Tahukah Parents bahwa ada kalanya suami istri bertengkar hebat mendatangkan sebuah malapetaka.
***
Pihu terbangun dari tidurnya di samping sang bunda.
“Ibu, bangun. Ibu, aku haus… Ibu, ayah di mana? Ibu ayo kita ke luar.” ujar Pihu sambil mencoba membangungkan ibunya.
Tak mendapatkan respon dari ibunya, bocah perempuan dua tahun ini pun akhirnya meninggalkan ibunya, sambil berkata, “Ibu nanti aku ke sini lagi, ya.”
Pihu sama sekali tidak menyadari bahwa ibunya, perempuan ia kasihi telah meninggal dunia.
Adalah Pihu, gadis mungil berusia 2 tahun ini memang tidak mengetahui bahwa ibunya telah meninggalkan dirinya untuk selamanya. Ia hanya menyangka bahwa ibunya sedang tertidur lelap. Gadis kecil ini sama sekali tidak memahami bahwa ibunya memutuskan mengakhiri hidupnya karena tak kuasa menahan depresi yang ia rasakan. Semua ini dipicu karena kondisi suami istri bertengkar hebat.
Apa yang dialami Pihu merupakan kisah nyata yang terjadi tahun 2017 silam di New York yang kemudian diangkat menjadi sebuah film ‘Pihu the Movie’.
Saya sendiri mengetahui film ini lantaran membaca sebuah postingan yang ditulis oleh Nur Yana Yirah, yang diungah kembali oleh Amie Ayoe.
Tak sekadar menulis review Pihu the Movie, Nur Yana Yirah juga mengingatkan ketika suami istri bertengkar hebat sebaiknya bisa segera menyelesaikan masalahnya. Bahkan, ia menegaskan agar para suami tidak meninggalkan istri seorang diri setelah bertengkar.
Iya, suami istri bertengkar hebat memang merupakan hal yang sangat wajar. Bukankah dua kepala selalu memiliki perbedaaan cara pandang yang berisiko terjadinya konflik dalam rumah tangga?
Meskipun begitu, seperti yang dikatakan Yana bahwa saat suami istri bertengkar hebat, perlu mengetahui cara menyelesaikan masalah dengan baik.
Nur Yana Yirah juga menuliskan bahwa ia memiliki pengalaman serupa dengan ibu dari Pihu, yaitu Puja.
“Sepintas film ini ditujukan kepada semua orangtua supaya bertanggung jawab dan tidak egois sehingga meninggalkan anaknya tanpa pengawasan. Sedih, tegang, takut dan lega, semua perasaan itu campur aduk selama saya menonton film ini, lega karena Pihu selamat.”
“Namun di balik pesan utama yang jelas terlihat dari film ini, ada sebuah pemaknaan lain yang bisa diambil hikmahnya. Yaitu tentang kondisi psikologis ibunya Pihu yang bernama Puja,” tulisnya.
Seperti yang diceritakan olehnya, ada adegan dalam film Pihu yang memperlihatkan bahwa sebelum meninggal, Puja menuliskan pesan untuk sang suami, Gaurav.
“Gaurav aku bertengkar dengan keluargaku demi menikahimu, namun apa yang kudapat. Katamu kau akan pulang saat aku sudah meninggal…. Aku pamit, tadinya aku ingin mengajak Pihu, namun aku tak kuasa…”
Kalimat ini seakan menegaskan bahwa Puja berada dalam kondisi depresi. Meskipun ia ingin mengajak Pihu untuk meninggalkan dunia, namun ia tak tega.
Kisah seorang ibu yang melakukan bunuh diri memang semakin sering terjadi. Fakta ini tentu saja sangat memprihatinkan, sekaligus menegaskan bahwa depresi setelah melahirkan atau Postpartum Depression memang nyata.
Hal ini pulalah yang ingin disampaikan oleh Nur Yana Yirah, perempuan yang mengalami PPD hingga akhirnya ia mendirikan MotherHope Indonesia, sebuah komunitas yang membantu para ibu yang mengalami depresi pasca melahirkan.
Sempat bertengkar dengan suami, Yana pun pernah mencoba bunuh diri bersama sang bayi yang masih merah. Beruntung, niat tersebut akhirnya bisa digagalkan. Setelah itu masalah suami istri bertengkar hebat pun bisa diselesaikan oleh Yana dan suami. Keduanya mulai membenahi pernikahannya.
Tak ingin kasus PPD yang berujung dengan depresi hingga percobaan bunuh diri, Yana terus berusaha memberikan edukasi pada pasangan suami istri. Seperti kutipan yang ia tuliskan di bawah ini:
“Setelah itu saya dan suami mengunjungi support group sebuah komunitas dan mengunjungi psikolog pernikahan di BSD. Saya konsultasi dengan seorang psikolog wanita dan suami saya dengan psikolog laki-laki.
Melalui mereka, kami berdua tahu bahwa saya mengalami depresi. Mereka memberikan pengertian kepada suami saya bahwa saya sangat membutuhkan bantuannya untuk pulih dari depresi.
Berkali-kali konsultasi dengan psikolog, suami saya mulai berubah, ia menjadi semakin sabar, semakin teredukasi, semakin baik, lembut, hangat dan pengertian.
Lambat laun budaya patriarki tersebut kikis dalam hubungan rumah tangga kami dan berganti menjadi hubungan penuh persahabatan antara suami istri.
