Poligami adalah momok yang sering ditakuti oleh perempuan, terutama yang beragama Islam. Kontroversi serta perdebatan antara praktik, teori, serta dampaknya terus bergulir dari tahun ke tahun, termasuk di Kongres Ulama Perempuan I yang berlangsung di Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon.
Dr. Nur Rofiah Bil Uzm menyatakan dengan tegas bahwa poligami sudah ada sejak jaman Jahiliah. Pada masa itu, praktik poligami tidak memiliki batasan jumlah istri sehingga setiap orang memperlakukan perempuan sebagai alat kepemilikan yang bisa dikoleksi.
Karena terjadi jauh sebelum Nabi Muhammad diutus, maka poligami bukanlah budaya Islam seperti yang selama ini digembor-gemborkan. Klaim bahwa poligami juga dianjurkan dalam agama sebagai sunah Rasul pun harus dilihat konteks asal mula terjadinya hukum poligami tersebut.
“Namun surat An Nisa membatasi praktik tersebut menjadi 4 saja sebagai respon atas banyaknya jumlah istri yang dimiliki lelaki saat itu. Seperti halnya pencatatan pernikahan pada jaman sekarang yang jadi upaya mengatasi masalah, hal itu pun terjadi pada poligami pada jaman dulu. Jika menikah tidak dicatat, maka orang akan kawin cerai seenaknya,” jelas dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran, Jakarta ini.
Menurutnya, perbandingan antara sama pentingnya antara pencatatan pernikahan dengan pembatasan poligami tersebut sangat relevan. Karena poligami tak terbatas juga membuat orang jahiliah jaman dulu mengawini perempuan seenaknya, sebanyak-banyaknya.
Ia menilai bahwa itulah relevansi Al Qur’an yang memberikan solusi sesuai dengan jamannya. Karena pada jaman itu beristri banyak masih jadi praktik yang lumrah, maka Rasul harus melakukan poligami juga sebagai contoh bagi keluarga lain bagaimana caranya menjalin rumah tangga harmonis yang adil.
Selama ini, ia mengungkapkan bahwa pembicaraan poligami masih seputar jumlahnya. Padahal, inti ajaran Islam adalah keadilan di dalam keluarga.
Di dalam surat An Nisa ayat 3 disebutkan bahwa terdapat pesan-pesan monogami yang kuat karena adanya ketidakadilan yang akan dilakukan oleh lelaki.
“Dalam Al-Quran di ayat yang sama, yang dipahami membolehkan poligami itu ada pesan monogami yang juga kuat, di ujung ayat dan di ayat yang sama, itu mengatakan kalau khawatir tidak bisa berbuat adil, berarti ini sudah mengingatkan ada potensi ketidakadilan yang tinggi, maka satu saja,” jelasnya seperti dikutip dari BBC.
Sedangkan, dari sisi hukum, dalam UU Pernikahan No 1 tahun 1974 menyatakan bahwa, “Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami”. Namun, pasal yang sama juga memperbolehkan poligami melalui jalur pengadilan.
Larangan untuk berpoligami dulunya secara tegas juga diperuntukkan untuk para Pegawai Negeri Sipil (PNS), sekalipun para prakteknya, pernikahan poligami, terutama dengan sistem nikah siri masih banyak dilakukan. Untuk non PNS pun, pemalsuan identitas agar melanggengkan praktek poligami pun banyak dilakukan.
Yuni Chuzaifah, Wakil ketua Komisi Nasional (Komnas) perempuan menyatakan bahwa praktik poligami sering menggunakan argumentasi pembenaran dari agama. Dalam hal ini, sebenarnya tidak hanya agama Islam yang sering menyetujui adanya praktik poligami, terutama disuarakan oleh para ulama yang tidak ramah perempuan.
Pratik poligami adalah pratik KDRT?
Siti Aisyah, ketua Pengurus Pusat Aisyah -Cabang organisasi perempuan Muhammadiyah- menyatakan bahwa saat ini banyak perempuan yang enggan mengungkapkan dirinya menjadi korban KDRT, karena seringkali tindakan itu menggunakan legitimasi agama. Misalnya, enggan mengungkap aib keluarganya sendiri sekalipun sebenarnya KDRT bukanlah aib, melainkan bentuk kriminalitas yang harus dilaporkan ke pihak berwajib.
