Menyusui merupakan aktivitas yang lazim dilakukan oleh setiap ibu setelah melahirkan buah hatinya ke dunia. Ada beragam fakta yang menyebutkan dampak positif yang dirasakan ibu atau pun bayi saat menyusui. Baik secara kesehatan fisik maupun mental.
Mulai dari memenuhi asupan nutrisi yang dibutuhkan, melindungi bayi dari paparan bakteri dan kuman, menyusui dipercaya sebagai kontrasepsi alami, dan dapat membentuk ikatan batin ibu dan bayi semakin kuat. Serta, masih banyak manfaat menyusui yang lainnya,
Mengingat ragam manfaat yang bisa diperoleh, maka tak mengherankan jika belakangan ini banyak praktisi medis, khususnya dokter anak yang gencar mengingatkan para orangtua, bahwa ASI merupakan hak semua bayi yang harus terus diusahakan dan diberikan.
Namun, belum lama ini muncul anggapan terkait kerugian menyusui untuk seorang ibu. Anggapan Ryu Hasan, dokter spesialis bedah saraf, yang ia sampaikan melalui sebuah utasan di akun Twitter miliknya ini tentu saja menuai pro kontra.
Dokter Ryu : Kemampuan otak dan berpikir ibu akan menurun saat menyusui
Pada Senin, 30 Desember 2019, awalnya dokter Ryu menuliskan, “Siapa bilang ibu menyusui jadi lebih sehat“. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menjelaskan terkait kerugian dari proses menyusui.
Salah satu contoh kerugian yang ia sampaikan yaitu jika kemampuan otak dan berpikir perempuan akan menurun ketika ia menyusui. Alhasil membuat para ibu menyusui berada dalam keadaan tidak fokus.
“Salah satu yang merugikan perempuan yang menyusui adalah kemampuan otaknya, fokus mental turun, ibu menjadi loyo dan tidak fokus dalam berpikir. Otak yang blur banyak ditemui pada ibu-ibu pasca persalinan, penyusuan bisa memperparah dan memperlama keadaan loyo dan sedikit tidak fokus ini,” kata dr. Ryu.
“Bagian otak perempuan yang bertanggung jawab atas fokus dan konsentrasi disibukkan tugas melindungi dan melacak bayi selama 6 bulan pertama. Selain karena kurang tidur, otak perempuan setelah melahirkan memang sedikit bengkak, kembali keukuran normal di bulan ke-6 pasca persalinan,” sambungnya.
Saat menyusui, ibu akan lebih gampang bingung
Akibat dari adanya penurunan kemampuan berpikir, membuat ibu yang sedang menyusui lebih mudah merasa kebingungan. Namun, setelah proses menyusui berakhir, kondisi itu pun akan berangsur pulih.
“Riset yang dilakukan mendapati penurunan keterampilan verbal perempuan-perempuan yang menyusui, penurunan ini hilang setelah mereka tidak menyusui lagi. Pada mayoritas perempuan, kondisi yang sedikit gampang bingung ini dianggap sebagai “harga yang murah” demi mendapatkan keuntungan penyusuan,” jelasnya melalui akun twitter @ryuhasan.
“Makin lama dan sering bayi mengisap puting, makin terpicu respons prolactin-oksitosin di otak ibu. Hal ini tidak selalu menguntungkan bagi si ibu. Koalisi ibu-bayi adalah persekutuan penting dalam aksi neurologis persusuan ini. Tentu bayi yang dapat keuntungan dari persekutuan ini,” imbuhnya menjelaskan.
Bayi lebih mendapatkan keuntungan dari proses menyusui
Dokter Ryu mengungkapkan, jika bayi yang dapat keuntungan dari proses menyusui. Keuntungan langsung bagi bayi adalah mendapatkan makanan dan kenyamanan.
“Oksitosin melebarkan pembuluh darah di dada ibu memberikan kehangatan bagi anaknya. Ketenangan bayi saat disusui bukan hanya karena ada makanan, tapi juga gelombang homron oksitosin di otaknya yang menyebabkan rasa nyaman itu,” ungkap Ryu.
