Anaknya Lahir Tanpa Tangan, sang Ibu: "Aku Tak Pernah Menyesal Melahirkannya"

Meski seolah dunia tampak runtuh, tetapi ibu ini tetap berusaha mempertahankan bayinya lahir. Simak kisahnya!

Setiap orangtua tentu menginginkan bayinya dapat lahir dengan sehat dan sempurna. Namun faktanya, beberapa bayi dilahirkan dengan kondisi ‘spesial’ tanpa kaki atau tanpa tangan. Seperti kisah seorang ibu spesial, Vanessa McLeod berikut ini.

Klik image di bawah ini untuk baca lebih lanjut

Vanessa McLeod Menceritakan Kisah Bayinya yang Lahir Tanpa Tangan

Vanessa McLeod mengaku telah mengetahui ada yang berbeda dari anak keduanya, Ivy, ketika ia hamil 19 minggu. Saat itu, suaminya tengah pergi bekerja sehingga ia melakukan pengecekan ultrasound (USG) bersama ibu dan saudara perempuannya.

“Saya ingat bahwa ultrasound membutuhkan waktu lama. Mereka mengatakan kepada saya bahwa kaki bayi saya dalam posisi silang sehingga sulit untuk menentukan jenis kelamin. Saya tidak mempermasalahkannya. Kami semua mengomentari jari kaki kecilnya yang lucu dan mencetak fotonya. Kami bahkan tidak menyadari bahwa mereka tidak menyebutkan tangannya,” ujarnya.

Hari berikutnya, saya memiliki janji dengan bidan. Sekitar satu jam sebelum pertemuan, saya mendapatkan telepon darinya.

Dia mengatakan kepada saya bahwa ada temuan signifikan pada USG. Dia berkata bahwa saya harus membawa suami saya, dan menemukan seseorang untuk mengawasi anak perempuan saya yang berusia 2 tahun.

Mendengar hal itu, hatiku terasa seperti jatuh ke perut dan air mata pun mulai menetes

Vanessa merasakan ada sesuatu yang sangat salah. Ia pun segera menelepon ibu dan ayahnya karena suaminya masih berada di luar kota untuk urusan pekerjaan.

“Aku menelepon ibuku, karena suamiku masih di luar kota untuk urusan pekerjaan. Dia meninggalkan segalanya untuk membawaku ke pertemuan itu. Saat bidan memanggil saya, sampai kami tiba di kantornya, saya pikir saya tidak berhenti menangis,” ujarnya.

Vanessa mengaku sangat takut akan kehilangan anak keduanya. Ketika ia dan ibunya bersiap untuk masuk ke dalam ruangan. Ibunya hanya bisa menatap dan mengatakan, “Vaness, apa pun itu, kita akan melewatinya.”

Mendengar hal itu, Vanessa pun hanya bisa menjawab dengan lirih. “Aku hanya ingin menjaga bayiku. Aku hanya ingin menjaganya.”

Vanessa tidak ingat jika ada kata yang diucapkan saat mereka menunggu, ia hanya ingat tidak bisa berhenti menangis. Terkadang air matanya kering tidak menetes, tetapi terkadang mengalir dengan deras.

Mereka pun akhirnya masuk ke dalam ruang bidan dan mulai melakukan pemeriksaan.

Kabar pertama, kemungkinan terjadinya bibir sumbing

Setelah mendengar kabar ini, Vanessa merasa memiliki sedikit harapan.

“Saya mulai merasakan harapan. Apakah hanya itu saja? Hanya sesuatu yang kecil, sesuatu yang kosmetik? Apakah dia benar-benar akan baik-baik saja? Pada saat itu, saya berkata pada diri sendiri bahwa mungkin beberapa orang akan peduli pada beberapa hal kecil, seperti bibir sumbing, tetapi saya tidak akan selama bayi saya sehat. Tapi ada lagi….” tegasnya.

Selanjutnya, satu tulang paha melengkung dan lebih pendek dari yang lain

Ternyata, ada kabar lain yang lebih sulit diterima, tetapi sekali lagi Vanessa menegaskan bawa ia masih memiliki harapan.

“Ketakutan utama saya, bagaimana pun, adalah kehilangan dia,” ujarnya.

Ia khawatir bahwa kehamilannya saat itu tidak mungkin dan tidak bisa dipertahankan. Ia takut akan kehilangan anaknya segera setelah ia baru saja melahirkan.

Selanjutnya, beberapa kekhawatiran dengan hatinya.

