Adalah mudah bagi kita mengetahui adanya perkembangan fisik pada anak-anak. Namun, bagaimana dengan tahap perkembangan emosi dan sosialnya? Haruskah semua kita maklumi dengan, “Ya, nanti kalo sudah besar juga berubah”?
Saat anak-anak semakin besar, kemudian belajar berjalan, mudah bagi kita untuk mencatat perkembangannya. Sayangnya, ketika mereka enggan berbagi, bergantian mainan dengan temannya, kita lupa untuk mengenali gangguan perkembangan emosi dan sosial pada anak.
Aspek perkembangan emosi anak berhubungan dengan pemahaman dan kemampuan mengendalikan emosi yang ia rasakan; sembari menyeimbangkan kemampuannya berinteraksi dengan keluarga dan orang lain di sekitarnya.
Tanda perkembangan emosi sosial yang sehat adalah:
1. Membangun hubungan dengan orang di lingkungannya.
2. Mampu berinisiatif, menemukan hal baru, bermain dan belajar
3. Tekun dan mampu berkonsentrasi
4. Mampu mengatur dirinya sendiri
5. Memiliki rentang emosi yang luas (tidak mudah lepas kontrol)
Apakah perkembangan emosi dan sosial itu?
Perkembangan emosi sosial yang sehat sangatlah penting untuk anak. Kemampuan ini akan menjadikan dirinya mampu bertingkah laku yang pantas, memahami arti hidup serta mampu melewati masa transisi dari anak-anak ke dewasa tanpa kendala apa pun.
Sementara ketrampilan bersosialisasi adalah kemampuan anak untuk bekerja sama dan bermain dengan orang-orang di sekitarnya. Mampu memberi perhatian terhadap orang dewasa atau guru, dan mampu berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya.
Pada prinsipnya membangun ketrampilan emosi sosial adalah mengajari anak untuk memahami dan mengontrol emosinya saat ia menghadapi konflik.
Psikolog dan Psikoanalis Erik Erikson membagi perkembangan emosi sosial manusia dalam 8 tahap. Empat tahap pertama terkait erat dengan perkembangan sosial-emosi di usia bayi hingga 12 tahun; dan empat tahap berikutnya pada usia 12 tahun hingga menjelang dewasa.
Tahap I: Harapan (bayi-2 tahun)
Tahap pertama merupakan tahap bayi untuk belajar mengenai harapan, serta bagaimana orang-orang di sekelilingnya memberi tanggapan (learning trust vs mistrust).
Contoh ketika ia menangis, apakah orangtua akan menanggapi dengan memeluk atau malah memberi bentakan. Jika pelukan yang ia terima, maka bayi (batita) akan belajar bahwa harapannya akan dapat terpenuhi. Dan ini akan membuatnya membangun rasa aman dan percaya, yang merupakan dasar optimisme.
Baca juga: Memahami bahasa bayi
Sebaliknya, bila bentakan yang ia terima, ia akan tumbuh menjadi pribadi tidak aman, dan tidak mudah percaya pada oran lain.
Tahap II: Keinginan (18 bulan – 4 tahun)
Pada tahap ini anak akan belajar menghadapi konflik kemandirian vs rasa malu (learning autonomy vs ashamed)
Anak adalah peneliti alami. Saat ia berekplorasi memuaskan rasa ingin tahunya, lingkungan, terutama orang tua akan menanggapi dengan dua hal; mengagumi dan mendorong ia terus berekplorasi atau malah menertawakan, melecehkan, mengkhawatirkan, dan menganggap apa yang dilakukannya mengesalkan.
Jika eksplorasinya dianggap mengesalkan sehingga ia sering mendengar kata, “Jangan, nanti jatuh”, “Awas bahaya”, “Jangan gitu, bikin malu aja,” maka anak akan tumbuh menjadi anak yang peragu, meletakkan keputusan yang terkait dengan dirinya pada orang lain, tidak mandiri, pemalu, dan selalu merasa bersalah.
Artikel terkait: Alternatif Kata “Jangan”
Menurut Erikson, tahap kedua adalah tahap psiko-sosial kritis. Mulanya mungkin anak akan terlihat seperti pembangkan yang setiap saat selalu memiliki keinginan berbeda dengan kita, orang tuanya. Wajar jika pada awal tahap ini, ibu sering menyebut anak sebagai “the Terrible Twos“.
Namun justru inilah awal ia menuju perkembangan psiko sosial yang lebih matang. Jadi, jika sekarang ibu sering merasa kesal bila melihat tingkah si 2 tahun, bersabarlah. Ia sedang belajar mengekspresikan keinginnanya serta melihat bagaimana lingkungan akan menanggapinya.
Parents, ingin mengetahui tahap perkembangan emosi dan sosial anak selanjutnya, yaitu pada anak berusia 3-12 tahun? Klik di sini untuk membacanya.