Parents, Ketahui Seputar Sexting yang Umum dilakukan oleh Remaja dan Cara Menyikapinya ini

Sexting adalah hal yang jamak dilakukan remaja masa kini. Dengan bekal pengetahuan yang cukup, Anda bisa mendidik anak untuk menghindarinya.

Di kalangan remaja, sexting bukanlah hal yang asing bagi mereka. Jika chatting adalah saling bertukar teks lewat ponsel, maka cakupan sexting adalah saling bertukar teks ataupun gambar yang berhubungan dengan aktivitas seksual antar ponsel.

Bagi pasangan suami istri yang sedang tinggal berjauhan, sexting adalah salah satu solusi saat sedang saling merindukan. Namun, bagaimana jika kegiatan tersebut dilakukan oleh anak Anda yang masih di bawah umur?

Sebuah studi di Meksiko menyebut bahwa sekitar 18% remaja di bawah usia 18 tahun pernah melakukan sexting. 11% remaja mengaku bahwa mereka pernah mengirimkan gambar bermuatan seks ke orang asing yang hanya dikenali lewat internet, sedangkan 12% remaja perempuan merasa adanya tekanan dari pergaulan sekitarnya untuk mengirimkan sext -sebutan untuk media bermuatan seks yang dikirim lewat layanan digital- kepada orang lain, bisa pacar maupun kenalan di internet.

Selain itu, Psychology Today mencatat bahwa 1 dari 5 remaja mengaku pernah mengirimkan gambar bermuatan seksual kepada orang lain. Asosiasi dokter anak Amerika mengungkapkan bahwa anak yang sering sexting kemungkinan akan menjalankan kontak seksual dini di tahun berikutnya.

Sebelum Anda panik, ada baiknya membekali pengetahun soal sexting agar Anda dapat berbicara baik-baik dengan anak tentang hal ini agar anak secara sadar menghindari risikonya. Karena, jika anak sudah mengirimkan materi berbau seksual pada orang lain, ia akan jadi pihak yang rentan dengan segala risiko yang ada. Misalnya bullying, penyebaran pornografi, hingga depresi dan bunuh diri.

Sexting biasa dilakukan dalam bentuk hanya teks yang membicarakan adegan seksual tertentu dengan intens dan seringkali disertai dengan foto selfie dengan pose seksi. Hal ini sangat mirip dengan phone sex namun ini hanya dilakukan lewat aplikasi chatting, email, maupun layanan lainnya.

Berikut ‘lampu merah’ yang terlihat jika anak Anda melakukan sexting

  • Ia selalu menjauhkan ponselnya dari jangkauan Anda
  • Anda dilarang mengakses folder gallery maupun mengintip aplikasi chatting nya.
  • Anak terlalu sering membawa ponsel kemanapun, termasuk ke kamar mandi.
  • Ia akan tampak antusias sekaligus waspada saat ada notifikasi dari ponselnya.
  • Kebanyakan aplikasi di ponselnya diproteksi dengan password dan Anda sama sekali dilarang membukanya dengan alasan privacy. Bahkan ia akan ketakutan maupun marah jika orangtua berusaha membuka ponselnya.
  • Ia sering menyendiri dengan ponselnya dengan akvitas di luar main games, menerima panggilan telepon dengan berbisik, maupun senyum-senyum sendiri sambil menatap layarnya sekaligus berusaha menjauhkan layar ponsel dari Anda.

Apa yang harus dilakukan jika anak Anda ketahuan sexting?

  • Tarik nafas yang dalam. Anda akan merasa marah, takut, malu, maupun merasa gagal mendidik anak. Namun Anda tak sendiri, di luar sana ada jutaan orangtua yang mengalami masalah yang sama.
  • Ajak ia bicara soal keamanan dan konsekuensi yang akan ia hadapi jika ia seperti itu.
  • Bertanya padanya kepada siapa saja ia pernah mengirimkan teks maupun foto seksinya pada orang lain.
  • Tanyakan padanya apa materi pornografi yang ia kirimkan tersebut miliknya pribadi ataukah orang lain.
  • Ajak bicara tentang konsekuensi hukum yang harus ia hadapi jika memang yang mengajaknya sexting adalah orang dewasa. Ingatkan bahwa anak di bawah umur mendapatkan perlindungan hukum negara dari orang dewasa dan dapat dihukumi sebagai tindakan pedofilia.
  • Berbicara dari hati ke hati tentang adanya hal yang sudah terjadi di luar sexting, apakah ada pertemuan langsung maupun lainnya.
  • Memarahinya hanya akan membuat anak makin rentan karena jika ia adalah tipe yang sering curhat di media sosial, seseorang yang belum tentu aman akan dengan mudah memanipulasinya agar mau bercerita dan ia akan jadi pihak yang rentan dimanfaatkan.

