Salah satu konten yang sering dilakukan oleh para penggiat media sosial dan YouTuber adalah prank. Padahal, tidak jarang konten ini justru membuat orang kesal, baik yang di-prank atau yang menontonnya. Bagaimana fenomena prank menurut psikolog?
Dilansir dari Halodoc, kriminolog dari University of Derby, Tony Blockley, mengatakan bahwa keinginan untuk menakuti atau memberi kejutan, yang sekarang disebut prank adalah obsesi manusia terhadap sesuatu yang bersifat sensasional. Bahkan, unsur syok yang diakibatkan dari oleh prank sudah seperti uang yang bisa membuat orang ketagihan.
Saat orang yang melakukan prank ini berhasil mengejutkan orang lain, dia merasa egonya semakin tinggi. Begitu juga saat prank yang dilakukannya ditonton banyak orang, dia merasa seperti mendapatkan pujian dan memiliki pencapain hidup yang berarti.
Artikel terkait: 5 Fakta Aksi Baim Wong dan Paula Prank KDRT ke Polisi, Tuai Kecaman!
Prank Menurut Psikolog, Sudah Dianggap Sebagai Sumber Nafkah
Sumber Insiden 24
Sementara itu, menurut psikolog Dr. Ade Iva Wicaksono, orang yang membuat konten prank sangat sadar dengan tujuannya, bahkan risiko yang akan diterimanya. Namun, semua itu tetap dilakukan karena konten tersebut merupakan one way to make a living atau tempat mencari nafkah.
“Sehingga fenomena demi konten ini bukan sesuatu yang mengherankan lagi. Ini adalah sebuah konsekuensi logis ketika seseorang mendefinisikan media sosial sebagai platform utama dalam kehidupan,” jelas dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila ini, seperti dikutip dari Okezone.
Itulah mengapa banyak orang yang bersedia melakukan berbagai macam prank, demi follower menjadi lebih banyak dan tawaran endorse melimpah. Mereka melakukannya dengan berlindung di balik alasan ‘Ini hidup gue’.
Sumber YouTube
Padahal, menjalani hidup seperti ini bisa sangat mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Dr. Ade menyebutnya fenomena Problematic Social Media Use (PSMU) yang terjadi ketika seseorang melihat media sosial sebagai platform utama kehidupan. Bahkan pemikiran untuk memalsukan sesuatu menjadi hal yang wajar untuknya.
PSMU ini erat kaitannya dengan kesehatan mental karena orang yang mengalaminya sudah tidak mempedulikan atau bahkan menjual nilai-nilai di masyarakat. Misalnya saja nilai kesopanan, harga diri, akal sehat, dan rasa malu demi viral.
Artikel terkait: Viral Prank Suara Kuntilanak pada Anak, Ini 5 Dampaknya Bagi Mental dan Fisik Si Kecil!
Bagaimana Dampak Prank pada Anak Menurut Psikolog?
Di antara sekian banyak jenis prank yang dilakukan, tidak sedikit orang yang menjadikan anak kecil sebagai objeknya. Ada beberapa video TikTok yang tersebar luas, yang melakukan prank kepada anak kecil dengan filter suara tertawa hantu.
Sumber TikTok
Dalam video tersebut, anak-anak dikunci di sebuah ruangan dengan gadget dan filter “hantu” diaktifkan sehingga muncul di kamera depan. Beberapa anak hanya merinding, tetapi yang lain terlihat berteriak dan berjuang untuk melarikan diri.
Bagi orang dewasa yang menontonnya, sebagian mungkin ada yang menganggapnya lucu, tetapi yang lainnya justru mengecam konten tersebut.
Menurut psikolog klinis Dr Lin Hong-hui, saat anak ketakutan atau tertekan, mereka membutuhkan dukungan emosional. Ketika orang tua malah merekam dan memposisikan diri sebagai pengamat ketika anak mengalami ketakutan, mereka tidak menyediakan dukungan emosional. Hal itu jelas bisa merusak kepercayaan anak kepada orang tuanya.
Sumber Pexels
Dr Lin bilang, orang tua seharusnya memiliki attunement atau kemampuan untuk membaca keadaan emosi anaknya dan memenuhi kebutuhannya. Attunement akan mengembangkan dua aspek kritis anak, yaitu rasa harga diri dan kemampuan untuk percaya.
“Ini adalah dua dasar perkembangan psikologis diri yang aman. Ketika orang tua sering melewatkan, mengabaikan, atau salah membaca kebutuhan anak, hal itu menimbulkan keraguan di benak mereka,” jelas dosen di Universitas Teknologi Nanyang, seperti dilansir dari CNA Lifestyle dan dikutip dari Liputan 6.
Artikel terkait: Drafnya Hampir Final: Hati-Hati Pelaku Prank Bisa Kena Denda 10 Juta
Ini yang Bisa Terjadi pada Anak yang Sering Di-prank
Psikolog Anak, Ine Indriani, menyebut bahwa prank bisa berdampak pada emosi dan psikologis anak. Itulah mengapa ia sangat menentang keras prank terhadap anak, apalagi jika prank yang dilakukan bukan setting-an.
Sumber Pexels
“Bila [prank] di-setting, anak sudah tahu akan seperti apa kejadiannya. Bayangkan bila mengerjai anak dilakukan tanpa setting-an atau kejadian sebenarnya. Ini akan mempengaruhi kepercayaan diri anak. Apalagi videonya akan ditunjukkan kepada orang lain melalui akun YouTube atau media sosial lainnya,” ucap Ine, dikutip dari Republika.co.id.
Ada beberapa hal yang bisa terjadi pada anak yang sering di-prank. Salah satunya adalah memiliki emosi negatif. Ketika di-prank dan lalu direkam reaksinya, anak belum tentu suka dan menerimanya. Apalagi jika konten tersebut tidak disetujuinya, menyakiti perasaannya, mempermalukannya, atau membuatnya di-bully teman-temannya.
Nah, dengan menjadi korban bullying ini, ada risiko yang membuat anak juga bisa menjadi pelaku bullying. Ini terjadi karena anak tidak bisa marah terhadap orang tuanya. Akhirnya, dia melampiaskannya kepada orang lain dengan melakukan bullying.
Sumber Pexels
Selain itu, Ine juga menyebut anak yang sering kena prank bisa menjadi hilang empati. Meskipun tergantung jenis prank-nya, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mengerjai anak tanpa persetujuannya bisa menghilangkan rasa empati, yang seharusnya dibangun oleh orang tua sejak dini.
Itulah penjelasan singkat prank menurut psikolog, khususnya mengenai alasan seseorang melakukan prank dan dampak prank pada anak. Jangan demi viral, Parents sampai melakukan konten seperti ini karena banyak konten positif lain yang bisa dilakukan, ya.
Baca juga:
Klarifikasi Konten “1 Milyar”, Ini Profil Tasyi Athasyia dan Fakta Menarik Tentangnya
Demi Konten Medsos, Orangtua Paksa Anak 3 Tahun Makan Banyak sampai Obesitas
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.