Masyarakat Suku Tengger yang mayoritas beragama Hindu hingga kini masih eksis membawakan tarian tradisionalnya. Keempat tari Suku Tengger yang masih lestari itu adalah Tari Sodoran, Tari Ujung, Tari Probo Mutrim, dan Tari Kidung Tengger.
Berikut ini penjelasan mengenai keempat tari tersebut:
4 Tari Suku Tengger yang Masih Eksis Dimainkan Masyarakat Hindu di Wilayah Bromo dan Sekitarnya
Suku Tengger atau yang akrab disebut Wong Tengger merupakan suku asli yang ada di sekitar kawasan pegunungan Bromo, Tengger, dan Semeru yang terletak di Jawa Timur. Tepatnya di kawasan Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, dan Kabupaten Malang. Ini adalah salah satu suku asli yang bertahan hingga kini di wilayah tersebut.
Sesuai namanya, ‘Tengger’ yang berarti ‘berdiam’ atau ‘hinggap’, Suku Tengger merupakan suku yang berdiam di wilayah pegunungan Bromo, Tengger, dan Semeru. Laman Jatimtimes menjelaskan, Suku Tengger layaknya batu karang yang kuat menahan terpaan perubahaan zaman di masa sekarang. Meski dunia berubah, suku ini tetap hidup dalam nilai-nilai tradisi yang sudah dilakoninya sejak ratusan tahun lalu.
Salah satu yang tak berubah dan masih tetap dilestarikan hingga saat ini adalah praktik kesenian daerahnya. Bagi mereka kesenian tarian sukunya merupakan bagian dari ritual, bukan sekadar pertunjukan biasa.
“Setiap peristiwa dalam kehidupan Suku Tengger tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang diturunkan leluhur mereka. Lewat tarian, mereka mewujudkan nilai-nilai berbalut filosofis-religius. Kita tentunya akan terus mendukung hal tersebut,” kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Malang Made Arya Wedanthara, melansir laman Jatimtimes.
Artikel terkait: Ritual Syukur pada Bromo, Ini Makna dan Rangkaian Upacara Adat Kasada
Tarian Asli Masyarakat Hindu di Pengunungan Bromo, Tengger, dan Semeru
Berikut ini beberapa tari Suku Tengger yang masih lestari hingga sekarang:
1. Tari Sodoran
Tarian klasik yang penuh nilai filosofis bagi khas masyarakat Suku Tengger ini merupakan tarian sakral yang menyimbolkan asal usul kehidupan manusia atau terjadinya manusia pertama. Bagi Wong Tengger, manusia itu berasal dari purusa dan pradana.
Kesenian tarian ini hanya dimainkan sekali dalam setahun saja, tepatnya di Hari Raya Yadnya Karo atau yang kerap disebut Hari Raya Karo atau Pujan Karo. Dan tari ini masuk dalam rangkaian dari perayaan hari raya yang dalam ritual secara berurutan dilaksanakan mulai dari Kumpul Karo, Tekaning Ping Pitu, Resik Banten Karo, Sodoran, lalu Mulihning Ping Pitu.
Jenis tari Suku Tengger ini hanya ditarikan oleh warga di tiga desa saja, sementara hari perayaannya dirayakan oleh seluruh warga Hindu Tengger di lereng Gunung Bromo.
Yadnya Karo digelar warga Hindu di Tengger di bulan ke loro atau dua, dalam hitungan kalender tengger.
“Karo itu hari raya warga Tengger, karo bermakna dua. Sedangkan sodoran perlambang munculnya manusia di muka bumi,” tutur sesepuh Wong Tengger Supoyo melansir laman Liputan6 (10/9/2017).
‘Karo’ yang ada pada nama perayaan juga berarti dua, di mana maknanya adalah segala hal di muka bumi ini selalu ada dua, berpasangan. Seperti halnya hidup dan mati, malam dan siang, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya. Melalui ‘Karo’ ini, diharapkan umat manusia senantiasa menjaga keselarasan dua hal tersebut agar selalu tercipta keharmonisan dalam hidupnya.
Penari dalam Tari Sodoran awalnya hanya 1 orang, kemudian masuk 2 orang lain hingga kemudian bertambah lagi menjadi 6 orang. Para penari ini tampil dengan iringan musik gamelan khas Jawa, gamelan karawitan.
“Seperti yang saya jelaskan tadi, makna dalam tarian sodoran ini, sebagai lambang munculnya manusia di muka bumi ini. Sehingga dalam tarian ini, dilakukan satu orang, kemudian bertambah dua orang, hingga sebanyak enam orang,” terang Supoyo.
2. Tari Ujung khas Suku Tengger
Wong Tengger juga memiliki kesenian tari Ujung. Yakni, sebuah tarian yang terbilang ekstrim dalam kacamata masyarakat awam. Tarian ini dimainkan oleh dua orang pria yang saling memukul dengan menggunakan rotan. Duh, apa nggak sakit, ya, Bunda?
