6 Hal yang Perlu Parents Ketahui Soal Vaksin COVID-19 pada Ibu Menyusui
Meski vaksin COVID-19 telah tersedia, siapa saja yang boleh mendapatkannya masih pro dan kontra, tak terkecuali ibu menyusui.
Kehadiran vaksin COVID-19 begitu dinantikan oleh berbagai pihak di belahan dunia. Vaksin ini dianggap sebagai cara paling ampuh untuk mengendalikan pandemi. Lantas, apa artinya bagi Bunda yang baru saja melahirkan? Apakah vaksin COVID-19 untuk ibu menyusui boleh diberikan?
6 Fakta Vaksin COVID-19 untuk Ibu Menyusui
Ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu seputar vaksin COVID-19 untuk ibu menyusui.
1. Vaksin Tidak Diujikan pada Ibu Menyusui
Uji klinis vaksin biasanya tidak mengikutkan partisipan yang hamil atau menyusui hingga vaksin terbukti dapat ditoleransi dengan aman pada individu sehat yang tidak hamil maupun menyusui. Oleh karena vaksin COVID-19 belum pernah ada sebelumnya dan waktu pengembangan masih tergolong singkat, sampai saat ini belum ada satu vaksin pun yang mengikutkan kedua kelompok ini dalam uji klinisnya.
Termasuk vaksin-vaksin yang sudah mendapat otorisasi penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) seperti buatan Sinovac, Sinopharm, AstraZeneca, Moderna, Pfizer-Biotech, dan Novavax. Sebagai konsekuensi, belum ada data seputar keamanan vaksin pada ibu hamil dan menyusui.
Artikel terkait: Bolehkah Ibu Hamil Mendapatkan Vaksin COVID-19?
2. Ada yang Membolehkan, Ada yang Melarang Penggunaannya
Sehubungan dengan tidak adanya data keamanan vaksin COVID-19, penggunaannya pada ibu menyusui masih menuai pro dan kontra. Instansi kesehatan di Britania Raya (UK) menganjurkan untuk menunda vaksinasi hingga masa menyusui selesai.
Sebaliknya, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan American College of Obstetrics and Gynecologists (ACOG) di Amerika Serikat (AS) menyatakan memberikan opsi kepada ibu hamil dan menyusui untuk divaksin.
3. Cara Vaksin Bekerja
Vaksin COVID-19 yang dikembangkan rata-rata dibuat agar mampu menghasilkan spike protein virus penyebab yang dapat memicu respons kekebalan tubuh. Ini merupakan bagian luar virus Corona yang menonjol dan membantunya menginfeksi sel manusia.
Sampai saat ini, vaksin-vaksin COVID-19 yang dikembangkan tidak ada yang mengandung virus hidup atau bersifat menular.
- Vaksin produksi Sinovac, Sinopharm menggunakan virus Corona utuh yang telah diinaktivasi untuk menghasilkan respons kekebalan tubuh.
- Vaksin produksi Novavax dan AstraZeneca mengembangkan struktur spike protein virus secara sintetik. Struktur ini kemudian diikat ke protein pembawa lain saat disuntikkan ke dalam tubuh manusia.
- Lalu, vaksin yang dikembangkan oleh Pfizer dan Moderna terbuat dari nanopartikel lemak, dan mengandung mRNA spike protein virus. Partikel ini disuntikkan ke dalam otot, dan nantinya nanopartikel akan diambil oleh sel otot. Sel otot kemudian ‘menyalin’ kode sandi dalam mRNA untuk memproduksi spike protein, yang selanjutnya memicu respons kekebalan tubuh.
Artikel terkait: 15 Publik Figur Dinyatakan Positif COVID-19 tahun 2020, Banyak yang Tidak Bergejala
4. Belum Diketahui Berapa Lama Vaksin Dapat Melindungi dari Penyakit
Hingga kini, belum diketahui berapa lama vaksin dapat melindungi individu dari COVID-19. Data terkini baru menunjukkan munculnya kekebalan yang signifikan (di atas 85 persen) setelah disuntikkan 2 dosis vaksin COVID-19.
Hingga ada studi lebih lanjut, CDC menganjurkan agar dosis pertama dan kedua vaksin COVID-19 berasal dari produsen yang sama. Individu juga disarankan untuk tidak melakukan vaksinasi untuk penyakit lain dalam waktu 2 minggu sebelum atau 2 minggu setelah mendapatkan vaksin COVID-19.
5. Secara Teori Aman untuk Ibu dan Bayi
Dalam laman resminya, Academy of Breastfeeding Medicine (ABM) memberikan pernyataan bahwa kecil kemungkinan vaksin COVID-19 dapat membahayakan ibu menyusui dan bayinya. Peluang partikel vaksin memasuki aliran darah dan mencapai jaringan payudara ibu menyusui sangat kecil. Kalaupun sampai ada di dalam ASI, partikel ini akan dicerna oleh bayi dan tidak memiliki efek apa pun.
Sebaliknya, antibodi dan sel kekebalan tubuh terhadap COVID-19 yang dipicu oleh adanya vaksin dapat terkandung di dalam ASI dan melindungi bayi. Berdasarkan pengalaman dari vaksinasi virus lain, antibodi IgA umumnya terdeteksi di dalam ASI dalam waktu 5-7 hari setelah vaksinasi.
Artikel terkait: 14 Daftar RS dan Klinik di Jakarta dengan Layanan Swab Test Terjangkau
6. Tidak Perlu Berhenti Menyusui Setelah Divaksin
Baik ABM maupun ACOG seia sekata bahwa risiko teoretis mengenai keamanan vaksin pada ibu menyusui tidaklah melebihi potensi manfaatnya. Atas dasar ini, inisiasi menyusu dini atau penghentian proses menyusui tidak perlu dilakukan ibu yang menerima vaksin COVID-19.
Dari berbagai penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa risiko vaksinasi pada ibu menyusui kemungkinan besar akan rendah. Namun, belum adanya data-data terkait keamanan vaksin pada ibu menyusui membatasi penggunaannya.
Jadi, bila ingin memberikan vaksin COVID-19 untuk ibu menyusui, atau Bunda tergolong ibu menyusui yang ingin divaksin, sebaiknya diskusikan dengan dokter pilihan yang paling sesuai dengan situasi Bunda. Risiko dan manfaat vaksin harus dibandingkan dengan risiko individu untuk tertular COVID-19, risiko mengalami penyakit COVID-19 berat, serta ada tidaknya penyakit atau kondisi yang membuat Bunda tidak boleh divaksin.
Baca juga:
Tok! Presiden Jokowi Gratiskan Vaksinasi COVID-19 untuk Masyarakat Indonesia
Mutasi Virus Corona Rentan Menular pada Anak, Ini Fakta Lain VUI-202012/01