Selama tahun 2019, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan lembaga advokasi migran telah memulangkan 40 perempuan Indonesia dari Tiongkok (Cina). Mereka adalah perempuan asal Kalimantan dan Jawa yang terjebak sindikat perdagangan orang dengan kedok ‘pengantin pesanan’. Hingga tahun 2020, diketahui masih banyak perempuan Indonesia yang menjadi pengantin Cina dan terperangkap dalam sindikat trafficking tersbeut.
Praktik perdagangan orang dengan kedok pengantin pesanan Cina
Pernikahan antara dua warga negara yang berbeda bukanlah kejahatan. Namun apa jadinya jika pernikahan itu dilakukan melalui pesanan yang difasilitasi oleh agen dengan iming-iming sejumlah uang?
Terlebih dalam pernikahan tersebut, sebagian besar calon pengantin yang dipesan (perempuan) tidak tahu-menahu latar belakang calon pasangannya. Ditambah lagi dengan praktik pemalsuan identitas dan pelanggaran visa. Ini sudah masuk ranah kejahatan human trafficking atau perdagangan orang.
Simpul perdagangan orang ini diyakini muncul karena saat ini jumlah laki-laki di China lebih banyak ketimbang perempuan.
Ilustrasi pengantin Cina.
Fakta ini disebut merupakan konsekuensi regulasi satu anak satu keluarga yang dikeluarkan pemerintah China sejak 1979. Penduduk laki-laki di kawasaan pedesaan China kesulitan mendapat jodoh atau menikah karena kekurangan perempuan di sana.
Dalam konteks Indonesia, praktik ini berpotensi melanggar UU 21/2007 tentang tindak pidana perdagangan orang.
Kejahatan itu didefinisikan sebagai merekrut, mengangkut, menampung, atau mengirim seseorang dengan ancaman, kekerasan, pemalsuan, dan penipuan dengan tujuan atau berakibat eksploitasi.
Bujuk rayu menjadi pengantin pesanan Cina, dijanjikan hidup sejahtera
Mas kawin dan uang tunai disita kepolisian dari prosesi pertunangan seorang anak di bawah umur dengan pria asal China di Mempawah, akhir 2019. (Foto: BBC News Indonesia)
Para korban trafficking ini sebagian besar berasal dari kalimantan barat dan masih berusia muda. Mereka mau menjadi pengantin pesanan untuk pria Cina karena iming-iming mahar sebesar puluhan juta rupiah dan janji hidup sejahtera di Cina. Kemiskinan dan kurangnya pendidikan diduga menjadi latar belakang.
“Ini faktor ekonomi. Mereka ingin mengubah hidup keluarga, dari petani pindah ke kota. Ditawari apapun oleh comblang, diimingi uang pasti mereka tergiur, walaupun mas kawin hanya Rp25 juta. Korban rata-rata tinggal di desa. Comblang datang, ada tawaran, mereka langsung mengiyakan,” kata Juliana, pengurus Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) seperti dilansir oleh BBC News Indonesia (22/01/2020).
Kenyataan tak sesuai harapan, pengantin pesanan Cina pun ingin pulang
Sayangnya ketika sampai di negara tujuan, kenyataan tak sesuai harapan. Perempuan Indonesia yang jadi pengantin pesanan tinggal di rumah suami di pedesaan Cina dan jauh dari sejahtera.
Sebagian besar suami mereka bekerja sebagai petani dan buruh. Tak ada uang bulanan yang dikirim untuk keluarga di Indonesia seperti yang dijanjikan. Bahkan, ada yang mendapat kekerasan (KDRT) dari sang suami.
Kondisi ini membuat mereka menyesal dan ingin pulang ke Indonesia. Sayangnya mereka tidak punya cukup uang.
Dokumen penting seperti paspor dan visa pun disita oleh suami atau mertua sehingga mereka tidak bisa pulang. Beberapa orang yang berhasil kabur dan meminta pertolongan dari polisi setempat justru ditahan atas dugaan pelanggaran visa dan identitas palsu.
Apa kata korban trafficking ‘pengantin Cina’?
Dilansir dari BBC News Indonesia, berikut kesaksian beberapa perempuan pengantin pesanan Cina yang berhasil pulang ke tanah air.
