Apakah Parents adalah generasi milenial? Milenial sering digambarkan sebagai anak muda yang hanya berfokus pada gaya hidup, menabung dan investasi bisa menunggu nanti.
Tak heran, kebanyakan generasi milenial belum melek apa pentingnya menata skala prioritas keuangan dalam hidupnya.
Pentingnya Menyusun Skala Prioritas Keuangan
Berusia matang, sudah produktif, dan jenjang karir mulai teratur setidaknya menjadi gambaran anak muda masa kini. Seiring perkembangan teknologi yang kian canggih, lebih dari 70% generasi milenial memiliki akses mumpuni terhadap layanan perbankan.
Sayangnya, masih terjadi gap antara akses keuangan dan literasi keuangan itu sendiri. Tren investor pemula yang cenderung “Fear of Missing Out” (FOMO) alias takut ketinggalan kereta membuat anak muda berinvestasi hanya untuk bergaya.
Setidaknya itulah sekelumit fakta yang saya dapat ketika mengikuti Press Conference Virtual bertajuk “Generasi Milenial Mulai Memasuki Usia Matang dan Fokus Masa Depan Keluarga, HSBC Hadirkan Solusi Investasi Lengkap Melalui HSBC Advance” kemarin.
Samanta Elsener, M.Psi., Psikolog selaku Psikolog Anak dan Keluarga menuturkan bahwa setiap manusia memiliki titik balik berbeda dalam kehidupannya. Akan ada momentum anak muda sampai ke masa memikirkan keluarga.
“Dari segi usia jelas berbeda, aku menyebutnya itu peak experience. Ada yang mencapai fase ini di awal 20-an, ada juga yang baru memikirkan ketika sudah masuk usia 40.
Tetapi peningkatan kesadaran akan kebutuhan diri ini biasanya timbul di awal usia 30 ketika karir sudah mulai menanjak. Di sinilah mereka mulai bermental mapan, alias bisa membedakan mana nih yang benar-benar kebutuhan dan semata keinginan.” ujar Samanta.
Artikel terkait: Bongkar Keuangan Keluarga, Raffi Ahmad: “Gue Enggak Tahu Uang Gigi Berapa”
Menurutnya, mental mapan ini bisa dimulai dengan memetakan visualisasi visi hidup dalam jangka panjang. Mempunyai tabungan, investasi, dan proteksi menjadi kunci agar manusia bisa memiliki relasi sehat dengan keuangan.
Samanta sendiri mengalami transisi ini cukup dini, yakni saat usianya belum mencapai 20 tahun. Masuk kuliah jurusan psikologi dan mengulik psikologis keuangan mengubah total hidupnya.
“Aku pernah mengalami masa kecil yang cukup berat, waktu itu ibarat kata jadi sekretaris pribadi Ayah. Jadi aku bisa tahu itu kapan Ayah punya banyak uang dan kapan keuangan lagi minim. Ayah juga jadi ngingetin supaya menabung dan paham instrumen keuangan.
Ini jadi titik balik aku bahwa mengatur keuangan itu penting banget. Oma sama opaku waktu itu juga mengingatkan supaya keuangan diatur biar stabil. Dari situ, keinginanku mengajak teman-teman supaya melek keuangan semakin kuat”, sambung Samanta.
Samanta tak menampik, ada kepuasan tersendiri ketika bisa mengedukasi keuangan dan memengaruhi banyak orang di jalan yang positif. Dalam hal ini, Samanta ingin orang bisa mengetahui apa kebutuhannya dalam jangka panjang.
Artikel terkait: Bincang Keuangan Keluarga, Annisa Steviani: “Kuncinya Terbuka dan Berani Bilang Tidak”
Kehadiran Anak Mengubah Segalanya
Selain berkecimpung di dunia psikologi, Samanta mengakui adanya anak juga mengubah pandangan hidupnya soal uang. Secara lebih bijak, mindset keuangan mapan Samanta semakin matang.
“Waktu punya anak, aku jadi mikirin tuh ingin deh mewariskan hal baik untuk anak seperti yang dulu aku dapat dari orang tua. Aku sendiri sudah mengajarkan mengatur keuangan sejak anakku lima tahun,” ujar Samanta.