Ia lebih rajin untuk menelpon saya, mengasuh Hana dan turut serta dalam urusan domestik. Sikap perfeksionisnya berkurang dan mulai fleksibel dalam melakukan pekerjaan di kantor maupun di rumah.
Sayangnya, keberuntungan yang saya alami tidak terjadi pada Puja dan beberapa ibu yang akhirnya memutuskan bunuh diri. Saya tidak akan menyebut diri saya lebih kuat dari mereka karena saya hidup sekarang juga karena bantuan orang lain.
Saya tidak akan menghakimi Puja yang meninggalkan Pihu sendirian dalam bahaya dan kelaparan.
Saya berempati pada Puja dan Pihu
Apa yang membuat Puja putus asa?
Banyak faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan bunuh diri, dan kita tidak dapat menyalahkan siapapun, baik Puja maupun Gaurav atau suami-suami lain yang belum teredukasi dengan baik. Satu-satunya hal yang bisa disalahkan mungkin adalah depresinya itu sendiri.
Akan ada pertanyaan, ah gw juga cerai, gw juga ditinggal selingkuh, tapi gw ga pernah tuh bunuh diri ninggalin anak-anak gw, lebay banget sih!”
“ah kurang iman aja itu.”
dan bla bla dan bla bla…
Hal ini membuat saya kembali membuka booklet MHI tulisan dokter Gina Anindyajati, psikiater, Do and Do not. Salah satu poin yang sangat dilarang untuk dilakukan pada ibu adalah MELAKUKAN KEKERASAN VERBAL MAUPUN FISIK.
“Dasar malas, dasar istri nggak berguna, mati saja kau, aku tidak peduli!” Itu semua merupakan kekerasan verbal yang dilakukan Gaurav, seketika membuat hati Puja hancur berkeping-keping.
Entah ada faktor risiko apalagi yang melatarbelakangi Puja bunuh diri, tapi pertengkaran ibarat sebuah bensin yang dituangkan ke atas api.
Meledak, seakan-akan tidak dapat dibendung lagi. Seakan-akan dalam pandangan mata Puja semuanya berakhir, gelap dan suaminya tidak menyayanginya bahkan selingkuh dengan wanita bernama Meera (ternyata tidak benar, dan Gaurav meminta maaf pada Puja atas kesalahpahaman ini).
Gaurav pulang dan sudah menemukan Puja tidak bernyawa sedangkan Pihu berada di bawah kasur ibunya sedang bermain rumah-rumahan. Film ini ditutup dengan teriakan Gaurav yang penuh sesal sambil terus-menerus meminta maaf kepada istrinya.
Do not leave your wife after fighting
Jangan meninggalkan istri Anda setelah bertengkar hebat, segera telepon dia kemudian meminta maaf.
Hingga kini kapanpun saya dan suami bertengkar, suami menelpon melalui kantor atau mengirim pesan, dia meminta maaf begitu juga saya sebagai istri pasti banyak memiliki kesalahan dan kekurangan.
Seringnya pertengkaran suami istri terjadi karena masalah perekonomian, pekerjaan suami yang penuh tekanan, atau istri yang kelelahan mengurus anak atau rumah. Atau campur tangan keluarga, bukan karena keduanya saling membenci satu sama lain.
Semua pertengkaran yang terlihat sepele di mata orang lain bisa diterima “berbeda” oleh ibu yang depresi, atau bahkan sang ayah juga depresi. Keduanya depresi.
Terima kasih Pihu The Movie, film ini telah mengajarkan saya lagi untuk senantiasa menjaga hubungan rumah tangga demi anak-anak yang telah dilahirkan. Bunuh diri bukanlah hal yang egois, (walaupun bunuh diri bukanlah solusi), jelas sang ibu sangat mencintai Pihu, karena ia tidak kuasa untuk melukai Pihu.
Walaupun terlihat tegar di luar
Hati wanita begitu rapuh
Ia mampu menahan sakitnya hamil dan melahirkan
Tapi tidak kuat jika suami yang dia sayang menyakiti dirinya
Bagaimana bisa kau meninggalkan istrimu yang terluka bersama seorang anak?
Apakah kado termahal yang bisa diberikan seorang ayah kepada anak-anaknya? Jawabannya adalah pulanglah dan cintai ibunya dengan sepenuh hati. Sebuah kado yang tidak akan Pihu dapatkan di hari ulang tahunnya yang kedua.
Apakah kado termahal dari seorang ibu yang bisa diberikan kepada anaknya? Jawabannya adalah DIRIMU, Bu. Kebahagiaan seorang ibu adalah segala-galanya bagi anakmu, Bu. Anakmu hanya butuh engkau, bukan ibu yang lain. Ibu tidak akan tergantikan. Bunuh diri bukan solusi.
Note : Jangan ragu menghubungi psikolog atau psikiater untuk memperbaiki hubungan rumah tangga yang retak, atau ketika melihat istri menunjukan keinginan untuk mengakhiri hidup.
***
Semoga perjalanan kisah Yana ataupun Puja bisa terus mengingatkan kita semua bahwa suami istri bertengkar hebat memang wajar, namun tentu saja perlu mencari titik temu untuk menyelesaikan masalah hingga tidak berujung pada petaka.
Baca juga:
"Aku depresi pasca melahirkan, tapi tak menyadarinya…" curahan seorang ibu
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.