Pillow talk dengan anak, kenapa tidak?
Istilah pillow talk, entah mengapa, di beberapa literatur daring lebih banyak merujuk kepada komunikasi menjelang istirahat malam bersama pasangan. Obrolan yang cenderung santai namun masuk ke wilayah deep talk.
Membahas mengenai hubungan, impian, visi misi bersama, masa lalu, dan lain sebagainya, hingga sedikit nyerempet ke urusan bermesraan.
Ah, masa hanya dengan pasangan saja, sih? Setelah memiliki anak, walau waktu untuk berdua kemudian jadi terasa sulit didapat, apa sesi pillow talk ini harus serta merta pula dikesampingkan sebab merasa menemani anak 24 jam lebih penting?
Membiasakan Pillow Talk Bersama Pasangan Sebelum Ada Si Kecil
Sejak awal memutuskan untuk menikah, sesi pillow talk menjadi waktu terbaik untuk lebih banyak mengenal satu sama lain. Menjalin komunikasi santai dalam kondisi yang tenang, serupa relaksasi setelah beraktivitas padat seharian, rasanya menyenangkan. Apalagi. Komunikasi yang baik itu bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan diusahakan sedemikian rupa.
Ada banyak hal yang kemudian bisa dibicarakan, disampaikan dengan bebas, tanpa perlu khawatir atas tanggapan nonverbal yang bisa jadi disampaikan oleh lawan bicara. Ada obrolan remeh temeh yang menjadi penutup hari, sebelum lepas penat dengan terlelap.
Kegiatan sederhana yang katanya sih, bisa membuat komunikasi bersama pasangan menjadi lebih intens, dan membuat hubungan harmonis. Demikianlah yang saya pahami dari sesi mengobrol santai sambil rebahan dalam keremangan suasana kamar tidur, begini.
Pada akhirnya, walau nggak selalu menghadirkan bahasan yang seru, tetap ada sisi saling terbuka yang bisa dibagikan. Ada pihak yang bicara dengan nyaman, ada pula yang mendengarkan sambil terpejam.
Bersepakat pada pendapat dari Alisa Ruby Bash, terapis pernikahan dan keluarga berlisensi, bahwa pillow talk adalah percakapan yang intim, otentik, dan bebas terjadi antara dua pasangan. Keadaan dinama kedua belah pihak bisa lebih bebas mengekspresikan perasaan, pikiran, tanpa khawatir akan tanggapan dari lawan bicara.
Ditambah dengan pendapat dari Allen Wagner, spesialis dalam pasangan dan hubungan, bahwa ritual ini nggak membutuhkan kontak mata. Hanya suara, dan … sudah, begitu saja. Pembicaraan yang dilakukan dengan posisi relax sehingga terasa bebas tanpa beban.
Kompak ya pendapat keduanya. Lalu, saat menjalani hari-hari awal masa pernikahan dengan berupaya membiasakan adanya sesi pillow talk sebelum istirahat malam, menjadi ajang bebas untuk menyampaikan harapan dari komitmen yang sudah dipilih bersama. Walau ya … ternyata nggak semua orang akan nyaman untuk bicara mendalam, bahkan kepada pasangannya sendiri.
Pada akhirnya saya mulai belajar memahami, bahwa ada masa saat perempuan yang sedang ngambek, nggak melulu bisa berharap dimengerti, memaksa kaum lelaki peka dengan sikap dan ekspresi wajah yang ditunjukkan seharian. Tahu nggak sih, rupanya hal begini sungguh menyebalkan bagi pasangan?
Sebaliknya, ada masa juga pasangan nggak mau sepenuhnya berbagi secara detail segala yang membuat energinya terkuras hari itu, semisal beratnya urusan pekerjaan.
Saya jadi lebih banyak belajar untuk menyampaikan rasa melalui perkataan, menyusunnya menjadi kalimat yang mudah dipahami, menjaga intonasi, pun membiasakan untuk mendengarkan apa pendapat pasangan tanpa prasangka dan tedeng aling-aling.
Di kesempatan lain, saya paham, bahwa nggak segala hal berat serta merta bisa dibagikan dengan gamblang, Mempercayakan hal-hal yang diyakini pasangan, mampu ia lalui dengan baik demi menjaga kedamaian pikiran, tentu nggak apa. Dukungan bisa diberikan melalui perhatian sederhana, nggak perlu dilebih-lebihkan.
Ternyata komunikasi yang bebas lepas tanpa beban begini, menyenangkan jika jadi kebiasaan. Memberi dampak baik, untuk saya sebagai perempuan yang selalu merasa butuh didengarkan, juga suami yang pasti ingin sekali dua kali turut menyampaikan sudut pandangnya juga.
