Kampanye ‘stay at home’ atau ‘di rumah saja’ terus digaungkan saat ini demi membatasi penyebaran Covid-19. Tidak sedikit pula negara yang melakukan kebijakan lockdown (karantina atau pembatasan wilayah) hingga wabah pandemi berakhir. Namun, ada sisi menarik, salah satu dampak dari kebijakan ini adalah angka perceraian meningkat. Bagaimana bisa terjadi?
Permintaan perceraian di kantor pencatatan pernikahan meningkat
Media lokal Tiongkok mengabarkan bahwa angka perceraian meningkat di Provinsi Shaanxi, Tiongkok. Penduduk Kota Xi’an mencetak permintaan perceraian tertinggi dalam beberapa minggu terakhir.
Melansir dari laman Global Times, saat kantor pencatatan pernikahan di Shaanxi dibuka pada 1 Maret 2020 pasca 1 bulan karantina massal, mereka sudah menerima 300 permintaan cerai. Bahkan, satu kantor distrik bisa menerima 14 permintaan dalam satu hari. Ini melebihi batas yang ditentukan oleh kantor pencatatan pernikahan tersebut.
Banyaknya kasus perpisahan membuat pemerintah di Fuzhou menetapkan batas 10 pasangan per hari yang bisa mendaftarkan perceraian mereka.
“Angka ini meningkat jika dibandingkan sebelum wabah corona,” kata pimpinan di Kantor Pencatatan Pernikahan Dazhou, Lu Shijun.
Artikel terkait: Tips Sukses Bekerja di Rumah untuk Bunda
Perceraian meningkat akibat bosan selama karantina?
Menurut Lu Shijun, fenomena ini kemungkinan disebabkan oleh rasa bosan karena pasangan karena menghabiskan waktu terlalu lama selama masa karantina virus corona.
Lu Shijun menerangkan, karena menghabiskan banyak waktu di rumah, mereka cenderung berdebat sengit dan secara terburu-buru memilih berpisah. Faktor lainnya adalah karena lambatnya penanganan, buntut dari tutupnya kantor pemerintah selama sebulan disaat karantina berlangsung.
Wang, seorang pejabat dari kantor pendaftaran di distrik Beilin, Xi’an, mengatakan, “Perceraian kemungkinan terjadi karena interaksi yang intens di rumah selama lebih dari sebulan, sehingga membangkitkan konflik.”
“Biasanya gelombang perceraian terjadi setelah festival musim semi, dan saat ajaran baru sekolah,” lanjut Wang.
Pendapat para ahli terkait relasi angka perceraian dengan masa karantina
Para ilmuwan masih belum bisa menemukan jawaban mengenai hal ini. Apakah menghabiskan waktu bersama-sama dalam waktu yang cukup lama akan bermanfaat bagi pasangan, atau justru sebaliknya menimbulkan masalah yang berujung perpisahan.
Namun, pada 2018 lalu, sebuah studi menemukan fakta bahwa pasangan yang sudah hidup bersama sejak mereka belum menikah memiliki tingkat perceraian yang lebih rendah dibandingkan pasangan yang tidak tinggal bersama.
Sebuah studi lainnya menunjukkan, hidup bersama-sama dapat melindungi pasangan dari kasus perceraian.
Artikel terkait: Di rumah saja hindari corona, 7 aktivitas seru ini bisa dilakukan si kecil
Ketika suatu wilayah dinyatakan lockdown, maka semua orang di wilayah tersebut tidak boleh keluar rumah dan lingkungan dijaga ketat oleh aparat. Mereka hanya boleh keluar untuk urusan yang mendesak dan harus mendapatkan izin dari pihak berwenang.
Otomatis, orang tua tidak bisa pergi bekerja dan anak-anak pun tidak bersekolah. Kondisi ini bisa menjadi berkah bagi mereka yang selama ini kurang quality-time bersama keluarga. Namun, juga bisa menjadi musibah jika pasangan merasa bosan di rumah terus. Belum lagi ditambah dengan panik akan penularan Covid-19 dan stres akibat memikirkan beban ekonomi selepas masa karantina.
Di Indonesia sendiri saat ini pemerintah belum memikirkan opsi melakukan lockdown namun masyarakat diimbau untuk berkegiatan di rumah saja. Sekolah-sekolah libur, ruang publik banyak yang ditutup, dan jalanan pun menjadi sepi. Akankah fenomena meningkatnya perceraian juga akan terjadi di sini? Semoga saja tidak ya, Parents.
Sumber: Kompas, JPNN, Pikiran Rakyat
Baca juga:
Cegah Corona, ini 7 hal yang perlu dilakukan saat swakarantina di rumah