“Ketakutan datang kembali, karena ini adalah organ utama. Ini lebih sesuai dengan apa yang saya khawatirkan. Sesuatu yang besar, sesuatu yang mengancam jiwa, sesuatu yang terminal. Tapi tetap saja masalah jantung? Ada mesin dan teknologi yang dapat membantu detak jantung yang dapat memperbaiki jantung, bukan?,” ujarnya.

Terakhir, kehilangan atau lahir tanpa kedua lengan dan tangan

“Ini terasa seperti pukulan yang besar, ini membuat saya berhenti bernapas sejenak. Ini membuat saya jengkel dan menangis. Harapan saya tentang bayi kecil yang sempurna hancur. Tidak ada tangan? Saya belum pernah mendengar hal ini. Itu tidak pernah terlintas di dalam pikiran saya.

Tidak pernah ada ketakutan atau kekhawatiran tentang hal itu. Saya berasumsi bahwa dia memiliki semua anggota badan, bahwa semua bagian ada di sana. Saya sangat terpukul, saya tidak tahu apakah ini sesuatu yang bisa saya tangani, saya tidak tahu apakah semuanya akan baik-baik saja,” ungkapnya.

Setelah keheningan itu, ayah Vanessa berkata, “Dia akan menjadi berkat bagi keluarga kita. Saya pikir keluarga kita membutuhkan seseorang seperti dia. Dia akan mengajar kita begitu banyak hal.”

Bayi Lahir Tanpa Tangan Menjadi Pukulan Keras untuk Vanessa McLeod dan Suami

Vanessa berusaha memproses seluruh informasi yang ia dapatkan saat itu. Ia benar-benar berduka. Ada rasa penyangkalan, rasa bersalah, kemarahan, kesedihan, semuanya berkumpul menjadi satu.

Tepat setelah pertemuan dengan bidan tersebut, ayah Vanessa menawarkan untuk menjemput suaminya yang sedang berada di luar kota. Beruntung, suami Vanessa bekerja untuk ayahnya sehingga ia bisa mendapatkan libur dan jam pulang lebih awal.

“Saya tidak tahu bagaimana cara memberi tahu suami saya tentang hasil USG itu. Rasanya, benci harus memberi tahunya melalui sambungan telepon ketika dia hanya berjarak tiga jam saja. Ketika itu merupakan panggilan telepon terberat dalam hidup saya,” ujarnya.

Vanessa tidak bisa mengingat banyak hal tentang percakapan di telepon dengan suaminya. Ia hanya mengatakan bahwa anak kedua mereka tidak memiliki lengan dan tangan.

“Saya ingat ada nada tidak percaya dalam suara suami saya ketika dia berkata, ‘Apa? Tidak ada tangan?’, saya kemudian mengatakan kepadanya bahwa Ayah saya dalam beberapa menit akan menjemputnya dan membawanya pulang dari pekerjaannya,” jelasnya.

Sebelum Melahirkan Bayi Tanpa Tangan, Vanessa Sempat Ditawarkan untuk Aborsi

Setelah mendengar informasi itu, Vanessa mencoba meneliti prostetik untuk bayi dan anak-anak, mencari video anak-anak yang diamputasi lainnya, dan mulai merasakan sedikit harapan.

“Kami segera dirujuk ke Rumah Sakit Anak Vancouver dan janji temu dibuat untuk hari berikutnya. Di mana kami akan menjalani USG selama satu jam dan bertemu dengan perinatologis, ahli genetika medis, dan penasihat genetika,” ujarnya.

Sayangnya, pertemuan tersebut tidak dapat menjelaskan semua pertanyaan-pertanyaan Vanessa. Ia justru merasa kecewa karena para dokter yang lebih banyak memberikan komentar negatif dibandingkan positif.

“Saya berharap dengan sepenuh hati bahwa pertemuan itu akan berjalan berbeda. Saya berharap mereka dakan memberi tahu kami bahwa itu akan baik-baik saja. Memberi tahu kami betapa cantik dan sempurna gadis kecil kami kelak.

Bahwa dia akan tersenyum dan tertawa menjalani kehidupan yang dipenuhi dengan begitu banyak cinta. Saya berharap saya tahu apa yang perlu saya ketahui. Saya berharap bisa menghilangkan semua kekhawatiran, rasa sakit, ketakutan, dan patah hati yang saya rasakan,” jelasnya.

Namun pada akhirnya, Vanessa dan suaminya justru mendapatkan berita yang tidak menyenangkan. Mereka merasa bahwa semua harapannya telah diambil.