“Tapi ketenangan bayi tidak bisa selalu didapatkan dengan ngASI, bayi yang sakit misalnya meskipun disusui, ya tetap saja gelisah. Catatan: ASI adalah makanan, bukan obat, jadi ya jelas ngawur kalau ada yang bilang ASI bisa ngobati penyakit ini penyakit itu,” lanjutnya.
Saat menyusui, ibu berpeluang mengalami kondisi panik atau cemas
Sementara itu, ternyata pada ibu menyusui pun rentan mengalami kepanikan atau kecemasan. Terutama ketika ibu secara fisik sedang jauh dari bayinya.
Dokter Ryu menyebut kondisi ini dengan istilah ‘sakau’ yang ditandai dengan merasa takut, cemas bahkan panik. Menurutnya, sakau atau withdrawal syndrome pada perempuan menyusui, sekarang sudah diketahui sebagai kondisi yang dikarenakan keadaan neurokimiawi di otak.
Otak adalah instrumen yang selaras, perpisahan dengan bayi yang masih disusuinya bisa mengacaukan otak emosi (suasaan perasaan) perempuan. Perasaan tidak karuan ini diakibatkan karena turunnya oksitosin yang berfungsi menghambat stres di otak.
“Banyak ibu-ibu menyusui merasakan gejala ‘sakau’ saat selepas masa cuti lahiran, karena menyapih sering terjadi bersamaan dengan habis masa cuti kerja. Perempuan-perempuan yang menyapih bayinya sangat mungkin jatuh dalam keguncangan dan kecemasan, akibat turunnya kadar oksitosin secara drastis di otaknya,” ujar Ryu.
“Saat masa cuti, perempuan mendapat serbuan oksitosin yang membanjiri otak mereka setiap beberapa jam akibat menyusui, ini membuat mereka nyaman. Saat mulai kerja, pasokan oksitosin itu terputus, karena hormon ini hanya bertahan 1-3 jam dalam aliran darah dan otak, wajar kalau jadi cemas,” sambungnya.
“Proses menyusui bayi tidak hanya memberi rasa nyaman, tapi juga memberi peluang kepanikan,” tegas dokter Ryu
Untuk meredekan gejala cemas, mayoritas ibu melakukannya dengan memompa ASI saat berada di tempat kerja, dan pelan-pelan mengurangi aktivitas menyusui. Namun, cara tersebut dianggap kurang efektif, justru dianggap dapat memancing kondisi depresi lain.
“Meskipun cara ini tidak selalu bisa meredakan sakau. Bahkan, bisa memicu kondisi baby blues, depresi yang muncul pasca persalinan,” tulis Ryu di Twitter.
“Jadi kenyatannya adalah proses menyusui bayi tidak hanya bisa memberi rasa nyaman pada si ibu, tapi juga memberi peluang kepanikan. Dengan mengetahui proses neurokimiawi yang terjadi di otak perempuan yang menyusui, kita bisa menyiasati supaya peluang kecemasan ini diminimalkan,” tegasnya.
Pakar laktasi : Proses menyusui justru bermanfaat mengurangi stres bagi ibu dan bayi
Cuitan dokter Ryu Hasan ini pun mendapat beragam tanggapan, mungkin Parents juga termasuk salah satunya?
Salah satu tanggapan diberikan oleh dr. Wiyarni Pambudi, Sp.A, IBCLC. Dokter anak sekaligus konselor menyusui ini menjelaskan, berdasarkan hasil uji stress marker kardio (tekanan sistolik, kontrol parasimpatik, aktivitas laju nadi) pada ibu menyusui terukur lebih rendah dibanding ibu yang tidak menyusui. Begitu juga respons kortisol (hormon untuk stress-buffering) pada ibu yang menyusui dan menggendong bayi.
“Artinya, proses menyusui punya manfaat stress-reducing yang tidak hanya dirasakan ibu, tapi juga bayi (bonus: efek domino ke ayah jadi lebih pede punya ‘ikatan keluarga’). Stress-buffering karena menyusu ini lambat laun berkurang seiring bertambahnya usia bayi,” ujarnya.