Hasilnya, sang anak pun sudah tahu pasti apa yang akan ia lakukan dengan uangnya dan bagaimana cara mengatur uang dengan seksama. Di usia yang masih 9 tahun, buah hati Samanta bahkan sudah mampu menakar berapa lama durasi waktu yang dibutuhkan ketika menginginkan benda tertentu.
“Pas dia dapat angpao tuh, langsung ditabung kalau ingin barang yang besar. Aku berharap pandemi seperti sekarang ini menjadi pengingat supaya kita memiliki perencanaan keuangan yang lebih matang supaya masa depan anak tidak terganggu,” lanjut Samanta lagi.
Samanta sendiri rupanya memiliki cara yang unik dalam menata hal dalam hidupnya. Ia belajar otodidak perihal perencanaan keuangan. Cara ini dinilainya mampu membangun mental sejak dini.
“Dulu pas teman kuliah belum kepikiran, saya sudah merancang visual board terus ditempel di dinding kamar kost. Teman akhirnya jadi sadar dan kepikiran juga bahwa yang namanya tabungan dan investasi jangka panjang harus dilakukan. Caranya? Banyak baca buku tentang manajemen keuangan,” urainya lagi.
Artikel terkait: Pengalaman dan Tips Edukasi Keuangan untuk Anak ala Ersa Mayori
Tips Menyusun Prioritas Keuangan
Sebagai seorang psikolog, Samanta sadar kapan seseorang akan mencapai titik balik keuangan berbeda waktunya. Namun, Teori Hierarki Kebutuhan Manusia ala Abraham Maslow menjadi panduan awal versinya.
“Setiap milenial berbeda, maka fase hidup dan kebutuhannya pasti berbeda. Terpenting pahami dulu apa yang menjadi prioritas dan goal apa sih yang ingin dicapai di masa depan. Aturnya mulai dari sekarang, karena financial planning yang tepat membantu setiap orang merencanakan dengan baik,” jelas Samanta.
Lebih rinci, berikut teori kebutuhan manusia Maslow yang dapat menjadi gambaran:
- Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs). Kebutuhan mendasar untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya demi bertahan hidup (survival). Kebutuhan fisiologis ini misalnya kebutuhan makanan, minuman, tidur, seks, dan sebagainya.
- Rasa Aman (Safety/Security Needs). Setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi, barulah muncul kebutuhan akan rasa aman. Contohnya kebutuhan rasa aman dari kriminalitas, penyakit, bencana alam, aman dari perundungan, dan sebagainya.
- Kebutuhan Sosial (Social Needs). Kebutuhan selanjutnya adalah kebutuhan sosial dan kasih sayang. Kebutuhan ini mencakup dorongan rasa dibutuhkan orang lain, dicintai, memiliki pasangan, bersosialisasi di masyarakat, dan sebagainya.
- Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs). Kebutuhan ini merupakan pemenuhan ego untuk meraih prestise. Contohnya yaitu kebutuhan akan status, pengakuan, reputasi, martabat, bahkan dominasi.
- Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs). Puncak kebutuhan manusia adalah kebutuhan akan aktualisasi diri, yaitu keinginan untuk mengoptimalisasi potensi diri. Mulai dari cita-cita, keinginan, kreativitas, dan kematangan mental untuk bertanggung jawab terhadap pilihan yang ia putuskan sendiri.
Lanjut Samanta, tips ini juga berlaku untuk golongan sandwich generation yang marak di Indonesia. Melatih mindset disiplin dan relasi sehat terhadap uang menjadi kunci untuk tidak melanjutkan tradisi serupa di masa mendatang.
“Kuncinya ada di kita, cobalah untuk membentuk healthy boundaries alias batasan yang sehat. Tetapkan financial goal kita, lalu tentukan seberapa yang mampu kita berikan untuk keluarga. Hitung-hitung ini menjadi cara melatih disiplin sekaligus mengoptimalkan perencanaan keuangan yang lebih sehat,” pungkas Samanta.
Semoga informasi ini membuka wawasan dan membuat kita semua lebih cakap menentukan prioritas keuangan yang menyehatkan.
Baca juga:
Bantu Anak Pahami Cara Kelola Keuangan di Masa Sulit, Ini yang Saya Lakukan
Parents, Ini 6 Tips Menabung yang Efektif Agar Tujuan Keuangan Tercapai Maksimal!
id.theasianparent.com/mengatur-keuangan-setelah-resign