Banyak diaspora yang akhirnya WNI harus kembali ke tanah air setelah menyelesaikan tugasnya. Kami salah satunya. Demi mengabdi pada ibu pertiwi, kami bulatkan tekad untuk beradaptasi lagi menjadi warga negara yang baik. Juga menjadi orang tua dari anak yang akan menjadi siswa kelas 1 SD. Inilah pengalaman menyekolahkan anak di SD Jepang dan SD Indonesia yang sangat berbeda.
Pengalaman Menyekolahkan Anak di Dua Negara Berbeda
Berbekal info yang katanya anak TK tidak perlu diajarkan baca-tulis-hitung (calistung), kami pun tenang dan tak buru-buru mengajarkan itu ke anak. Belajar sih belajar, tetapi sedikit demi sedikit dan woles.
Saya sendiri sebenarnya agak ketar ketir juga karena memakai buku tema bukan buku pelajaran seperti Bapak Ibunya dulu gunakan. Bapak Ibunya dulu kenalnya Budi dan Ani. Berbeda dengan anak sekarang yang harus lebih mengenal banyak tokoh di buku pelajaran mereka. Ternyata, memang kurikulum sekarang sangat jauh berbeda dengan yang dulu.
Banyak Hal yang Membuat Syok dalam Pengalaman Menyekolahkan Anak di Indonesia
Akhirnya masuklah anak kami ke kelas 1 SD negeri di dekat rumah kami. Meski kami sudah berusaha memaklumi, tetap saja ada banyak kejadian yang membuat kami cukup syok setelah perantauan kami dari negeri samurai. Kami masuk sekitar bulan Oktober dan ketinggalan tahun ajaran selama tiga bulan membuat kami cukup kalang kabut mengejar ketinggalan.
Syok Pertama, Langsung Ujian PTS padahal Baru Masuk
Syok pertama, datang-datang langsung ikut Penilaian Tengah Semester (PTS) padahal baca soal saja belum bisa lancar
Memang benar tahun ajaran baru dimulai bulan Juli. Kami juga paham itu. Sebelum PTS dimulai pun guru wali kelas 1 membantu kami.
Setiap pulang sekolah, anak kami ikut kelas tambahan dengan anak-anak lain yang juga belum lancar membaca. Agak lega, ternyata ada banyak temannya yang belum lancar. Setiap hari di rumah kami juga olahraga mulut demi mengajari anak kami menulis dan membaca. Masalah akademik mungkin masih bisa dikejar karena gurunya juga ikut membantu.
Namun, tetap saja soal PTS kala itu masih rumit baginya. Membaca soalnya saja masih terbata-bata, apalagi menjawab pertanyaannya. Soal itu malah dijawab oleh anak saya dengan huruf Jepang.
Kami tidak tahu harus tertawa atau menangis sedih, yang jelas kami cukup syok. Karena nilai PTS-nya tidak ada, anak saya tidak bisa menerima rapor semester pertama. Kalau tidak ada rapor nilai semester pertama, secara otomatis dia tidak akan naik kelas. Bukankah begitu aturannya?
Syok ke-2 anak saya jadi mata duitan
Saya beneran lupa kalau anak SD Negeri pada umumnya itu dikasih uang jajan. Uang jajan bisa dipakai buat beli makanan dan minuman saat jam istirahat di kantin sekolah atau di luar sekolah. Banyak warung juga di sekitar sekolah.
Selama merantau di Jepang, saya hampir tak pernah memberi uang jajan kepada anak. Selama 2 tahun di TK dan 4 bulan di SD, tak pernah sekalipun saya memberi uang jajan karena memang harus bawa bekal makanan ke sekolah.
Orang tua wajib membuatkan bekal makanan ini. Meski ada juga yang makan siangnya disediakan sekolah, yang jelas di sana tidak ada pemandangan anak-anak mengantri beli cendol atau cilok saat jam istirahat sekolah.
Akhirnya, kami pun mengalah dan mulai dengan memberi uang jajan 2.000 rupiah. Di desa uang segitu seharusnya cukup. Protes? Awalnya belum karena dia tidak tahu kalau uang 2.000 ternyata cuma dapat es teh. Lama-lama minta lebih dari 2.000 juga, tetapi tidak kami beri juga.
Uang 2.000 itu ternyata levelnya uang jajan anak TK. Kalau SD minimal 3.000, dan teman-teman anak saya rata-rata diberi uang jajan 3.000. Ada juga yang sampai 5.000. Lha dalah saya ketinggalan zaman bener padahal saya menganggap uang 2.000 itu sudah banyak, lho.
Pernah saya bawakan makanan dan susu ke sekolah, tapi tidak bertahan lama. Katanya dia sempat diejek temannya karena tidak jajan. Ini mungkin oknum saja sih, tetapi setelah itu beneran dia tidak mau dibawakan bekal. Pokoknya mau mentahan uangnya saja.
Syok ke-3 adalah pergaulan dengan teman-temannya
Awalnya dia sempat jadi buah bibir, dibicarakan teman dan kakak kelasnya karena spesial baru pulang dari Jepang. Tetapi suatu hari dia bilang ke saya sudah tidak mau pakai bahasa Jepang lagi. Dia malu karena temannya bilang ke dia “Kamu orang Jepang to, pulang saja sana ke Jepang!”
Hancur hati Mamak mendengarnya. Lantaran sejak saat itu dia jadi malas kalau membicarakan Jepang. Bahasa Jepang saja sekarang dia sudah lupa.
Pernah juga, suatu saat dia bilang ‘asu’ tanpa tahu artinya apa.
“Bu, asu itu apa?” Basuki yang artinya bajingan asu kirik adalah kosakata yang seumur hidup saya baru tahu.
What?! Saya beneran kaget karena ‘asu’ itu dalam bahasa Indonesia berarti “anjing”. Bukan salah anjingnya, kata ‘asu’ sendiri sering digunakan untuk mengumpat. Walah, saya kira anak kelas 1 ya tidak bakal seperti itu, je.
Temperamen Anak Berubah sejak Masuk Sekolah di Indonesia
Sejak bersekolah di situ, temperamen anak saya juga mengalami peningkatan sampai ingin rasanya kami bawa ke psikolog kala itu. Akhirnya kami sedikit tahu penyebabnya. Pernah suatu hari, saat ke sekolah, saya melihat dia diadu berantem dengan temannya dan disoraki oleh teman-teman perempuannya.
Ini terjadi saat jam istirahat dan di luar sekolah depan salah satu warga sekitar. Anak kelas 1 istirahat di luar sekolah tanpa diawasi pihak sekolah? Wooooow saya beneran kaget?!
Saya akhirnya mengadu soal ini ke kepala sekolah. Menurut beliau, guru jumlahnya terbatas sehingga tidak bisa mengawasi semua anak kelas 1-6 saat jam istirahat. Kalau ini saya juga paham, muridnya lebih banyak dibanding jumlah gurunya.
Yang jadi pertanyaan adalah kenapa pintu gerbang sekolah tidak ditutup saja dan anak dibiarkan bermain di dalam lingkungan sekolah? Sekolah di kota rata-rata seperti itu, kan? Benar saja, sesaat setelah saya protes soal itu, pintu gerbang sekolah ditutup saat jam istirahat. Pedagang kaki limanya diizinkan berjualan di dalam sekolah. Nah, kan.
Pengalaman Menyekolahkan Anak di SD Negeri yang Tak Sesuai Espektasi
Dari kejadian-kejadian itu, sebagai orang tua, saya jadi belajar untuk tidak kagetan. Mungkin ekspektasi saya juga ketinggian kalau berharap semua sekolah negeri dan anak-anak itu merata budi pekerti dan unggah-ungguhnya.
Guru juga sama perhatiannya dengan guru-guru di kota. Saya juga lupa kalau sekolah swasta sekarang lebih diperhitungkan kualitasnya dibanding sekolah negeri. Banyak orang tua yang berkeyakinan kalau sekolah itu lebih baik “membayar lebih” tapi terjamin perhatiannya dibanding “gratis” tetapi sedikit berbeda kualitasnya. Malah katanya siswa SD negeri banyak yang tidak bersikap baik.
Namun, dalam pikiran kami sebagai orang tuanya, sekolah di manapun itu tidak masalah, yang penting iklim dan suasana pembelajarannya menyenangkan bagi anak untuk belajar dan bersosialisasi.
Pihak sekolah juga memberi perhatian dan kedisiplinan tinggi. Toh sebagai orang tuanya, kita juga harus aktif mengajar dan mendidik anak kita juga. Apalagi saya membandingkannya dengan SD negeri Jepang sebelumnya, ya saya pikir SD negeri Indonesia akan sama saja meratanya.
Kaget tidak sih, kenapa mulut anak-anak kita yang masih kecil itu bisa enteng banget mem-bully verbal temannya, bahkan secara fisik? Ke mana pihak sekolah dan orang tuanya? Atau warga sekitar sekolah? Kenapa penghapus dan pensil di kelas hilang itu hal biasa?
Bukankah ada yang salah dengan hal ini? Kenapa tidak diajarkan anak untuk menjaga barangnya sendiri, memberi nama barangnya agar tidak tertukar, dan mengembalikan barang temannya kalau menemukannya? Kenapa tidak dari hal sekecil itu saja yang “halah gtu saja dipermasalahkan”?
Ini pendapat pribadi saya saja sih berdasar pengalaman menyekolahkan anak yang saya alami sendiri. Anak saya sekarang sudah kelas 3 SD meski harus mengulang kelas 1 SD-nya pada tahun berikutnya. Pengalaman berharga bagi kami, termasuk jangan percaya dengan “jangan ajarkan calistung ke anak sebelum masuk SD”. Semoga Parents bisa mengambil hikmahnya. Semangat!
Baca juga:
Pengalamanku Menyekolahkan Anak di TK Jepang, Apa yang Beda dengan Indonesia?
3 Faktor yang membentuk kemandirian anak-anak sekolah di Jepang