Dari sekian banyak daftar keinginan orangtua, menjadi jadi teman baik anak tentu menjadi salah satu harapan yang ingin diwujudkan. Benar tidak?
Setidaknya, hal ini berlaku untuk saya.
Sebagai ibu dari satu orang anak yang kini sudah berusia praremaja, saya pun menginginkannya. Sangat menyenangkan saat membayangkan memiliki kedekatan dengan anak karena bisa jadi teman baik yang bisa dipercaya. Sekaligus menjadi teman curhat dan teman hang out.
Benar-benar, asik dan seru! pikir saya.
Sejauh mana orangtua bisa berperan sebagai teman baik anak?
Namun nyatanya, peran orangtua yang ingin menjadi sahabat anaknya bisa disalah artikan. Jadi serba kebablasan. Mau tidak mau, kondisi ini tentu saja kerap memengaruhi tumbuh kembang dan pembentukan karakter anak.
Dalam hal ini, Devi Raissa Rahmawati seorang psikolog anak yang mendirikan Rabbit Hole mengingatkan, menjadi teman baik anak tentu saja perlu dilakukan. Namun dengan batasan yang perlu dipahami.
Dikutip dari laman Instagram Rabbit Hole ID ia menjelaskan, orangtua memang sebaiknya tidak fokus menjadi teman baik anak. Hal ini disebabkan bisa membuat orangtua hanya fokus untuk menyenangkan anak. Terus memberikan keinginannya, bukan memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak.
Artikel terkait: Bunda, Sudahkah Tumbuh Kembang Si Kecil Sesuai Usianya?
Selain itu, dengan terus beranggapan ingin menjadi teman baik anak, berisiko membuat orangtua sungkan memberikan nasihat, mangajari anak, atau membiarkan anak berjuang sendiri ketika diperlukan.
Misalnya, saat ingin menjadi teman baik anak, orangtua memiliki kecenderungan untuk terus membantu anak. Ketika anak sedang ingin mengancingkan bajunya, tentu ia butuh melewati proses belajar lebih dulu. Sedangkan, orangtua yang ingin menjadi sahabat anak akan langsung menolong dengan mengancingkan baju anak.
Padahal, dalam proses tumbuh kembang, anak tentu saja perlu diajarkan untuk bisa merasakan kegagalan atau kesulitan. Bahwa dalam hidup, ia tidak mungkin akan merasa senang dan mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Saat orangtua fokus menjadi ‘teman baik’ anak, unsur pemberian disiplin jadi terabaikan. Orangtua ingin sebisa mungkin disukai oleh anaknya padahal itu adalah hal yang bukan pada tempatnya”.
Keinginan untuk terus menjadi teman baik anak juga berisiko membuat orangtua lupa pada peran utamanya. Di mana tugas utama memang harus sebagai orangtua bukan menjadi teman baik anak.
“Kalau fokusnya adalah menjadi teman baik anak, maka keinginan untuk terus menerus disukai anak jadi lebih besar dari pada keinginan untuk mengasuh anak,” tegasnya lagi seperti yang dituliskan dalam Instagram Rabbit Hole ID.
Pentingnya orangtua memahami batasan
Senada dengan Devi Raissa Rahmawati , psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani atau yang sering saya sapa Mbak Nina ini juga mengingatkan bahwa orangtua perlu memahami dan mengetahui kapan dirinya bisa perperan sebagai teman baik atau sahabat anak, dan kapan ia menjadi orangtua.
Ia menegaskan bahwa kedua memang harus seimbang. Antara bisa mengatur, mendidik, dan mengajarkan kedisiplinan dan menjadi dekat dengan anak.
Dampak yang bisa terjadi jika orangtua kehilangan fokus karena ingin menjadi teman baik anak
Psikolog jebolan Universitas Indonesia ini mengatakan, pada saat orangtua salah kaprah mendefinisikan arti dari berperan menjadi sahabat anak, justru bisa menghilangkan fungsi orangtua untuk mengatur dan mendidik.
Maka ada beberapa dampak yang bisa didapatkan. Apa saja?
- Anak tidak bisa belajar untuk mengikuti aturan, padahal sejak kecil anak perlu diajarkan untuk memahami dan mengikuti aturan yang diterapkan.
- Si kecil bisa berisiko mendominasi orangtua
- Anak kesulitan belajar disiplin
- Kesulitan beradaptasi di tempat-tempat yang memiliki aturan, bahkan anak malah cenderung melawan aturan
- Anak mudah menyerah jika menghadapi sebuah masalah, dan sederet masalah negatif lain yang dapat timbul.
Oleh karena itu, orangtua wajib bersikap tegas kepada anak. Dalam hal ini Nina Teguh mengingatkan agar orangtua tidak serta merta menuruti kehendak atau permintaan anak.
“Namanya juga anak-anak, tentu akan memiliki banyak permintaan. Tapi tentu saja tidak semua harus dituruti. Tugas orangtua, menentukan kapan menuruti keinginannya dan kapan tidak menuruti keinginannya. Kapan harus bisa berperan sebagai sahabat anak, kapan harus menjadi orangtua,” urainya.
Pentingnya memerhatikan pola asuh
Agar peran bisa seimbang, sebagai orangtua dan sahabat, Nina Teguh mengingatkan kalau untuk memerhatikan pola asuh yang selama ini diterapkan pada anak.
Jika terlalu banyak mengatur, dan selalu banyak mengambil alih dikenal dengan pola asuh yang otoriter. Sedangkan jika terlalu banyak porsi menjadi sahabat anak disebut dengan permisif, sementara kalau kurang dekat, itu yang disebut dengan ignorance atau pola asuh yang cuek.
“Sebenarnya yang pas itu jika orangtua bisa bersikap moderat. Di mana orangtua bisa mengatur, tapi bisa juga dekat dengan anak sebagai sahabatnya. Ada hal-hal yang memang harus ikut aturan, jadi walaupun dekat, anak tetap tahu apa yang nggak boleh dan boleh dilakukan,” paparnya.
Jadi bagaimana, sudah tahu kan kapan saatnya berperan jadi orangtua dan kapan harus menjadi teman baik anak?
Baca juga :