“Saya merasa seperti dokter mengatakan kepada saya bahwa ini sudah berakhir. Bahwa hidupnya tidak layak, bahwa kami telah kehilangan semua harapan untuk membawa pulang bayi,” ungkap Vanessa.

Ia mengaku terkejut ketika dokter menyarankan agar kami berhenti berusaha. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa dia akan menggugurkan kandungannya.

“Tetapi di sini mereka, menawarkannya. Ketika suami saya dan saya mulai menyatakan bahwa kami ingin menjaganya, ahli genetika medis berkata, dengan cepat dan brutal, ‘Tapi pikirkan kualitas hidupnya. Dia tidak akan punya tangan’,” tambahnya.

Vanessa ingat bertanya tentang War Amps atau prosthetics. Ia berusaha mencari solusi alternatif apa pun.

Namun sayangnya ahli genetika itu dengan cepat menolak opsi-opsi itu. Dia tidak tahu apa-apa tentang War Amps dan dia berkata prosthetics tidak akan pernah menjadi pilihan, karena dia kehilangan kedua tangan.

“Saya tidak mengerti mengapa,” ujar Vanessa.

Vanessa dan suami pun diberikan waktu sendirian untuk berbicara tentang pilihan mereka. Ia mengaku sempat merasa sangat ragu tetapi dia tahu dia tidak akan pernah melakukan aborsi secara pribadi.

Namun pernyataan para dokter telah membuatnya merasa bersalah karena ingin tetap menjaga janin di dalam kandungannya. Itu kemudian membuat Vanessa meragukan semua kemampuannya sebagai seorang ibu untuk merawat dan mengasuh bayi

“Kehidupan seperti apa yang akan saya berikan padanya? Apakah dia benar-benar tidak memiliki kualitas hidup?,” tanya Vanessa

Kemudian Vanessa melihat suaminya dan dia dengan tegas dan bersemangat berkata, “Saya akan melakukan apa pun yang harus saya lakukan untuk merawatnya. Saya akan berusaha apa saja karena memang mengingkan kehidarannya. Oleh karena itu, apa pun saya akan lakukan. Termasuk menjaganya selama sisa hidupnya.”

Pada saat itu Vanessa tersadar bahwa dia akan mencintai dan melindungi janin di dalam kandungannya

“Tanpa keraguan, dengan suamiku di sisiku, kami bisa melakukan ini. Saya tidak tahu akan seperti apa bentuknya, tetapi saya tahu ini bukan akhirnya. Kami menolak amniosentesis, karena ada risiko keguguran. Kami tahu kami ingin mempertahankannya dan tidak ingin menambahkan risiko lebih lanjut pada kehamilan saya,” tegasnya.

Setelah meninggalkan rumah sakit, Vanessa berhenti dan mulai menangis. Ia ingat memeluk suaminya dengan kencang dan bertanya kepadanya mengapa ini terjadi pada mereka.

Artikel terkait: Penelitian: Asam folat bukan satu-satunya yang bisa mencegah cacat lahir pada bayi

Tekad Vanessa Telah Bulat untuk Menjaga Janin di Dalam Kandungannya

Berminggu-minggu dan bulan-bulan kehamilan berlalu. Vanessa mulai berhenti bertanya pada diri sendiri.

Meskipun terkadang ia masih dilumpuhkan dengan rasa takut dan khawatir. Namun dia merasa bahwa hal-hal itu mulai masuk akal.

“Saya merasa seolah semesta memilih saya, dari jutaan ibu untuk menjadi ibu Ivy. Saya bahkan berpikir dia memilih saya. Dia melihat saya dan berkata, ‘Ya. Saya ingin melahirkannya. Saya ingin dia menjadi ibu saya’,” ujarnya.

Namun seiring berjalannya waktu, Vanessa sadar bahwa mungin bukan Ivy yang membutuhkanku. Namun dia yang membutuhkan Ivy.

“Saya membutuhkannya karena dia melengkapi saya, melengkapi keluarga saya, dengan cara yang tidak pernah saya sadari. Dia obat bagi jiwaku, obat untuk luka masa lalu. Ivy akan mengajari saya hal-hal yang saya pikir tidak perlu saya ketahui atau mungkin tidak ingin tahu,” tegasnya.

Secara mengejutkan, Ivy lahir empat minggu lebih awal.

“Saat saya melahirkannya dan memeluknya, saya merasa sangat damai. Dan ketika dia membuka matanya dan menatapku untuk pertama kalinya, aku tahu dia berada di tempat yang seharusnya,” ungkap Vanessa.