Ia menyoroti bahwa pembenaran mengenai KDRT fisik, verbal, ataupun mental dengan dalil al Quran disebabkan karena orang-orang hanya memahami Al-Qur’an secara tekstual saja, “kebanyakan mengacu pada fiqih-fiqih, seolah-olah tak berani untuk mengubah padahal mereka tak tahu kalau itu sebenarnya paham, paham kan bisa berbeda,” kata Siti.
Mencegah pernikahan anak
Selain soal poligami, para ulama yang berasal dari Kenya, Arab Saudi, Pakistan, dan negara lainnya juga berbicara tentang pernikahan anak. Terutama praktik pernikahan anak di Indonesia yang membuat banyak perempuan di bawah usia 18 tahun harus berhenti sekolah karena dipaksa menikah.
Menurut data Bima Islam Kementerian Agama, dari 180 negara di dunia, Indonesia masuk dalam urutan ke 37 terbanyak dalam hal pernikahan anak. Separuh dari pernikahan dini pada wanita itu pada akhirnya berakhir dengan perceraian, melahirkan prematur, cacat bawaan pada bayi, kanker serviks, dan sebagainya.
Di dalam revisi UU Pernikahan tahun 1974, batas minimal usia pernikahan perempuan adalah 16 tahun, sedangkan untuk lelaki adalah 19 tahun. Hal ini bertentangan dengan UU perlindungan anak Pasal 1 Bab 1 yang mengatakan bahwa definisi anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun termasuk yang masih di dalam kandungan.
Kongres ulama wanita pertama berlangsung di Cirebon 25-17 April 2017 dan dihadiri oleh ratusan ulama perempuan dari seluruh dunia. Pembahasannya berkisar seputar perkawinan anak, kekerasan seksual, perusakan alam dalam konteks keadilan sosial, migrasi dan radikalisme.
Kongres ini dihelat di Pesantren Kebon Jambu Babakan Ciwaringin Cirebon yang dipimpin oleh Nyai Hajjah Masriyah Amva. Sebagai perempuan pemimpin pesantren, Nyai Hajjah Masriyah mengakui bahwa tak banyak yang tahu bahwa perempuan juga bisa menjadi ulama dan bahkan pemimpin pesantren.
Inisiatif diadakannya kongres ulama perempuan ini dianggap telah selangkah lebih maju dari negara lainnya. Misalnya, di Arab saudi, kongres perempuan pertama di kota Qassim yang dihelat justru tidak melibatkan perempuan di dalamnya.
Jurnalis Lebanon Rana Harbi menulis dalam akun Twitternya:
Ini bukan lelucon. Aku ulangi sekali lagi, ini bukan lelucon.
Inilah pertemuan pertama dalam “Girls Council” di Saudi Arabia.
Foto yang memperlihatkan kongres tersebut menuai banyak kritikan karena tidak adanya perempuan yang hadir di sana. Apalagi penggunaan kata “Girls” yang artinya anak perempuan. Untuk perempuan dewasa, penggunaan yang tepat mestinya adalah “women”.
Di Indonesia, keberadaan ulama perempuan memang sudah berlangsung lama. Namun, kebanyakan perannya dilupakan karena banyaknya ulama lelaki yang lebih sering muncul. Belum lagi, lembaga fatwa yang dianggap sah oleh pemerintah saat ini hanyalah MUI saja. Padahal, dulunya Muhammadiyah, NU, dan para ulama perempuan bisa menerbitkan hukum fatwanya sendiri.
Peran ulama di Indonesia sering mempengaruhi dunia politik, hiburan, dan segala aspek dalam masyarakat. Hingga akhirnya bermunculan ulama selebriti yang sekalipun tidak pernah menempuh pendidikan agama secara mendalam dari kitab-kitab klasik, tetap saja dianggap sebagai ulama karena sering tampil di televisi.
Membina rumah tangga dengan satu istri dan anak sebenarnya sudah sangat berat. Anak membutuhkan dukungan optimal dari kedua orangtuanya secara mental, finansial, dan fisik.
Halo para Ayah, masih tetap ingin poligami? Secara mental, istri dan anak butuh Anda. Jangan lupa juga, biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal lho. Yuk sayangi keluarga kita dan berikan cinta yang 100% kepada mereka.
Baca juga:
Anak Kurang Mendapat Kasih Sayang dari Ayah, Ini 3 Dampak Negatif yang Ditimbulkan!
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.