“Lalu kenapa banyak ibu menyusui terlihat moody, cemas, banyak pikiran? Ya karena persoalan parenthood justru datang dari lambe-lambe di sekeliling ibu. Faktor usia, pendidikan dan pengalaman ibu, status sosial, kondisi ekonomi, perilaku/gaya hidup pasti ikut berpengaruh,” tambahnya.
Perubahan sel otak justru terjadi selama kehamilan, bukan saat menyusui
Jika dr. Ryu mengatakan jika ibu menyusui gampang bingung dan tidak fokus dalam berpikir, hal itu memang tidak salah. Setelah melahirkan, memang sangat lazim ditemui ibu baru menjadi pelupa, melambat responnya, dan lain sebagainya.
“Sebenarnya perubahan sel otak justru terjadi selama kehamilan, terkait erat dengan adaptasi respons imun tubuh menyeimbangkan diri menjadi inang yang ditempeli ‘benda asing’ berwujud janin,” ungkap Wiyarni.
Wiyarni melanjutkan, Prof. Stuebe menulis tentang ‘reset hypothesis’ yang diperdalam puluhan riset lanjutan, salah satunya tentang plastisitas otak dan kesehatan mental hingga 2 tahun pasca persalinan. Membuktikan, perilaku menyusui membantu pemulihan ‘reduksi kontrol kognisi bermakna’ selama hamil.
“Lewat pemindaian MRI, bagian sel abu-abu otak yang mengatur kecepatan berpikir dan berinteraksi mengalami perbaikan lebih cepat pada ibu menyusui. ‘Sosial brain area’ akan berfungsi lebih cerman mengikuti peran keibuan, mampu bereaksi spesifik mengenali kebutuhan bayi,” jelas perempuan yang akrab disapa dokter Oei.
Ibu menyusui berpotensi lebih mengenal bayinya dan mengetahui kebutuhan bayi
Dokter anak yang sudah dikenal sebagai pegiat ASI ini ini juga memaparkan fakta lain terkait manfaat saat menyusui. Di mana ibu menyusui justru memiliki potensi lebih unggul dalam beradaptasi dengan bayinya. Seperti mengetahui apa yang bayi mereka butuhkan.
“Proses adaptasi sel-sel otak pada ibu pasca bersalin secara bermakna responsnya lebih unggul jika ibu lebih sering menyusui dan menggendong bayi. Kita kadang meremehkan kecerdasan ini dengan istilah ‘insting’, tapi ternyata tidak semua ibu bisa mengenal bayinya dengan baik,” paparnya melalui akun Twitter @drOei.
“Korteks prefrontal dan temporal yang volumenya berkurang akibat ‘self-focused processing’ semasa kehamilan, secara bertahap membangun kemampuan mengenali sinyal non verbal (termasuk beragam nada tangisan dan ocehan), mengasah feeling dan trust untuk bonding ibu-bayi,” sambungnya.
“Anggap ini kabar baik untuk calon ibu dan ayah, yakinkan diri manfaat menyusui bukan semata ‘ngasih makan bayi’. Fungsi nutritif mungkin bisa dicarikan penggantinya dengan teknologi, tapi fungsi ‘reset’ = reparasi tubuh dan mental menyesuaikan sosok ibu tetap sulit tergantikan,” tegas dokter Oei.
dr. Wiyarni menambahkan bahwa yang disampaikan oleh dokter Ryu Hasan itu sebenarnya efek dari perubahan atau penyesuaian otak perempuan saat hamil. Sebagian area di girus prefrontal dan temporal otak ibu hamil akan bersiap untuk peran ibu, supaya lebih mahir menerjemahkan pesan non-verbal bayi.
“Jadi, lemot bukan gara-gara menyusui,” ucapnya kepada theAsianparent Indonesia.
Parents, demikianlah informasi terkait kondisi yang dialami ibu saat melewati proses menyusui bayinya. Di balik pro-kontra kerugian yang dialami saat proses menyusui yang dikatakan dr. Ryu, Bunda tetap harus bersyukur karena masih mampu menyusui si kecil. Toh, banyak penelitian yang membuktikan ragam manfaat menyusi yang bisa dirasakan oleh bayi atau pun sang ibu. .
Baca juga :
id.theasianparent.com/konsultasi-laktasi
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.