Kemarahan kita semua belum reda sejak kasus pornografi dan pelecehan seksual anak oleh para pedofil dalam sebuah grup Facebook terungkap. Meskipun begitu, stop sebar foto korban kekerasan seksual!
Baca: Berkat kerjasama para orangtua di Facebook, polisi tangkap jaringan pedofil ini.
Namun, PR kita masih panjang. Kita perlu mulai menyerukan ‘Stop sebar foto korban kekerasan seksual maupun pornografi anak sekarang juga!’
Beredarnya tangkapan layar seputar grup pedofilia di Facebook pekan ini memang memiliki niat sebagai peringatan pada para orangtua di sekitar kita. Namun, ada satu hal yang acapkali luput saat memperingatkan pada sesama tentang kasus itu: wajah polos para korban yang ikut tersebar luas di dunia maya.
Sebagai orangtua, kita tak ingin anak kita jadi korban selanjutnya. Bahkan, beberapa orangtua mengaku bahwa korban yang wajahnya tersebar di dalam tangkapan layar tersebut seumuran dengan anaknya sendiri.
Tapi kita perlu mengingat satu hal, usia korban masih sangat kecil, masa depannya masih panjang, ia perlu melepaskan trauma dan dipenuhi hak-haknya sebagai korban.
Belum lagi jika identitas anak dan keluarga diketahui oleh masyarakat sekitar, orangtua si anak bisa saja dicibir dan dihakimi seolah mereka tidak becus dalam menjaga anak sendiri.
Saat orangtua masih berduka karena mendapati anaknya menjadi korban pelecehan seksual, mereka masih harus merasa tertekan oleh penghakiman banyak orang. Bagaimana bisa mereka memulihkan sang anak, jika mereka sendiri sulit untuk pulih.
Anak korban kekerasaan seksual juga tak cukup diberi rasa kasihan, tapi perlu untuk dilindungi. Jika kita tak bisa memberikan bantuan apa-apa, cukuplah untuk tidak mempersulit keadaan keluarga mereka dengan tidak ikut membagikan foto-foto dan identitas korban.
Belajar dari pengalaman penyintas kekerasan seksual anak
Bisa jadi, saat ini anak-anak yang menjadi korban tak menyadari apa yang terjadi. Mereka bahkan tak tahu sedang memasuki masa-masa gelap yang berat dalam menjalani hidup setelahnya. Namun trauma dapat mengintai tak kenal ampun pada siapapun yang pernah jadi korban kekerasan seksual.
Putri (29) adalah seorang penyintas kekerasan seksual saat masih kecil. Seorang kakek yang memiliki warung di dekat rumahnya beberapa kali mencabulinya sejak ia masih balita. Saat kejadian berlangsung, ia tak memahami persoalan yang terjadi.
“Kejadian itu berlangsung sampai berkali-kali. Berkali-kali,” ungkapnya.
Saat kasus kelompok pedofilia ini terjadi, ingatan masa lalunya bangkit lagi seperti hantu yang menarik semua luka yang sudah ia simpan dalam-dalam. Padahal, saat itu ia masih TK dan kejadian berlangsung sampai ia SD.
“Pencabulan itu baru berhenti saat suatu hari kakek itu mengajak saya ke kamarnya, dan ejakulasi di tubuh saya. Saat itu saya hanya jijik saja karena saya kira kakek itu pipis. Sejak itu saya tak pernah mau lagi ke warungnya”
Ia tak dapat melupakan peristiwa itu. Saat remaja, ia baru menyadari bahwa itu adalah bentuk pelecehan seksual dan ia baru mengerti bahwa perasaan sakit yang sering menderanya adalah buah dari trauma yang ia alami saat kecil.
Kejadian pelecehan dan pornografi anak ini membuatnya sangat marah sekaligus kesakitan.
“Aku tidak pernah benar-benar menyadarinya bahwa ini adalah hasil dari trauma,” ujar ibu dengan satu anak ini.
Ia merasakan, jantungnya sakit, tangannya gemetaran, tulang ngilu dan sakit seperti sedang rematik. Ia tak bisa berhenti menangis. Trauma yang selama ini menjadi parasit di dalam tubuhnya meranggas keluar dengan ganas menggerogoti kekuatan yang selama ini dia miliki.
