Orang tua adalah teladan utama bagi anak-anaknya.
Teladan adalah bagian terpenting dalam proses pendidikan anak. Terutama pada anak usia balita.
Like father, like son. Atau ungkapan seperti “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, begitu yang sering kita dengar. Sekalipun tidak seluruhnya benar, namun sebagian besar akan melihat kebenaran dari ungkapan tersebut. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Kunci jawabannya terletak pada rule model, atau sering kita sebut dengan keteladanan. Di sinilah peranan orangtua menjadi amat penting dan menentukan warna kepribadian anak-anaknya.
Kita sering melihat, anak-anak akan memberikan respon berbeda terhadap satu peristiwa sesuai dengan contoh atau teladan yang diterimanya dalam keseharian.
Misalnya, ketika melihat seorang anak menangis akibat terjatuh. Anak yang satu akan berinisiatif membantunya dan mengusap-usap kepala anak yang terjatuh, sementara anak yang lain akan berteriak-teriak memarahi anak yang menangis.
Bisa jadi kita akan terkekeh geli melihat cara mereka bicara dan melihat mereka bersikap. Namun, sadarkah kita, bahwa sesungguhnya, itu adalah cerminan dari apa yang telah kita lakukan
Menurut DR. Abdullah Nashih Ulwan, dalam bukunya Pendidikan Anak Dalam Islam, keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual dan etos sosial anak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para ahli psikologi membuktikan bahwa 75 persen proses belajar didapatkan lewat penglihatan dan pengamatan. Sementara 13 persennya melalui indera pendengaran.
Hal ini dikarenakan pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan anak, yang tindak-tanduk dan sopan santunnya, disadari atau tidak, akan ditiru anak.
Sebagai orangtua, kita adalah figur yang paling dekat dengan anak. Apapun yang kita lakukan, akan menjadi model bagi pendidikan anak-anak kita. Mereka akan menyerap seluruh tindak-tanduk kita. Pada masa-masa awal (golden age), anak-anak adalah peniru yang sempurna dari orangtua atau orang terdekatnya.
Baca juga: Bayi Anda Lebih Pandai dari yang Anda Kira
Saya teringat pada peristiwa belasan tahun lalu. Suatu hari saya amat kesal pada anak kedua saya yang ketika itu baru berusia 2 tahun. Rasa kesal yang memuncak dan beban pekerjaan yang tak juga berkurang membuat saya melemparkan barang yang sedang saya pegang. Apa yang terjadi kemudian?
Mata anak lelaki saya itu terbelalak. Ia ketakutan. Sesaat ia berhenti menangis. Dengan rasa menyesal kemudian saya memeluknya. Ia pun menjadi tenang. Tapi persoalannya tidak berhenti sampai di situ.
Buntut dari peristiwa itu adalah, setiap kali marah, anak saya itu akan melempar benda apapun yang ada di tangannya. Persis seperti apa yang pernah saya lakukan. Sekalipun HANYA SEKALI, namun itu terekam dengan amat baik.
Saya telah memberi teladan yang salah dan buruk pada anak. Seperti apapun penyesalan yang terbit kemudian, tidak akan banyak menolong.
Perlu upaya keras untuk menghilangkan kebiasaannya melempar barang ketika sedang marah. Dan ketika kebiasaan buruk itu sudah berhasil dihilangkan, anak saya telah terbentuk menjadi anak yang emosional dan kurang dapat mengendalikan emosi.
Dari pengalaman ini, saya belajar banyak. Salah satunya adalah bahwa apa yang anak lihat jauh lebih membekas dan berperan dalam membentuk kepribadian anak daripada nasihat-nasihat baik yang kita sampaikan setiap waktu.
Parents, mendidik anak pada hakikatnya adalah mendidik diri sendiri. Sejauhmana kita mampu mendidik diri kita untuk menjadi pribadi yang menyenangkan, sejauh itu pula hasil yang akan kita peroleh. Semua itu tecermin dari sikap yang anak-anak kita munculkan.
Selamat menjadi teladan yang baik ya, Parents….
Baca juga:
5 Kesalahan Utama Orang Tua yang Sering Kita Lakukan
Cara Mendidik Balita agar Disiplin
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.