Cara mencegah anak agar tak melakukan sexting

Sebelum semuanya terlambat, sebelum Anda benar-benar mempercayakan sepenuhnya seputar kegiatan mereka dengan ponsel dan internet, ada baiknya melakukan beberapa hal berikut ini:

1. Berdiskusi

Pertanyaan akan melatih nalar kritisnya. Anda bisa berdiskusi dengannya sejauh mana ia mengetahui soal sexting. Barangkali, jika anak Anda masih di sekolah dasar, Anda tak perlu menggunakan kosa kata ‘sexting’ tersebut. Namun, gantilah dengan kalimat lain, misal gambar seksi maupun chatting yang menjurus ke pembahasan seksual.

Tanyakan padanya apa yang ia pikirkan tentang hubungan romantis dengan orang lain. Apa saja yang wajar dan tidak wajar dilakukan sesuai dengan usianya. Apa yang biasa dilakukan temannya saat pacaran, dan apa pendapatnya tentang itu.

Bisa jadi anak berbohong dengan tampang seperti ‘anak baik’. Namun, dengan menjadi orangtua yang tak gampang marah dan selalu jadi tempat aman anak untuk berdiskusi tentang apapun, maka Anda akan tetap jadi prioritas utama sebagai tempat bercerita yang bisa dipercaya.

Misalnya, Anda tak perlu khawatir membahas seputar masturbasi karena saat remaja, pengetahuan seputar itu adalah hal yang pasti akan diketahuinya, cepat atau lambat. Daripada ia mencaritahu lewat teman maupun internet, mengapa Anda tidak mengawali pembicaraan mengenai hal itu?

2. Mendiskusikan consent atau persetujuan

Sejak masih balita, Anda perlu mengajarkan pentingnya consent pada anak. Misal, upayakan bahwa Anda maupun orang sekitar tak pernah memaksa anak untuk mencium maupun memeluk orang sekitarnya.

Artikel terkait: Jangan paksa anak Anda untuk mencium/memeluk teman, saudara, maupun orang lain.

Seringlah bertanya, “boleh nggak bunda ngambil punya adik ini?”, atau persetujuan lainnya. Tekankan padanya bahwa ia juga bisa berkata ‘tidak’ jika ia tidak nyaman dengan situasinya. Melatih anak untuk berkata ‘tidak mau’ sejak kecil bahkan kepada orang yang lebih dewasa akan membuatnya lebih berani saat menolak rayuan orang asing yang mengajaknya melakukan hal-hal terlarang kelak.

Namun, sebelum melatih anak berkata ‘tidak’ penting bagi Anda untuk mengajarkan nilai-nilai yang keluarga Anda pegang teguh. Mana yang baik, buruk, aman, berisiko, wajar, tidak wajar, bahaya, tidak bahaya, dan sebagainya.

Artikel terkait: Manfaat melatih anak perempuan agar ia punya ‘kemarahan yang sehat’ untuknya.

3. Ajarkan konsekuensi

Jelaskan padanya bahwa anak di bawah umur memiliki hak hukum yang berbeda dengan orang dewasa. Anda bisa membahas aspek legal tentang upaya hukum apa yang akan dilakukan jika ia melakukan tindakan melanggar hukum. Anda bisa memasukkan konsekuensi hukum seputar pornografi anak di sini.

Anda harus memastikan bahwa anak akan mengetahui bahwa materi digital yang tersebar di internet akan berada di luar jangkauannya, bahkan jika ia mengirimkan hal tersebut kepada orang yang berjanji tak akan menyebarkan ‘rahasia’ nya.

Bayangkan jika hal memalukan darinya diketahui orang lain. Termasuk soal kemungkinan adanya bullying maupun perasaan malu dan depresi.

4. Menjadi penyedia informasi

bekali diri Anda dengan pengetahuan digital agar Anda bisa dipercaya anak sebagai orang yang dapat menjadi tempat bertanya mereka. Jangan sampai, perasaan ‘merasa tua’ mencegah Anda untuk mempelajari teknologi dan fenomena terkini seputar dunia internet.

Jika Anda tak banyak mengetahui pun, Anda tetap jadi teman yang asik di sisinya untuk berdiskusi tentang banyak hal. Sehingga ia tak perlu segan menceritakan apapun pada Anda. Hindari menjadi penceramah yang banyak bicara dan menasehati anak karena itu akan jadi cara efektif untuk membuat anak menjauhi Anda.

***

Jadi orangtua di era millenial memang bukanlah hal mudah. Namun, Anda bisa menghadapinya dengan baik berbekal pengetahuan yang cukup. Buka pikiran dan jangan biarkan rasa marah dan takut mengendalikan diri Anda sepenuhnya.

 

Referensi: Latina, Psychology Today, Pediatrics.

Baca juga:

Usia Berapa Anak Mulai Jatuh Cinta? Parents Harus Bagaimana?

 

Penulis

Syahar Banu