Sepanjang tahun 2023 ini, Pengadilan Agama Lamongan mencatat sedikitnya 301 anak di bawah umur mengajukan dispensasi kawin karena berbagai alasan. Mulai dari menghindari zina hingga karena hamil di luar nikah. Lantas bagaimana peran keluarga menghadapi tren pernikahan dini di Indonesia? Berikut ulasannya.
Tren Pernikahan Dini di Indonesia
Beberapa waktu lalu Pengadilan Agama Lamongan merilis data pengajuan dispensasi kawin mulai Bulan Januari hingga November 2023.
Laporan tersebut mencatat 301 remaja yang mayoritas masih berstatus sebagai pelajar mengajukan dispensasi menikah. Alasannya cukup ‘menarik’, 256 di antaranya mengaku ingin menghindari zina sementara 45 sisanya sudah terlanjur hamil di luar nikah.
Beralih ke Bojonegoro, per 14 Juli 2023 lalu Pengadilan Agama Bojonegoro juga telah memberikan izin kawin pada sedikitnya 259 calon suami atau istri yang belum memenuhi usia perkawinan, yakni 19 tahun.
Sebenarnya, jika ditarik ke beberapa tahun lalu, tren pernikahan dini di Indonesia memang sudah cukup membuat ketar-ketir. Meski sudah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, pada tahun 2022 Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Anak mencatat ada sekitar 55.000 dispensasi kawin yang diterbitkan oleh Pengadilan Agama.
Dan UNICEF menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN sebagai negara dengan kasus pernikahan dini terbanyak.
Undang-undang Perkawinan di Indonesia
Sebelum diamandemen, usia menikah secara hukum adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Namun, undang-undang ini dianggap bertentangan dengan definisi anak di bawah umur, yakni 18 tahun.
Hingga kemudian disahkan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang menetapkan usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun, berlaku untuk laki-laki maupun perempuan.
Namun, undang-undang ini sendiri masih memberikan ‘kelonggaran’ yang kemudian disebut sebagai Dispensasi Kawin. Dispensasi Kawin ini adalah pengecualian batas umur yang bisa diajukan ke PA setempat dengan mengisi formulir dan melengkapi dokumen administrasi.
Pertimbangan dikabulkannya permohonan ini pun merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019, yaitu demi:
- Kepentingan terbaik dan hak hidup dan tumbuh kembang anak
- Penghargaan atas pendapat, harkat, dan martabat sebagai manusia
- Non-diskriminasi, kesetaraan gender, dan persamaan di depan hukum
- Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum
Artikel Terkait: Kisah Pilu Korban Perkawinan Anak, “Cukup Aku yang Mengalami, Anakku Jangan Sampai”
Peran Keluarga Menghadapi Tren Nikah Dini
Apapun motivasinya, laporan yang dikaji oleh UNICEF telah memperingatkan bahwa sebenarnya pernikahan dini memiliki efek domino yang mengkhawatirkan.
Ini sangat berkaitan dengan isu pendidikan, finansial, KDRT, hingga perceraian. Sehingga dalam hal ini sebaiknya perlu dilakukan ‘upaya pencegahan’ yang dimulai dalam lingkup keluarga.
Beberapa upaya di antaranya adalah dengan memberikan sex and financial education secara holistik. Dalam kasus ini, keluarga merupakan fondasi terbawah yang harus mampu menciptakan kesadaran tentang pentingnya pendidikan formal maupun karakter sebagai bekal anak di masa depan.
Selain itu, keluarga juga harus mampu menjadi fasilitator, mentor, bahkan konselor yang mampu menanamkan nilai-nilai pernikahan yang sebagaimana mestinya.
Bahwa kehidupan pernikahan bukan hanya sebatas kebutuhan seks maupun finansial, melainkan ada tanggung jawab yang luar biasa besar untuk membuatnya berjalan. Terutama tanggung jawab kita sebagai manusia pada Tuhan. Dengan begitu, anak-anak menjadi lebih paham bahwa ada banyak hal yang perlu dilakukan untuk mencapai kata ‘siap’.
Kalau Parents punya cara apa dalam menghadapi tren pernikahan di Indonesia.
Baca juga:
Viral Pernikahan Bocah 15 Tahun, Ini Sederet Risiko Pernikahan Dini
Dampak Pandemi Bikin Angka Pernikahan Anak Tinggi, Ternyata Ini Alasannya
6 Pertanyaan Seputar Pernikahan Dini, Ini Jawaban Psikolog Aully Grashinta!