Memasuki usia pernikahan empat tahun, aku masih berfikir bahwa aku dan suami baru mengenal dan mulai menerima satu sama lain. Kami masih memikirkan, apa arti kita bagi pasangan, apa arti anak, apa arti orangtua setelah menikah, dan terakhir apa arti mimpi dari setiap pasangan. Banyak orang bilang bahwa menginjak usia pernikahan ke empat, sebuah hubungan akan dihadapkan dengan yang namanya ‘zona nyaman’.
Pernikahan Bagaikan Kode Morse
Ya, bagiku tak ada yang namanya zona nyaman. Bagiku, pernikahan bagaikan sandi morse. Aku selalu belajar pola mengenai hubungan ini, seperti memahami pola sandi morse. Ya, bukankah setiap hubungan memiliki pola tersendiri? Jadi, mengapa masih saja ada orang yang sibuk dengan cocokmologi zodiak untuk mengerti pasangan.
Empat tahun pernikahan masih sangatlah muda. Toh jika disandingkan pada balita, ia masihlah anak yang belajar banyak menyerap kosakata, dan meniru tingkah laku orang sekitarnya. Pun begitu dengan pernikahanku. Aku masih meniru bagaimana Ibuku atau mertua perempuanku dalam melayani suaminya. Atau pola mana yang cocok saat akan berdiskusi hal yang sensitif dengan pasangan.
Apakah pengenalan polanya selalu tepat? Oooh tidak, tapi tak masalah. Bukankah hal itu yang akan membuat kita semakin ingin mengenal pasangan?
Artikel terkait: Ulama: “Anak perempuan 14 tahun harusnya sudah boleh menikah,” Parents setuju?
Menjadikan Orang Asing sebagai Keluarga Butuh Waktu
Setelah menikah, apakah kamu masih mendapatkah curhatan dari orangtuamu?
Jika iya, apakah setelah akhir sesi curhat, orangtua selalu berkata, “Jangan bilang suami/istrimu ya, malu. Ini urusan keluarga.”
Dari sini aku belajar, dua buah keluarga disatukan memang membutuhkan waktu dan kepercayaan. Bukan semata-mata karena privacy. Untuk mempercepat proses tersebut, seseorang harus berani terbuka terlebih dahulu dan berbuat ‘curang’. Misalkan, istri/suami menjelaskan padamu hal yang disukai atau tidak dari anggota masing-masing keluargamu.
Artikel terkait: Hati-hati, Inilah Usia Pernikahan yang Rawan Konflik dan Perpisahan!
Pernikahan Mengajarkanku untuk Memilah Mimpi
Untung saja, aku masih memiliki beberapa mimpi. Saat awal menikah, salah satu mimpi, aku coret. Ok tak masalah, aku masih memiliki mimpi yang lain. Lalu, aku hamil dan memiliki anak pertama, ada satu mimpi lagi yang kucoret. Si insecure pun mulai muncul.
Menjalani hari-hari, kemudian hamil dan memiliki anak ke-2, kembali kuhapus mimpi lainnya. Ternyata, setelah kuhapus beberapa mimpi itu dan melihat senyum dari anak-anak, mimpi bukanlah segalanya. Akan lebih baik, jika aku mulai memiliki mimpi, di mana aku masih bisa berkumpul dengan keluarga kecil ini.
Artikel terkait: Berapakah perbedaan usia suami istri yang ideal? Penelitian ini menjawabnya
Mengenal dan Melakukan Bentuk Sayang Tiap Pasangan
Sudahkah Parents tanyakan pada pasangan, pada saat bagaimana dan cara apa Parenst merasa disayangi? Ada pasangan yang merasa disayangi dengan ucapan I love you tiap hari. Ada juga yang harus diberikan kejutan, hadiah ataupun pujian. Pertanyaan terbuka seperti itu sebaiknya dilontarkan, jika kamu tidak pernah trial and error dalam melakukan aksi kasih sayang.
Belajar dari anak-anak yang polos, mereka begitu terbuka dalam memberi tahu orangtuanya bentuk sayang yang mereka sukai. Contohnya anakku, ia sangat suka dipeluk. Setiap pagi setelah bangun tidur, saat melakukan kesalahan, atau saat ia berhasil melakukan sesuatu. Bahkan anakku selalu minta digenggam tangannya saat akan tidur.
Usia pernikahan empat tahun, sepuluh tahun, dan seterusnya hanyalah sebuah angka. Semakin besar angka usia pernikahan tak menjamin Parents benar-benar mengenal pasanganmu. Berapapun usia pernikahan, kita adalah dua makhluk yang tetap saling belajar mengenal, saling mengalah, dan memilih keputusan yang terbaik untuk keluarga. Selalu ada tawa tapi juga ada tangis yang ajaibnya malah menguatkan cinta dalam pernikahan.
Ditulis oleh Yulia Amaliah NH, UGC Contributor theAsianparent.com.
Tulisan UGC Contributor lainnya:
Ini Pelajaran yang Kuperoleh Selama Menjalani "Long Distance Marriage"