Mencoba Pillow Talk dengan Anak
Suatu ketika, saat si kecil hadir di antara saya dan pasangan, terkadang rasanya perhatian lebih banyak tercurah padanya. Apalagi ketika ia memasuki usia batita, saat perbendaharaan katanya nampak bertambah setiap minggu. Ketika ia mulai belajar untuk menyampaikan segala rupa yang ia rasakan melalui ekspresi verbal.
Berbagai pembahasan yang dulunya berkisar pada dunia saya dan pasangan, berlangsung nyaman bahkan saat si kecil masih bayi, mulai berkembang jauh. Lebih banyak kami melambungkan harapan tentang masa depan, dan perjalanan hidup bersama si kecil. Visi dan misi yang dulunya dibuat sedemikian rupa untuk berdua saja, berubah haluan.
Hal receh remeh yang dibagikan pun, rupanya bukan lagi tentang personal, atau segala yang diri sukai. Ya, sesekali masih ada sih. Namun bahasan yang dimunculkan, jadi lebih tersaring sebab telinga si kecil ikut menangkap pembicaraan, bukan?
Seiring waktu berjalan, ternyata si kecil kami pun mau ikut berbagi dalam sesi pillow talk begini. Ada banyak rasa yang bisa ditanyakan, sesederhana, mengapa hari itu ia sedang malas menghabiskan menu makanannya. Apa karena rasanya, teksturnya, atau ternyata ia hanya memang sedang bosan saja dan nggak memiliki alasan lainnya.
Atau, bertanya berkedok meminta ijin pada si kecil untuk libur dulu dari sesi mendongeng dan membacakan buku di malam hari. Saya jadi lebih bisa bersantai, sebab merasa nggak ada tuntutan untuk menyusun kisah dongeng fabel dalam pikiran, atau harus memegang buku cerita dan menyalakan lampu baca, lalu berkisah dengan suara berbeda-beda demi membuat cerita yang dibacakan jadi lebih ceria.
Ada kesempatan pula bagi pasangan saya untuk lebih banyak menyampaikan segala hal pada si kecil, pun kami biarkan si kecil kesayangan kami pada akhirnya banyak bertanya.
Saya dan pasangan juga menghindari pertanyaan berulang tentang tugas-tugas sederhana yang mulai si kecil biasakan, semisal urusan makan sendiri, atau apakah ia mengerti dengan apa-apa yang sudah saya ajarkan hari ini. Kami lebih fokus untuk bertanya tentang perasaannya, memeluk dan mencium pipinya, juga meminta maaf pada salah yang kami buat padanya tanpa kami sadari.
Dampak Baik Membiasakan Pillow Talk dengan Anak dan Keluarga
Sesi mengobrol dengan tenang jelang terlelap begini, ternyata memberikan waktu bagi diri saya untuk berempati, mengerti apa yang saya mau, pasangan inginkan, juga si kecil harapkan dari aktivitas keseharian. Canda tawa yang terlontar bebas di malam hari, membantu saya dan pasangan menjadi makin lekat, akrab juga dengan anak-anak.
Pelan-pelan saya dan pasangan jadi saling terbuka, mendengarkan harapan yang ingin si kecil sampaikan, dengan kalimat dan bahasanya yang masih sederhana.
Hingga saya mulai menemukan kebiasaan bercerita dari si kecil, di keseharian. Nggak ada keraguan saat ia merasa marah dengan aturan yang saya hadirkan di rumah. Memberi saya dan pasangan kesempatan untuk memberikan banyak pengertian pada si kecil, terhadap sesuatu yang baginya mungkin nggak menyenangkan, namun tujuan kami tentu untuk membuat ia tumbuh menjadi jiwa yang baik.
Kelak, jika sudah waktunya si kecil kami tidur terpisah di kamarnya sendiri, semoga saya dan pasangan menemukan kembali trik untuk saling terbuka dengan anak-anak. Entah dengan membiasakan diri mengobrol di kamar tidurnya nanti, atau di ruang tengah tanpa gangguan Televisi atau Radio. Semoga.
Jadi, pillow talk dengan anak dan anggota keluarga lainnya sebenarnya paket yang lengkap, dan sangat menyenangkan. Mau mencobanya juga?
Ditulis oleh Akarui Cha, VIPP Member theAsianparent ID
Artikel Lain dari VIPP Member theAsianparent ID:
id.theasianparent.com/bisikan-cinta-ibu
Resep Telur Brokoli Saus Tiram, Menu Favorit untuk Semua Anggota Keluarga