Parents pernah mendengar istilah selective mutism? Selective mutism (SM) bisa diartikan sebagai salah satu gangguan pertumbuhan anak-anak yang menyebabkan anak sulit berbicara.
Bebeberapa waktu lalu, saya sempat mengikuti kuliah WhatsApp dengan topik Waspada Hyper Parenting. Narasumber dalam kuliah Whatsapp itu adalah Anggia Darmawan, praktisi psikologi, sekaligus psikolog anak Kementrian Sosial RI dan Psikoteraspis.
Anggia menjelaskan bahwa salah satu risiko hyper parenting adalah menyebabkan anak mengalami selective mutism. Hyper Parenting adalah sebuah pola pengasuhan dengan kontrol berlebihan yang dilakukan orangtua agar anak mencapai terbaik dalam segala hal.
“SM ini bisa diartikan sebagai fobia berbicara. Penderita SM ini pada dasarnya bukan bisu, tapi punya perilaku yang serupa layaknya seseorang yang memiliki trauma sosial. Ketika ada berada di lingkungan baru atau bertemu orang baru, tiba-tiba saja saja jadi tidak bisa berbicara,” terangnya.
Artikel terkait: Ingin anak lancar bicara? Jangan lupa stimulasi dengan 3 cara ini di rumah
Pernahkah Parents melihat ada anak yang tiba-tiba saja mogok bicara saat berada di lingkungan baru? Anak yang biasanya mau berbicara di rumah, tiba-tiba saja diam seribu bahasa. Atau kondisi ini justru dialami oleh si kecil di rumah?
Biasanya kondisi ini memang terjadi saat anak merasa bahwa dirinya berada dalam lingkungan yang dianggapnya tidak menyenangkan.
Jika berada di rumah, anak-anak mungkin bisa ngobrol, bisa bercerita pada orangtuanya. Namun ketika anak sudah masuk ke lingkungan sosial, terlebih lingkungan baru maka bisa berubah ‘melempem’.
Seorang ahli bernama Kehle, mendefinisikan selective mutism merupakan suatu gangguan ketika seseorang menjadi diam atau “mute” pada situasi tertentu. Biasanya kondisi ini dialami pada tahap perkembangan usia anak-anak. Umumnya, kondisi ini sering terdiagnosis saat anak berusia antara tiga hingga delapan tahun.
Seperti yang ditulis dalam pijar psikologi, beragam penelitian mengatakan kalau jumlah anak yang mengalami SM tidaklah terlalu besar, tidak lebih dari 1%. Menurut APA (American Psychological Association) jumlahnya memang masih tergolong kecil.
Namun, pemerintah Inggris memperkirakan 7 dari 1.000 anak-anak menderita SM, sementara di kalangan remaja kemungkinannya satu dari setiap 1.000, dan di kalangan dewasa satu dari 2.400.
Meskipun begitu, kondisi SM tentu saja tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
“Orang yang mengalami SM ini seperti punya trauma untuk berbicara, khususnya dengan orang-orang yang tidak yakin bisa dia percaya. Jangankan orang baru dikenal, dengan keluarga pun mereka cenderung tidak percaya. Namun memang, orang yang mengalami SM ini tidak talkactive.” ujar Anggia lagi.
Anggia melanjutkan, kondisi selective mutism bukan dikarenakan anak tidak bisa bicara, atau speech delay, SM ini dikarenakan anak memiliki rasa cemas atau takut yang sangat tinggi, bahkan bisa dibilang memiliki trauma.
“Mereka ini punya rasa takut besar, takut ditertawakan, takut disepelekan, takut tidak diterima, takut dianggap remeh, takut dianggap bodoh, jadi apa-apa serba takut,” ujarnya.
“Selective mutism memang disebabkan karena adanya trauma masa lalu. Misalnya orangtuanya sering kali membentak anak, sering menyalahkan atau sering menertawakan anak. Jadi ia tumbuh di rumah atau di lingkungan yang sering terjadi bullying,” tambah Anggia.
Dikatakan Anggia, bila sejak kecil anak dididik dengan pola asuh tidak tepat atau hyper parenting, maka anak tumbuh dengan penuh tekanan, sehingga memicu terjadinya SM.
Oleh karena itu, jika hal ini terjadi maka tentu saja harus diperbaiki. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah dengan mencari tahu dulu akar masalahnya di mana, ketahui mengapa bisa terjadi dan pada usia berapa anak ini mengalami trauma, termasuk mengetahui siapa yang menyebabkan anak mengalami SM.
Setelah itu perlu diajarkan untuk terapi self healing, ketika mulai merasa cemas, anak ini perlu melakukan self healing.
Baca juga:
Ini 4 Miskonsepsi dalam pola asuh yang perlu Parents segera ubah