Biasanya tarian ini diadakan saat perayaan pernikahan dan upacara ritual umat Hindu di Suku Tengger. Cara menarikannya adalah dengan saling memecuti punggung lawan dengan tongkat atau buluh rotan sambil diiringi alunan musik tradisional, yaitu gamelan karawitan.
Tari Ujung juga bisa dilakukan di upacara Karo sekadar hiburan. Umumnya ditarikan setelah Tari Sodoran dan sebelum Mulihning Ping Pitu.
Meski terkesan ekstrem ternyata ini merupakan tarian hiburan yang menunjukkan kentalnya sebuah persahabatan. Makna tarian adalah bagaimana seorang saudara atau sahabat bisa merasakan suka-duka bersama. Tidak semua bagian tubuh boleh dipukul, melainkan hanya beberapa bagian tertentu saja yang boleh dipukul.
Wong Tengger menarikan Tari Ujung setahun sekali dan dirayakan oleh masyarakat sekitar Pasuruan. Anda tidak akan menemukan tarian ini di daerah lain kecuali Pasuruan, Jawa Timur.
Artikel terkait: 5 Fakta Suku Aborigin, Penduduk Asli Australia yang Tersisih di Benua Sendiri
3. Tari Probo Mutrim
Selain Tari Sodoran dan Tari Ujung, Suku Tengger juga memiliki jenis tarian lain yang namanya Tari Probo Mutrim. Kesenian tarian ini diperuntukkan Sang Hyang Widi sebagai bentuk ucapan rasa syukur masyarakat Hindu di Suku Tengger.
Ini adalah tarian gembira sehingga gerakannya pun sarat dengan gerakan-gerakan riang nan penuh sukacita. Masyarakat Suku Tengger menarikan Tari Probo Mutrim sebagai bentuk kebahagiaan karena bisa mengambil air suci di Sendang Widodaren.
Air suci di Sendang Widodaren dipercaya masyarakat setempat sebagai medium pembawa berkah dalam keberlangsungan usaha bercocok tanam masyarakat, menjauhkan dari segala macam penyakit, serta untuk kesejahteraan hidup.
“Tarian Probo Mutrim menjadi duta kabupaten setempat. Tari asli Suku Tengger Ngadas ini sebagai bentuk doa syukur kepada Tuhan atas berbagai kebahagian yang diberikan,” terang Made.
Tari Probo Mutrim juga kerap dipentaskan dalam berbagai acara-acara penting daerah, salah satunya acara Festival Kesenian Kawasan Selatan (FKKS).
Artikel terkait: Legenda Joko Seger dan Roro Anteng, Asal Muasal Suku Tengger dan Upacara Kasada
4. Tari Kidung Tengger
Tarian ini mengisahkan sosok Joko Seger dan Roro Anteng di mana Joko Seger adalah Putera seorang brahmana Lembu Mirunda (Ki Ajar Guntur Geni, Panembahan Ageng Bromo), sementara Roro Anteng adalah seorang putri dari Raja Majapahit Dyah Suryawikrama.
Dalam tarian diceritakan, Raja Majapahit dan istrinya pergi ke lereng Gunung Bromo dan membangun sebuah rumah di sana sebagai tempat tinggal. Kemudian anaknya yang bernama Roro Anteng menikah dengan Joko Seger, anak dari Ki Ajar Guntur Geni.
Suatu waktu Joko Seger bertapa di Watu Kuta dan memohon kepada Sang Hyang Widhi agar dikaruniai 25 keturunan. Jika hal itu dikabulkan ia berjanji akan mempersembahkan seorang anaknya kepada Gunung Bromo.
Apa yang diminta Joko Seger pun dikabulkan. Hingga suatu malam ia bermimpi untuk segera membayar janjinya. Joko Seger lalu menyampaikan mimpinya tersebut pada semua anaknya. Tapi tak satu pun anaknya yang mau dijadikan korban persembahan, kecuali si bungsu Jaya Kusuma.
Sebelum menceburkan dirinya ke dalam kawah Gunung Bromo, Jaya Kusuma meminta agar penduduk mempersembahkan hasil ladangnya setiap terang bulan di tanggal 14 bulan Kasadha.
Itulah mengapa sejak peristiwa tersebut penduduk Tengger selalu melemparkan hasil ladangnya ke dalam kawah Gunung Bromo setiap tanggal 14 bulan Kasadha. Yakni untuk mengenai bakti Jaya Kusuma pada orangtuanya.
Demikianlah, Parents, 4 jenis tari Suku Tengger yang masih ada hingga saat ini.
Baca juga:
Cinta yang Menyatukan! 8 Seleb Ini Menikah Beda Suku tapi Tetap Kompak dan Harmonis
Kenalkan Ragam Budaya pada Anak, Yuk, Kenalkan 36 Gambar Rumah Adat di Indonesia