Pernah mendengar istilah stonewalling? Dalam ilmu psikologi, stonewalling adalah sebuah istilah yang diberikan Gottman untuk seseorang yang memblokir atau menolak berkomunikasi.
Terus terang saja, sejak pacaran dengan suami, kami memang jarang bertengkar. Namun ternyata justru hal itu membuat kami tidak saling mengenal dan memicu kebiasaan stonewalling.
Stonewalling adalah Perilaku yang Perlu Dihindari dalam Pernikahan
Saya dan suami sudah saling mengenal selama 3 tahun sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Dalam waktu 3 tahun tersebut kami hampir tidak pernah bertengkar.
Jika ada perasaan yang kurang enak seperti marah atau cemburu, biasanya hal itu sama-sama kami pendam. Apalagi pada saat itu beberapa kali kami sempat LDR karena saya memilih pulang ke kampung halaman.
Hubungan yang adem ayem ini berlanjut hingga pernikahan. Jika saya melihat teman-teman saya ‘kaget’ dengan sosok suami ketika sudah menikah, saya tidak menemukan hal demikian.
Lama kelamaan kami sama-sama merasa lelah. Apalagi saat itu kami masih tinggal bersama mertua, di mana ruang gerak menjadi terbatas. Keterbatasan ini membuat kami makin berusaha menghindari konflik.
Saya dan suami sama-sama sering pulang terlambat karena lembur sehingga sering kena tegur. Suami memang sudah terbiasa, namun saya yang biasa hidup sendiri di kosan merasa kurang nyaman dengan hal tersebut.
Walaupun hanya teguran ringan namun berbeda rasanya apabila didengar ketika baru pulang dengan kondisi mental dan fisik yang lelah. Apalagi terkadang saya tidak bisa langsung istirahat dan tidak banyak memiliki ruang privasi seperti ketika masih sendiri.
Ketika saya mengeluh, sebenarnya suami juga memahami posisi saya. Namun karena hal ini terjadi terus-menerus akhirnya kami sama-sama frustasi. Tidur menjadi kurang nyaman terutama karena harus tetap tidur seranjang demi pencitraan di hadapan mertua.
Alhasil sepulang kerja sering kali kami terlibat perang dingin. Kami yang sama-sama menggunakan silent treatment untuk mengungkapkan rasa marah. Tapi, kondisi ini tentu saja tidak membuat keadaan membaik. Belakangan saya baru tahu jika hal ini disebut stonewalling.
Stonewalling menjadi sebuah pola yang sama-sama kimi gunakan ketika emosi. Tidak berbicara, menghindar, memendam, bahkan menolak berkomunikasi. Diam seperti langkah termudah, apalagi kami berada di bawah pengawasan mertua.
Bangun pagi terasa lebih lelah karena masih meredam emosi tanpa bisa dan enggan mengungkapkan, dan saya jadi lebih ingin cepat-cepat pergi bekerja. Sepanjang jalan pulang dari kerja saya kerap menangis membayangkan harus melalui hari yang sama. Lagi dan lagi.
Boom Waktu pun Akhirnya Meledak
Sampai akhirnya bom waktu mulai meledak. Hal-hal kecil kerap membuat kami kesal. Sedikit saja tidak cocok kami malas berbicara sampai mood kami sama-sama membaik. Saat itu, saya belum memahami bahwa stonewalling adalah tindakan yang sebaiknya justru segera kami ubah. Ketika itu justru masih menjadi andalan sehingga tidak satupun masalah bisa kami solusikan dengan baik.
Saya mulai merasa bahwa kekurangan kami justru karena kami tidak pernah bertengkar sejak awal. Bukan karena kami pasangan ideal, namun sifat kami yang sama-sama suka menghindari konflik yang memicu aksi stonewalling jadi penyebabnya.
Kami jadi tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaaan tidak enak dan selalu gagal mencari solusi apabila terjadi masalah dalam hubungan. Lambat laun kami jadi merasa pernikahan ini tidak bahagia.
Waktu itu seorang teman memang menyarankan kepada saya langkah yang cukup ekstrem dengan membiarkan saja semua emosi keluar sepuas-puasnya. Sebenarnya saya agak takut karena pernah menyaksikannya sendiri mereka bertengkar hingga semua barang-barang di dapur berserakan.
Saya rasa ada jalan yang lebih baik dari itu, saya ambil baiknya yaitu saya harus coba ungkapkan pelan-pelan apa yang saya rasakan. Saya juga lebih banyak menanyakan apa yang suami saya rasakan.
Saya cari waktu yang pas dan pastikan suami memiliki mood baik. Kebanyakan hal ini saya lakukan ketika di luar rumah agar kami lebih bebas berbicara. Awalnya suami heran mengapa saya menjadi bawel dan banyak bertanya.
Jujur memang aneh rasanya mengungkapkan perasaan, di satu sisi saya merasa lemah jika harus mengatakan hal tersebut. Namun saya rasa hal itu harus, supaya suami paham dan juga bisa mengungkapkan tanggapannya.
Terkadang suami malas untuk menjawab, saya tahu bahwa ia pun menghadapi kesulitan yang sama. Saya terus berusaha melakukannya dengan intonasi yang lembut, seperti memberi afirmasi.
Pelan-pelan suami mulai mau mengungkapkan tanggapannya atas konflik kami. Lama kelamaan tanpa ditanyapun ia langsung mengungkapkan semisal ia merasa lelah, marah atau sedih.
Kesepakatan terbaik yang kami hasilkan dalam proses ini adalah memberi batas waktu 3 hari untuk menyelesaikan masalah. Jika lebih dari itu maka masalah ini menjadi kondisi yang tidak bisa kami ubah dan kami harus belajar legowo dan hidup berdampingan dan berusaha mengatasi bersama akibat buruknya.
Sampai hari ini kami jadi lebih peka membaca gesture satu sama lain apabila ada emosi yang ingin disampaikan. Masalah kecil tak lagi kami besar-besarkan seperti dulu, tapi langsung kami tuntaskan.
Kami terbiasa saling mendengar, saling mengkritik, dan menghadapi pertengkaran dengan seperlunya. Jika ada hal yang kurang enak, kami pahami bahwa dalam pernikahan masalah adalah cara kami untuk terus tumbuh karena tiap hari kami sama-sama berubah.
Pertengkaran tak lagi menakutkan karena akhirnya justru membuat kami bisa terus saling mengenal. Jadi say no more untuk stonewalling!
Iya, nyatanya stonewalling adalah hal yang tidak baik untuk dipelihara.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.