Dewi – Kota Cangzhou, Provinsi Hebei, asal Jakarta
Saya sejak April 2019 sudah tinggal di China. Saya tinggal di perkampungan, enggak tahu nama jalannya. Yang saya ingat ini dekat Mengcun. Awalnya saya tidak betah.
Baru dua bulan terakhir saya bisa betah karena perilaku suami berubah sejak saya hamil. Kehamilan ini juga terpaksa, alasan supaya saya bisa pulang saja. Tapi ternyata suami saya tetap tidak perbolehkan saya pulang ke Indonesia. Saya harus melahirkan di sini.
Suami bilang selama hamil saya boleh naik pesawat. Dia juga takut anak saya nanti malah berkewarganegaraan Indonesia. Banyak alasannya.
Saya diminta terus-menerus istirahat di rumah. Suami saya kerja kotor, sepertinya berhubungan dengan besi. Ayah dan ibunya meladang. Kakak perempuannya kerja di pengadilan, mengurus berkas.
Hana – Kota Suzhou, Provinsi Jiangsu, asal Kalimantan Barat
Hubungan antara saya, suami, dan keluarga di China sebenarnya baik. Kami sempat bertengkar gara-gara saya sempat meminta dipulangkan. Saya tidak tahu paspor saya ada di mana.
(Hana menikah dan tinggal di Suzhou sejak Juli 2019).
Kondisi saya tidak fit, mungkin karena faktor cuaca. Saya tidak pernah mau diajak suami untuk bekerja. Akhirnya saya hanya disuruh mengurus rumah, kadang-kadang juga mencuci baju mertua.
Saya rindu dengan anak kandung dan keluarga saya di Indonesia. Di sini saya bagaikan burung. Saya bisa saja kabur, tapi saya bingung harus ke mana. Kantor KBRI jauh.
(Jarak antara pusat Kota Suzhou dan kantor KBRI di Distrik Chaoyang, Beijing, mencapai lebih dari 1.100 kilometer. Perjalanan bisa ditempuh selama sekitar 12 jam perjalanan darat)
Saya tidak mengalami kekerasan, mungkin karena pernikahan ini ilegal dan penyiksaan bisa dihukum berat. Saat itu, saya tidak tahu harus minta tolong ke siapa untuk pulang ke Indonesia. Saya minta tolong ke aktivis migran, tapi mereka selalu meminta saya untuk bersabar.
Pemulangan pengantin pesanan Cina ke Indonesia
Salah satu organisasi yang berperan besar membantu pemulangan korban trafficking berkedok pernikahan ini adalah Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Juliana, salah satu aktivis lembaga nonprofit itu, mengaku kerap menggunakan kocek pribadi untuk menebus tiket pesawat para pengantin pesanan.
Juliana berkata, mereka juga kerap bekerja secara secara diam-diam, saat memulangkan perempuan-perempuan Indonesia itu. Sejumlah WNI yang menetap di China, baik mahasiswa atau pekerja profesional, disebutnya, memiliki peran vital dalam proses pemulangan tersebut.
“Kami bertekad terus membantu para korban, bersama teman-teman, meluangkan waktu kami,” ujarnya.
Hingga saat ini, tidak ada data resmi tentang jumlah korban kasus ini, tapi sejumlah perempuan Indonesia lainnya, yang sebagian besar berasal dari Kalimantan Barat, diduga masih berupaya melarikan diri dari rumah ‘suami atau mertua’ mereka di China.
Sayangnya, meski diduga merupakan kejahatan transnasional yang melibatkan kartel perdagangan orang, belum satu pun pelaku yang dijatuhi hukuman di Indonesia.
***
Kasus pengantin pesanan Cina ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Pentingnya pendidikan dan pengetahuan bagi perempuan supaya tidak menjadi korban perdagangan orang.
Bekali diri dengan keahlian supaya bisa bekerja secara legal dan menghasilkan uang. Juga perlu ditanamkan kemandirian jika ingin hidup sejahtera, bukan bergantung pada orang lain sehingga mudah diiming-imingi dengan uang instan.
Sumber: BBC Indonesia
Baca juga:
Al Jazeera Mengungkap Perdagangan Bayi-bayi asal Indonesia di Malaysia
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.