunan kasus positif COVID-19.
Seiring dengan penurunan angka kasus positif COVID-19, pemerintah melonggarkan pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dari level 4 ke level 3 di beberapa wilayah, termasuk di DKI Jakarta. Dengan pemberlakuan PPKM level 3, terdapat pelonggaran pada beberapa sektor tertentu, termasuk sektor pendidikan.
Bahkan, beberapa sekolah sudah melaksanakan PTM terbatas mulai akhir Bulan Agustus kemarin. Untuk sekolah kedua anak saya, kebetulan saat ini masih dalam proses asesmen untuk mendapatkan persetujuan melaksanakan PTM dari Dinas Pendidikan.
Terus terang saya galau dengan wacana ini. Saya merasa belum siap untuk melepaskan anak saya kembali ke sekolah dan mengikuti PTM. Tetapi di sisi yang lain, kadang saya merasa kasihan dan khawatir dengan perkembangan sosial anak yang sudah sekian lama mengikuti PJJ tanpa ada kesempatan bersosialisasi secara langsung dengan teman-temannya.
Hal yang Masih Masih Perlu Dipertimngkan Terkait Wacana Pembelajaran Tatap Muka
Ada beberapa kekhawatiran yang menjadi ganjalan di kepala saya saat membayangkan bagaimana dan apa yang terjadi saat pelaksanaan PTM.
Pertama, terkait vaksinasi.
Dalam rapat dengan DPR, Menteri Pendidikan mengatakan bahwa vaksinasi bukan lagi menjadi salah satu kriteria penentuan PTM. Artinya PTM berlaku untuk seluruh siswa baik yang sudah divaksin maupun belum divaksin.
Menurut saya, kriteria vaksinasi tetap perlu menjadi pertimbangan, karena vaksinasi ditujukan untuk meningkatkan imunitas kita terhadap virus COVID-19. Memang vaksin tidak menjamin bahwa seseorang tidak akan terpapar virus Corona ini, tetapi setidak-tidaknya apabila terpapar gejala yang dirasakan tidak akan separah apabila belum divaksin.
Untuk anak-anak dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan sudah divaksin PTM perlu dilakukan. Namun untuk anak-anak pada tingkat pendidikan usia dini dan sekolah dasar yang secara usia belum mendapatkan jatah vaksin, mungkin perlu dipertimbangkan lebih lanjut sebelum melaksanakan PTM.
Dihentikannya sementara PTM di sebuah sekolah dasar di Jakarta Selatan karena tidak melaksanakan protokol kesehatan dengan benar, menjadi contoh bahwa pelaksanaan PTM tidak semudah teori. Bagaimana mau mengingatkan dan mengontrol protokol kesehatan pada siswa, sementara gurunya sendiri belum memakai masker secara benar.
Kedua, terkait dengan kondisi anak.
Saat ini kondisi psikologis anak-anak cukup memprihatikan, mereka merasa bosan sekolah dari rumah, kangen dengan teman-teman, guru dan juga lingkungan sekolahnya. Euforia pertemuan secara langsung ini bisa menjadi titik kelalaian mereka terhadap protokol kesehatan.
Pada metode PJJ, kecerdasan interpersonal anak menjadi kurang berkembang. Hal ini yang sebenarnya diharapkan dengan diberlakukannya PTM, agar interaksi anak secara sosial kembali berkembang. Namun tetap saja, dalam kondisi pandemi, interaksi tidak bisa dilakukan seperti dulu saat belum ada pandemi.
Keterbatasan interaksi ini menurut saya menjadi hampir mirip yang terjadi pada metode PJJ. Hanya saja dalam metode PTM anak-anak dapat merasakan suasana dan “feel” sekolah, bertemu dan bercakap terbatas dengan teman-teman dan gurunya.
Ketiga, terkait transportasi.
Sebelum pandemi, anak-anak pergi dan pulang sekolah menggunakan berbagai macam alat transportasi. Ada yang diantar jemput orangtua atau saudara, ada yang menggunakan jasa antar jemput dari pihak sekolah, dan ada juga yang menggunakan kendaraan umum atau ojek baik online maupun ojek konvensional.
Hal ini perlu menjadi pertimbangan berikutnya, mengingat saat ini kita masih dalam kondisi pandemi. Untuk siswa yang masih bisa diantar jemput oleh orangtua atau keluarga pastinya tidak ada masalah. Namun untuk orang tua bekerja, yang saat ini juga sudah harus mulai WFO tentu hal ini menjadi PR tersendiri.
Belum lagi untuk orangtua yang memiliki beberapa anak usia sekolah dengan tingkatan berbeda-beda dan melakukan metode pembelajaran yang berbeda. Seperti misalnya satu anak harus melakukan PTM sementara anak yang lain PJJ. Artinya, orangtua harus mengantar anak yang harus PTM ke sekolah, di waktu yang bersamaan anak yang lain perlu pendampingan PJJ di rumah.
Di sisi yang lain perlu juga dipertimbangkan mekanisme pengantaran dan penjemputan anak di sekolah. Mungkin untuk pengantaran tidak menjadi masalah dengan diberlakukannya sistem drop-off. Namun untuk penjemputan perlu diwaspadai potensi kerumunan yang terjadi karena penumpukan penjemput siswa.
Potensi kerumunan bisa juga disebabkan oleh orang tua yang mengantar sekaligus menunggu anaknya hingga pulang sekolah. Fenomena ini banyak ditemukan di sekolah-sekolah yang muridnya bertempat tinggal cukup jauh dari sekolah. Demi menghemat waktu, tenaga dan bahan bakar orangtua menunggu di sekitar sekolah anak.
Keempat, kondisi sekolah.
Banyak gedung sekolah saat ini yang dibangun dengan kurang memperhatikan ventilasi alami dan lebih mengandalkan pada sistem ventilasi buatan berupa Air Conditioner (AC). Oleh karena itu, bangunan sekolah perlu di-redesain untuk beradaptasi dengan kondisi pandemi ini.
Pada Panduan Sekolah Sehat yang Berbasis Ventilasi Alami yang diterbitkan oleh Green Building Council Indonesia, untuk meminimalkan penularan virus melalui udara, diperlukan ventilasi alami pada setiap bangunan gedung sekolah. Dalam panduan ini dijelaskan beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah dalam melakukan re-desain bangunan sekolah.
Kelima, kondisi guru. Sesuai panduan yang ada di dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 03/KB/2021 tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), PTM dilaksanakan secara bergantian (shift).
Ketentuan ini tentu saja menambah beban guru, harus membagi mata, membagi pikiran, dan membagi perhatian ke dua kelas, satu kelas siswa PTM dan satu kelas siswa PJJ. Guru harus memikirkan metode belajar yang tepat sehingga pembelajaran tetap optimal untuk dua kondisi kelas yang berbeda tersebut.
Dari beberapa aspek tersebut, keputusan diserahkan kembali kepada orangtua untuk memberikan izin atau tidak dalam pelaksanaan PTM. Tentu saja masing-masing orang tua mempunyai pertimbangan tertentu dalam memutuskan sesuai kondisi masing-masing.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.