Dua desa di Kecamatan Jatiluhur yang paling parah terkena dampaknya adalah Desa Cisadala dan Mekargalih. Kepala Desa Cisadala, Endang Supriyadi mengaku sosialisasi imunisasi sangat sulit di daerahnya akibat adanya fatwa vaksin haram dari tokoh agama setempat.
Berita vaksin haram
“Kendalanya di wilayah kami ada fatwa salah satu tokoh agama yang menyatakan bahwa vaksin atau imunisasi ini haram, melanggar syariat. Maka katanya, warga harus menolak vaksin ini,” ujar Endang.
Atas merebaknya kasus difteri ini, sebanyak tujuh pasien kini sedang dalam perawatan di RSUD Bayu Asih, Purwakarta. Dari tujuh pasien tersebut, 1 pasien bernama Ilham meninggal dunia.
Pihak RSUD Bayu Asih kemudian menyatakan kasus ini sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB), “Untuk penyakit ini (difteri) satu kejadian saja sudah bisa disebut KLB,” ujar Deni Dermawan Wakil Direktur RSUD Bayu Asih.
Menurut Deni, penyakit Difteri bisa dicegah dengan memberikan vaksinasi DPT. Namun sosialisasi vaksinasi di desa tersebut tidak berjalan lancar.
“Pasien Ilham yang meninggal tidak pernah divaksin. Lagian di kampung itu vaksinasi kurang berhasil karena sebagian masyarakat menolak, bahkan saat petugas Dinkes datang ke rumahnya langsung, sebagian warga menolak dan menutup pintu,” tutur Deni.
Tingkat keberhasilan imunisasi 68%
Difteri menjadi penyakit yang berbahaya karena mudah menular dan disebabkan bakteri Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans.
Gejala yang ditimbulkan demam dan menggigil, sakit tenggorokan, suara serak, kesulitan bernapas, terjadi pembengkakan kelenjar limfa,hingga hidung beringus yang bisa berubah kental dan mengeluarkan darah.
Karena sudah masuk dalam KLB akhirnya Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memanggil Kepala Dinas Kesehatan Anne Hediana dan Kepala Desa Cisalada Endang Supriyadi ke rumah dinasnya.
Dari situlah Dedi mengetahui penyebab merebaknya wabah difteri di dua desa tersebut.
Kepala Dinas Kesehatan bahkan mengatakan bahwa persentase keberhasilan imunisasi di Desa Cisalada hanya 68% dan jauh dari rata-rata angka keberhasilan wilayah lain di Purwakarta.
Padahal, pendekatan yang maksimal sudah dilakukan, bahkan petugas kesehatan sampai mengetuk satu persatu rumah warga untuk melakukan imunisasi.
Mendengar bahwa adanya penolakan warga terhadap vaksinasi meskipun telah digratiskan, Dedi geleng-geleng kepala.
“Saya tidak habis pikir kalau karena ada pemahaman seperti ini masyarakat setempat malah menutup pintu rumah, mereka menolak imunisasi. Ini kan program nasional untuk perlindungan kesehatan masyarakat.” ujar Dedi.
Memahami penyakit difetri
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae dan Corynebacterium ulcerans. Penyakit ini menyerang selaput lendir dan tenggorokan.
Gejala khas difteri ialah munculnya selaput tebal berwarna putih yang menyelimuti tenggorokan. Bila tidak diatasi dengan cepat dan benar, selaput putih ini akan menyebar dan menghalangi jelannya pernapasan sehingga membuat penderita kesulitan untuk bernapas.
Selain itu, gejala difteri lainnya ialah sakit tenggorokan, demam, kelenjar bengkak, dan lemas.
Dalam kasus yang parah, difteri dapat menyebabkan kerusakan pada organ lainnya seperi jantung, ginjal, dan sistem saraf. Penyakit ini bisa berakibat fatal dan menyebabkan kematian.
Salah satu cara untuk mencegah difteri ialah dengan pemberian vaksin secara rutin. Di Indonesia, vaksin difteri termasuk ke dalam daftar program nasional imunisasi dasar lengkap. Vaksin ini sangat direkomendasikan oleh Kementrian Kesehatan serta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Vaksin difteri tersedia dalam bentuk kombinasi dengan vaksin penyakit lain, yaitu dengan tetanus dan batuk rejan (pertusis) atau dengan tetanus saja.
Dilansir dari Alo Dokter, terdapat 5 jenis vaksinasi difteri yang tersedia, yaitu:
- Vaksinasi DTP, yakni vaksin yang diberikan kepada anak-anak usia di bawah 7 tahun untuk mencegah difteri, tetanus, dan pertusis.
- Vaksinasi DTaP, yakni vaksin pertusis yang dimodifikasi sehingga diharapkan dapat mengurangi efek samping dari vaksin.
- Vaksinasi DT, yakni vaksin yang diberikan kepada anak-anak usia di bawah 7 tahun untuk mencegah difteri dan tetanus.
- Vaksinasi Tdap, yakni vaksin yang diberikan kepada anak-anak dan orang dewasa, usia 11-64 tahun, untuk mencegah tetanus, difteri, dan batuk rejan.
- Vaksinasi Td, yakni vaksin yang diberikan kepada remaja dan dewasa untuk mencegah tetanus dan difteri. Vaksinasi ini disarankan untuk dilakukan sekali tiap 10 tahun.
Penting untuk diketahui adalah bahwa setelah imunisasi DPT biasanya akan timbul demam, bengkak, dan nyeri di tempat bekas suntikan. Ini adalah gejala yang normal dan akan membaik dalam beberapa hari.
Jadi Parents tidak perlu terlalu khawatir dengan keamanannya.
Referensi: Liputan6.com, Alo Dokter
Baca juga
id.theasianparent.comibu-ini-menyesal-telah-menolak-vaksin-bagi-anak-anaknya
Jika Anda punya saran, pertanyaan atau komentar tentang topik ini, silakan bagikan di kolom komentar di bawah atau kunjungi theAsianparent Community untuk tips parenting yang lebih mendalam. Ikuti kami di Facebook dan Google+ untuk tetap up-to-date dalam kabar terbaru dari theAsianparent.com Indonesia!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.