Meski Lahir Tanpa Tangan, tetapi Kehadiran Ivy Memberikan Kehangatan Baru di Keluarga Vanessa

Saat Ivy lahir di dunia, Vanessa hanya bisa tersenyum melihat kedua tangan istimewanya. Ia mengaku sangat menyukainya dan mencintainya. Ia bahkan tidak akan pernah mau menukarkan Ivy dengan bayi lain yang ada di dunia.

“Dia milikku. Dia seharusnya bersamaku, dan aku seharusnya bersamanya. Dan kami sangat cocok bersama,” ujarnya.

Sejak pulang ke rumah, Ivy telah tumbuh pesat sesuai dengan tonggak tumbuh kembangnya. Hanya beberapa hari yang lalu, dia berguling ke sana ke mari.

Melihat hal itu, Vanessa hanya berharap bisa mengirim video pertumbuhan Ivy pada dokter yang menyarankan untuk mengakhirinya. Dia berharap bisa menunjukkan senyum indah Ivy dan bagaimana itu menyenangkan untuk orang-orang disekitarnya.

“Saya berharap dokter itu bisa mendengar suara ajaib tertawanya,” kata Vanessa.

Harapan Vanessa untuk Ivy, Bayi yang Lahir Tanpa Tangan

Kini, Vanessa tersadar bahwa kata ‘normal’ ialah relatif. Menurutnya, kita semua berbeda dalam banyak hal dan itu tidak apa-apa. Dia berharap bisa mengajari Ivy mengenai hal itu.

“Beberapa orang memiliki mata biru, ada juga yang warna hijau. Sementara ada anak yang memiliki rambut pirang, atau berwarna cokelat. Ada juga yang dilahirkan dengan tangan, beberapa tanpa tangan.

Saya berharap saya dapat selalu memberi padanya bahwa hidupnya memiliki makna, memiliki nilai, dan akan selalu dipenuhi dengan begitu banyak cinta, terlepas dari penampilan atau kemampuannya. Satu hal yang saya tahu adalah bahwa saya tidak akan pernah mempertanyakan kualitas hidupnya,” tegasnya.

Meskipun sempat ragu tetapi kini Vanessa justru tidak bisa membayangkan bila tidak ada kehadiran Ivy. Karena Ivy dilahirkan dengan cara ini, Ivy tidak akan pernah mengalami perasaan ‘kehilangan’.

Vanessa yakin bahwa Ivy akan tumbuh dan beradaptasi dan selalu memiliki caranya sendiri dalam melakukan sesuatu.

Tak dapat dipungkiri bila masih ada hari-hari di mana dia merasa khawatir akan asa depan Ivy. Di mana Ivy mulai masuk sekolah dan mendapat komentar negatif dari teman-temannya.

Vanessa merasa khawatir bahwa dia tidak akan mengatakan hal-hal yang benar atau melakukan hal-hal yang benar untuk membantu mengajari Ivy bahwa dia sangat unik.

Namun dia akan berusaha sekuat tenaga dan memberikan semua yang dia punya.

Pada awalnya, sulit bagi Vanessa untuk membuka dan membagikan kisahnya.

“Saya tidak ingin dia terlihat, tetapi sekarang saya hanya ingin dia merasa dicintai dan didukung, dan saya tahu bahwa sebagian besar dari itu akan datang dari komunitas online ini.

Kami telah menemukan Proyek Lucky Fin (@lucky_fin_project), The War Amps, dan kami terhubung dengan anak-anak luar biasa lainnya yang tak terhitung jumlahnya dengan perbedaan anggota tubuh,” jelasnya.

Ada begitu banyak sumber daya di luar sana untuk anak-anak dengan perbedaan tungkai, bertentangan dengan apa yang dikatakan dokter pada Vanessa. Untuk itu, dia ingin Ivy tahu bahwa banyak anak yang memiliki kondisi sama dengannya.

“Dan saya juga ingin membantu menormalkan perbedaannya sehingga dunia bisa menjadi tempat yang lebih inklusif. Yang saya tahu adalah bahwa, pada akhirnya, cerita ini bukan tentang saya. Ini semua tentang dia. Dan dia benar-benar, benar-benar sempurna,” pungkasnya.

Referensi: the Asian parent Singapore

Baca juga

Viral! Kisah haru dibalik foto bocah 5 tahun menangis di pelukan perawat

Koma 5 bulan setelah melahirkan, begini harunya pertemuan pertama ibu dan sang bayi

Ibu Lahirkan Anak di Rumah Tanpa Bantuan Dokter karena Trauma, Bagaimana Kisahnya?