Apa yang terjadi pada Putri bukanlah sebuah luka trauma yang akan terlupa seiring dengan berjalannya waktu. Buktinya, setelah ia menikah dan punya anak pun, kenangan buruk itu masih bersarang kuat di dalam tubuhnya.
Putri tak sendiri, anak-anak yang fotonya diposting ke dalam grup tersebut juga akan menghadapi hal yang sama. Kenangan buruk akan membatu di tubuhnya entah sampai kapan.
Risrona Simorangkir turut memberikan keprihatinan yang sama. Ia menyadari bahwa secara cepat tangkapan layar yang pada mulanya dikumpulkan sebagai barang bukti ke kepolisian jadi menyebar secara liar tanpa sensor nama maupun wajah korban. Padahal, sebenarnya hanya untuk para anggota grup rahasia tersebut.
“Sebaiknya foto korban jangan disebarluaskan karena hal itu sangat memalukan bagi korban dan keluarga korban. Cukup pihak kepolisian dan terkait saja yang tahu secara jelas identitas korban,” himbaunya.
Salah satu ibu anggota grup yang berperan sebagai ‘pendekar’ yang membongkar kasus ini juga menambahkan bahwa peristiwa ini adalah hal yang sangat sensitif bagi anak-anak.
Perlu diketahui, kejahatan para pedofilia ini terbongkar berkat kerjasama para member grup Facebook yang terdiri para ibu-ibu berani yang resah dengan hadirnya grup pedofilia tersebut. Terlebih, rata-rata korbannya seumuran anak mereka sendiri.
Kemudian, para ibu tersebut mengumpulkan tangkapan layar grup Candy Official dan segera melaporkannya ke pihak berwajib. Aksi heroik mereka menampik semua stigma buruk bahwa ibu-ibu hanya bisa bergosip.
Stop sebar foto korban kekerasan seksual, perhatikan hak para korban
Ada banyak alasan mengapa kita perlu melakukan aksi stop sebar foto korban kekerasan seksual.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Veni Siregar meminta orang-orang yang menemukan kasus serupa untuk melakukan aksi nyata seperti yang dilakukan grup ibu-ibu tersebut ke pihak berwajib.
Selain itu, netizen juga diharapkan dapat menginfokan ke masyarakat lainnya agar lebih waspada atas peristiwa tersebut.
Artikel terkait: Cara melindungi anak agar tak jadi korban kekerasa seksual.
“Namun, masyarakat perlu hati-hati tentang kerahasiaan korban,” ujar Veni.
Veni menyebut bahwa ada beberapa hak korban yang harus diperhatikan. Diantaranya:
- Hak untuk diberitakan (dengan tetap melindungi identitas asli korban)
- Hak atas keadilan
- Hak untuk tidak mendapatkan stigma
- Hak mendapatkan pemulihan
Direktu LBH APIK ini juga menekankan bahwa peristiwa itu tak akan pernah dapat dilupakan oleh korban, keluarga, dan pihak manapun yang pernah mengetahui peristiwanya. Sehingga melupakan peristiwa ini adalah sebuah kemustahilan.
“Yang bisa kita lakukan adalah mengubah persepsi masyarakat agar tidak menyalahkan korban, melainkan harus melindunginya,” tegas Veni.
Maka, jika Parents sudah terlanjur menyebarkan foto dan identitas korban di media sosial tanpa sensor, sebaiknya hapus foto korban sekarang juga. Jangan sampai, niat baik Anda yang ingin para orangtua untuk waspada malah berbalik api menjadi penghancur masa depannya.
Mari lindungi masa depan anak-anak kita. Jika Anda benar-benar peduli, maka serukan ‘Stop sebar foto korban kekerasan seksual maupun pornografi anak sekarang juga!’
Jika Anda mengetahui adanya kekerasan seksual pada anak, perempuan, maupun keluarga, segera hubungi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta. Jalan. Raya Tengah no. 31 RT. 01/09, Kramat 021 87793300. Hotline: 081285552430. Email: lbh.apik@gmail.com. Anda akan mendapatkan konsultasi, bantuan hukum, dan pendampingan gratis dari LBH APIK.
Baca juga: