Belum lama ini kasus pencabulan anak di Depok baru saja terungkap, di mana pelakunya adalah seorang pengurus senior gereja.
Parents tentu bahagia jika melihat anak yang mau terlibat dan aktif dalam kegiatan keagamaan seperti di gereja. Faktanya, area yang kita anggap aman dan jauh dari predator seks nyatanya tidak demikian. Pasalnya, kekerasan seks pada anak bisa dilakukan di mana saja, bahkan oleh orang terdekat.
Kasus Pencabulan Anak di Depok Akhirnya Terungkap
SPM (42), seorang pengurus Gereja Paroki Santo Herkulanus di Depok, Jawa Barat, digelandang polisi pada Minggu (14/6/2020). Ia diduga mencabuli sejumlah anak yang aktif berpartisipasi di bawah kepemimpinannya sebagai pembina kegiatan gereja sejak awal 2000-an.
Berdasarkan penelusuran tim investigasi internal gereja, pencabulan yang dilakukan SPM diduga sudah bergulir sejak 2006. Namun, kasus ini baru terendus 14 tahun kemudian yakni pada Maret 2020!
“Sekitar bulan Maret, pengurus-pengurus pada curiga, alumni-alumni misdinar (subseksi kegiatan yang dibina SPM) juga curiga karena perilakunya pelaku,” demikian tutur kuasa hukum korban, Azas Tigor Nainggolan melansir Kompas.
Kecenderungan pelaku yang kerap memangku dan memeluk anak didikannya menjadi kunci terkuaknya pencabulan dalam lingkungan gereja. Pihak gereja akhirnya mendalami apa yang mereka melihat serta meminta keterangan orangtua dan rekan alumni misdinar.
Hasilnya, kasus pencabulan ini telah diakui oleh setidaknya 11 anak dengan kasus paling lama terlacak terjadi pada 2006 silam. Angka ini kemungkinan masih akan bertambah.
Tigor menduga, SPM melakukan serentetan pengondisian secara halus terhadap psikis anak-anak yang hendak dicabuli sehingga anak yang mendapat perlakuan tersebut tidak merasa menjadi korban.
Kuasa hukum korban, Azas Tigor Nainggolan perihal pencabulan anak di Depok. [Sumber foto: Kompas]
Pihak Gereja Setuju Kasus Ini Dibawa ke Ranah Hukum
Pendalaman juga mengungkap bahwa SPM kerap melayangkan tekanan dan ancaman tidak akan memberikan tugas aktif di gereja jika anak yang menjadi target menolak permintaan pelaku. Rasa trauma dan malu serta cuci otak yang dilakukan pelaku diduga menjadi alasan korban enggan melaporkan kepada orangtuanya.
Beruntung, pihak gereja sepakat bahwa kasus ini harus dibawa hingga ranah hukum agar korban mendapat keadilan. Pihak gereja juga memastikan akan membantu memulihkan trauma korban.
“Untuk perlindungan, kami bekerja sama dengan KWI (Konferensi Waligereja Indonesia). Kami memang akan membantu memulihkan si anak dari apa yang mungkin menjadi, seperti trauma yang berimbas kepada sesuatu yang tidak kita inginkan,” jelas Yosep Sirilus Natet selaku Pastor Paroki Gereja Santo Herkulanus.
Pendampingan tak semata bagi anak yang menjadi korban, melainkan juga para orangtua. Natet pun berjanji akan terus mengusut dan mencari tahu apakah ada anak lain yang menjadi korban pencabulan melalui tim investigasi yang telah ia bentuk.
Curahan hati orangtua korban pencabulan anak di Depok
SPM, pelaku pencabulan anak di Depok. Korban merupakan anak binaan kegiatan di gereja
Guntur (bukan nama sebenarnya) hanya bisa terkulai lemas dan tak kuasa menahan emosi saat tahu anaknya menjadi korban aksi bejat SPM. Ia tak menduga, semangat anaknya untuk aktif di gereja yang ia percaya malah berujung malapetaka.
“Kalau saya tidak ingat anak saya, saya tidak tahu lagi. Saya habisi kali dia di situ. Tapi saya harus kuat, saya harus tahan emosi
Saya sampai keluar ruangan itu, karena saya ngeri saya pukul dia, saya apain dia, dan akhirnya bisa berbalik ke saya. Saya sampai keluar, saya masuk kamar mandi, seperti orang gila saya teriak,” terang Guntur.
Guntur tak berharap banyak, yang ia harapkan adalah satu yakni keadilan. Belum cukupnya bukti membuat SPM sempat tidak bisa ditahan polisi kala itu.
Mekanisme hukum di Indonesia yang belum sepenuhnya berpihak pada korban kekerasan seksual membuat kasus ini seolah tak mudah untuk diungkap. Namun, keberanian Guntur untuk melapor inilah yang menjadi gerbang terkuaknya aksi tak senonoh SPM terhadap anak binaannya selama ini.
Bermula dari seorang eks misdinar yang menitip pesan agar memberitahu Guntur untuk menyelidiki, jangan-jangan anaknya menjadi korban tak senonoh SPM. Melihat anaknya sering terlihat bersama pelaku membuat Guntur tergerak untuk mengorek pengakuan dari sang anak yang berusia 13 tahun. Setelah melibatkan istrinya untuk bicara empat mata, pengakuan mengejutkan pun mencuat.
“Pertama, pengakuannya dipegang beberapa kali kemaluannya. Kami sudah syok di situ. Kami diam dulu tidak berani tanya yang lebih panjang.
Rilis di Mapolresta Depok terkait aksi pencabulan belasan anak di Depok
Kemaluan Korban Dioral
Tak sampai di situ saja, sejam lebih, Guntur pun akhirnya mengaku kalau telah dioral kemaluannya oleh pelaku, “Bahkan sampai beberapa kali,” sambungnya dengan lirih. Metode ini diakui Guntur tak mudah. Guntur melakukannya secara perlahan karena tak mau anaknya merasa tertekan.
Pengakuan yang meluncur dari mulut buah hatinya esok hari membuat dada Guntur seolah diterjang beban berat.
“Ternyata dia dipaksa lagi (oleh pelaku). Kemaluan pelaku ditempelkan ke kemaluan anak saya. Itu dilakukan pelaku sampai klimaks,” ujar Guntur. Perih dirasakannya sebagai seorang ayah, membayangkan anaknya menjadi korban kebejatan pejabat senior gereja yang telah ia percaya.
Insiden pencabulan SPM terhadap anak Guntur terjadi dalam rentang tiga bulan, berawal sejak Januari 2020 saat SPM mulai menyentuh kemaluan korban. Peristiwa naas ini berlangsung hingga Maret 2020.
Guntur menuturkan, modus halus dilakukan SPM dengan cara membentuk tim informasi dalam internal kegiatan misdinar yang diikuti anaknya. Apesnya, anak Guntur sengaja dipilih sebagai ketua tim. Diduga, cara ini agar pelaku lebih mudah melancarkan aksinya.
“Sehingga anak saya ini mau tidak mau harus selalu berhubungan dan mengadakan rapat dengan dia (SPM). Saya tanya anak saya, kenapa bisa kamu terus (yang diincar)? Dia jawab, ‘sesudah selesai rapat, yang dua disuruh keluar ruangan’. Anak saya mau ikut dengan mereka, tetapi ditahan oleh dia dengan alasan disuruh merapi-rapikan perpustakaan,” ungkap Guntur.
Perpustakaan di lantai dua gedung Gereja Herkulanus selalu jadi lokasi pencabulan yang dilakukan oleh SPM terhadap anak Guntur. Korban-korban lain dicabuli di tempat-tempat lain. Ada yang di rumah atau mobil SPM, bahkan ada pula, menurut Guntur, yang dicabuli di rumahnya sendiri.
Kondisi perpustakaan di lantai dua, sepi membuat simalakama di mana anak Guntur tak bisa lari kemanapun. Apalagi, pintu terbuat dari bahan kayu berat tanpa kaca dan kedap suara.
Tidak Tinggal Diam, Pelaku Berusaha Melawan
Anak Guntur bukannya pasrah. Ia melawan walaupun tak berhasil. “Aku berusaha melawan, tetapi tidak bisa, karena dia lebih besar badannya, dia lebih kuat. Jadi (celana) dibuka paksa,” tutur anak Guntur seperti ditirukan ayahnya.
Tak hanya kekerasan seksual, perlakuan tak menyenangkan disaksikan anak Guntur perihal sikap SPM terhadap anak yang dibinanya. Mulai dari caci maki dengan kata kasar, bahkan memukul dan menendang seolah menjadi hal yang biasa dilakukan terhadap anak didik gereja. Itu belum termasuk intimidasi pelaku demi kemauannya dituruti.
SPM memiliki kebijakan, tak ada seorang anak binaannya boleh menunjukkan isi grup whatsapp kegiatan kepada orangtua. Anehnya, semua anak manut tak terkecuali anak Guntur. Tak heran, aksi ini tertutup rapat belasan tahun lamanya.
“Bukan hanya saya saja. Banyak orangtua lain (yang meminta melihat isi grup WhatsApp misdinar), tetapi anak-anaknya tetap tidak memberikan untuk dilihat. Anak-anaknya menurut, seperti sudah dicuci otaknya karena ada teror tadi itu,” ujar Guntur.
“Mas. Bukan hanya kata-kata (tak pantas) saja, tapi (SPM) juga mengirimkan gambar yang tidak senonoh (di grup), dari stiker sampai foto yang tidak bagus, pokoknya tidak pantas lah anak-anak usia segitu melihat gambar yang seperti itu, dengan kata-kata di chat seperti itu. Gambar-gambar porno di grup itu banyak, sayang gambarnya sudah saya hapus karena sudah saya berikan ke Komnas HAM.
Jadi mereka selalu berkomunikasi melalui grup WA dan tidak pernah melalui japri, karena dia (SPM) tidak mau kata-katanya ketahuan melalui japri. Itu gila. Orang Komnas HAM saja kaget melihat itu. Kayak ada gambar ‘burung’ (alat kelamin pria), lalu perempuan dadanya kelihatan semua, gawat pokoknya”, terang Guntur.
Bahkan, meski sudah berbagi pengalaman kelam kepada orangtuanya, anak Guntur masih tak membiarkan ayah dan bundanya mengetahui satu insiden pahit . Yakni, pelaku juga mencabuli anaknya dengan menyentuh dubur korban pada 14-15 Maret 2020.
“Saya sampaikan ke anak saya, hal ini akan akan terus terjadi sampai selesai di pengadilan. Kamu harus kuat, sampai saya bilang, kamu belum waktunya untuk melupakan kejadian ini, karena keterangan dari kamu sangat dibutuhkan untuk memberatkan hukuman pelaku. Kalau kamu sampai lemah kasihan teman-teman kamu yang menjadi korban, nanti pelaku tidak dihukum berat. Sekarang ini kamu belum bisa lupakan. Kami harus kuat agar pelaku terhukum berat,” tegas Guntur.
Saya mau dia dihukum seberat-beratnya. Saya setiap hari, setiap saat, kalau korban bertambah, saya selalu takut kelak korban-korban ini akan jadi seperti dia. Anak-anak lain belum tentu seperti anak saya yang bisa membuka semua kejadian yang dialami. Ada beberapa orangtua tidak seperti kami dalam hubungannya dengan anak. Ada beberapa anak tidak berani cerita ke orangtuanya”, tegas Guntur.
Akibat kejadian ini, SPM harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia dijerat dengan Pasal 82 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Semoga kisah pencabulan anak di Depok ini dapat menjadi pembelajaran bagi orangtua agar selalu waspada.
Baca juga :
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.