Kali ini saya ingin bercerita tentang bagaimana mengawali fase kehidupan baru sebagai seorang istri. Tentang pernikahanku kado untuk Mama sebelum akhirnya ia berpulang.
***
Selesai lulus SMA seperti manusia pada umumnya, kita berpikir untuk melanjutkan kuliah atau memilih menikah. Saat itu aku lebih memilih studi. Saat kuliahpun belum terbersit mau menikah sambil kuliah.
Hingga akhirnya sebelum aku wisuda, tiba-tiba ayahku jatuh sakit. Semua panik. Ayah sebagai pencari nafkah satu-satunya, belum lagi sebagai anak pertama aku belum bisa menghasilkan uang. Salah satu adikku juga masih kuliah.
Dengan ujian keluarga seperti itu rasanya kondisi perekonomian kami terasa sulit sekali. Mulai dari biaya rumah sakit, biaya rawat jalan hingga harus bolak-balik ke rumah sakit.
Merawat Orang Tua yang Sakit Menjadi Prioritas Hidupku
Saat itu keinginan untuk menikah sudah semakin kabur, aku dan adikku lebih memilih memikirkan ekonomi keluarga. Hingga akhirnya kami mendampingi ayah yang sakit selama 10 tahun lebih.
Ibu sudah sangat kelelahan merawat ayah yang terkena stroke saat itu. Badannya kurus, kurang tidur dan makan. Hingga akhirnya kami bertiga lulus kuliah, ibu pun menyusul ayah. Ibu terkena sakit komplikasi dengan diabetes sebagai penyakit utamanya.
Tidak ada rasa berat untuk merawat orang tua kami. Kalaupun memikirkan menikah tentu saja akan terasa sulit meninggalkan kedua orang tua yang masih butuh pelayanan.
Apakah selama itu jodoh belum datang juga? Ada. Namun mereka orang luar daerah yang tidak memungkinkan bagi kami untuk merawat orang tua. Sehingga kami lebih memilih untuk berbakti kepada kedua orang tua dan menunda menikah.
Akhirnya waktu demi waktu terus berputar. Tak terasa umur semakin bertambah. Usiaku sudah mencapai 36 tahun. Sudah melewati usia tiga lima. Kata orang sangat rawan dan punya kemungkinan kecil jika ingin punya anak.
Sebelum ibu meninggal tahun 2021, beliau ingin sekali salah satu anaknya menikah. Siapapun yang duluan. Dan beliau rela tidak dilayani secara utuh seperti hari sebelumnya. Keinginan tersebut akhirnya terkabul.
Pada awal tahun 2020 ada seorang lelaki yang domisilinya di luar provinsi berniat melamar. Dengan pertimbangan sangat jauh, aku rasanya ingin menolak. Tapi ibuku tidak mengizinkan aku melakukannya. Dia tetap ingin punya menantu sebelum meninggal dunia.
Mungkin itu harapan terakhir mamaku saat di akhir hidupnya. Dan adik-adikku mengizinkan aku untuk menikah. Mereka menyanggupi untuk merawat kedua orang tuaku. Namun, aku masih saja ragu karena kami bertiga saja kadang kewalahan untuk melayani.
Rasanya belum maksimal, apalagi kalau aku menikah dan harus melepaskan tanggung jawab sebagai anak pertama.
Dengan perasaan galau, campur aduk, akhirnya aku memberikan alamatku kepada pria itu untuk datang ke rumah. Kami memang belum pernah bertemu secara fisik. Hanya komunikasi sebatas proyek kerjaan. Dan ternyata beberapa bulan tepatnya di pertengahan tahun, jadwal kedatangan sudah disepakati. Tapi sayangnya kedatangannya harus tertunda.
Kami memiliki nasib yang sama. Ibunya sakit diabetes juga. Mamanya operasi luka di telapak kaki. Namun sepulang dari operasi itu, ibunya meninggal dunia. Dia menyelesaikan proses pemakaman mamanya dulu, setelah selesai itu baru dia datang menemui orang tuaku.
Pernikahanku Kado untuk Mama
Di luar dugaan, menjelang si dia datang ke rumah, mama memperlihatkan progress. Jika sebelumnya ia sakit hingga tidak bisa bangun dari tempat tidur, perlahan bisa duduk, bisa menelan makanan lebih banyak dari biasanya. Wajah mama lebih segar dari biasanya. Senyum dan tawa kembali hadir di rumah kami.
Bahkan beliau sudah tidak mau lagi buang air kecil di pospak. Beliau berjalan berpegangan di dinding menuju WC di belakang. Kami kadang merasa kasihan melihat mama seperti itu. Tapi, mama sangat senang dan bahagia melakukannya. Perjuangan beliau merupakan kenangan sedih sekaligus membahagiakan sepeninggal beliau setelah tiada di dunia.
Sampai hari kedatangan pun tiba. Semula rencananya memang hanya sebatas berkenalan, saling melihat saja dulu, silaturahmi antar keluarga. Tapi di luar dugaan, keinginanku untuk membatalkan pernikahan yang menurutku mengandung konseuensi tidak bisa merawat ibu.
Tapi mama bersikeras menyuruh mereka datang. Mungkin setelah salah satu anaknya menikah, bully-an tetangga selama ini akan terhapus sakitnya di hati. Bagaimana tidak, sulit sekali hidup dengan dinamika tetangga yang suka sekali mem-bully orang yang belum menikah.
Dengan kalimat yang tidak enak didengar, bahkan cendrung tidak manusiawi. Padahal mereka tidak mau memahami seperti apa kondisi yang terjadi.
Akhirnya di bulan ke sepuluh dia datang. Langsung membawa rombongan. Dan tanpa babibu, dia mengajukan lamaran. Kedua belah pihak setuju tanpa bertanya lebih dulu padaku. Aku hanya pasrah.
Entah bagaimana nanti membagi peran merawat orang tua dengan melayani suami. Apalagi pekerjaan dia sudah beda provinsi.
Tapi, mungkin ini memang jalan yang harus aku lalui. Bahkan ternyata pernikahanku kado untuk Mama. Kado terakhir yang membuatnya bahagia sebelum akhirnya beliau meninggal.
Nyatanya, memang banyak sekali tantangannya yang harus kujalani. Biar bagaimana pun aku memang percaya bahwa pada dasarnya pernikahan itu penuh dengan ujian. Ujian lewat keluarga, ujian diri, ujian lingkungan. Dan pernikahan adalah ibadah. Jadi memang sangat besar pahalanya. Dengan begini aku pun selalu menguatkan diri dan komitmen dalam menikah.
Tak kalah penting, setiap calon suami istri memang perlu menyiapkan ilmu sebelum menikah dan jalani dengan sabar dan ikhlas karena Allah SWT.
Inilah sepenggal kisahku di mana pernikahanku kado untuk Mama yang terakhir kali.
Ditulis oleh Kanisa Putri, Member VIPP theAsianparent ID
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.