Sudah sepekan tragedi teror bom di Surabaya berlalu. Meskipun begitu, rasa duka masih sangat terasa. Dan inilah kisah pelaku bom di Surabaya sebelum melakukan aksinya.
Setelah melalui penyelidikan polisi, akhirnya terkuak bahwa pelaku bom di Surabaya di tiga gereja adalah satu keluarga. Mereka adalah ayah, ibu dan 4 orang anak. Yang menyedihkan anak-anak mereka tergolong masih belia, bahkan yang paling kecil berusia 9 tahun.
Sang ayah, Dita Oepriarto dan ibu, Puji Kuswati beserta 4 anaknya. Yang tertua Yusuf (18 tahun), Firman (16 tahun), Fadila (12 tahun) dan yang paling muda bernama Famela (9 tahun).
Melalui seorang saksi, Hery, 46 tahun, penjaga keamanan kompleks perumahan keluarga ini, terkuak satu kejadian yang mengungkapkan perasaan salah seorang anak pelaku pengeboman. Ini kisahnya.
Hari masih gelap ketika anak keduanya, Firman, melakukan sholat subuh di sebuah masjid dekat rumahnya di pinggiran kota Rungkut, Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia.
Anak yang cerdas dan ceria itu bisa dibilang merupakan salah satu anak favorit Hery. Ia telah menganggap Firman sebagai “adik kecilnya.”
Tetapi hari Minggu yang lalu (13 Mei), ia merasakan ada sesuatu yang salah.
Senyum yang selalu tersunging dan terlihat akrab itu tiba-tiba saja hilang. Sebaliknya, remaja terlihat itu menangis. Melihat anaknya menangis, sang ayah, Dita Oepriarto, 46 tahun, pun mengelus kepalanya dan menepuk pundaknya.
Seakan ingin berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Meskipun bergitu, tetap saja tidak mampu menghentikan derai air mata pada anak remaja ini. Ia terus saja menangis.
Sepekan yang lalu, pada Minggu pagi, Hery memang datang ke masjid untuk beribadah sebelum dia mulai shift pagi. Dia pun duduk tidak jauh jauh dari Firman dan ayahnya, Dita.
Baca juga : Selamat jalan malaikat kecil… 2 Bocah jadi korban teror bom Surabaya
Dalam keheningan fajar, Hery, mendengar percakapan antara ayah dan anak remajanya ini. Sang ayah berbisik, “Bersabarlah… tuluslah…” Namun, lagi-lagi, kata-kata sang ayah tetap saja tidak mampu menghentikan tangisan anaknya. Remaja itu tidak bisa dihibur. Dia terus menangis.
“Sebenarnya saat itu saya ingin bertanya kepada ayahnya, apa masalahnya. Tetapi saya menghentikan niat saya tersebut, karena saya tidak ingin dilihat sebagai orang yang ingin campur tangan dalam urusan orang lain,” kata Hery.
Ketika doa berakhir, Firman, ayah dan kakak laki-lakinya, Yusuf, bangun untuk pulang.
Tidak lama setelah itu, Firman kemudian naik ke sepeda motor bersama kakak laki-lakinya Yusuf, mereka rupanya melaju ke arah gereja Katolik Santa Maria.
Di pintu masuk, seorang jemaat gereja bernama Aloysius Bayu mencoba menghentikan mereka. Ledakan keras meledak pada jam 7.30 pagi waktu setempat.
Dua saudara laki-laki, Aloysius dan lima anggota gereja lainnya pun ternyata tewas. Ikut menjadi korban pemboman di Surabaya.
Lima menit kemudian, ayah mereka mengendarai mobil bermuatan bom menuju ke Gereja Pantekosta Center Surabaya pada pukul 7.35 pagi waktu setempat dan meledakkan bahan peledak.
Tak lama setelah itu, giliran istrinya, Puji dan dua putrinya, ikut melakukan serangan bom terhadap Gereja Kristen Indonesia Diponegoro.
Dalam 10 menit, seluruh anggota keluarga pun tewas. Pemboman bunuh diri di tiga gereja menewaskan 13 orang dan melukai 41 lainnya.
Baca juga: Selamat jalan malaikat kecil… 2 Bocah jadi korban teror bom Surabaya
Pelaku bom di Surabaya, anak-anak itu tidak ingin mati
Saat kembali ke rumahnya, Hery pun mendengar berita pemboman tersebut. Dia tercengang. Ketika itu ia pun akhirnya mengetahui alasan di balik mengapa Firman menangis – bahwa sebenarnya diri tidak ingin mati.
“Saya rasa, dan saya percaya bahwa sebenarnya anak itu tidak ingin melakukannya, mati sebagai pelaku bom bunuh diri. Jelas tindakan ini memang tidak bisa dibebarkan, menyeret anak-anak ke dalam peristuwa ini,” kata Hery, terdiam ketika sembari menundukkan kepalanya.
“Aku merasakan rasa kehilangan yang begitu mengerikan,” tambah Hery lirih.
Teror berlanjut, ini pelaku bom di Surabaya dan di Sidoarjo lainnya
Selain pemboman yang dilakukan di tiga gereja, sebuah bom yang dirakit oleh Anton Febrianto meledak secara prematur di rumahnya di Sidoarjo, di luar Surabaya.
Peristiwa ini pun akhirnya membunuh istrinya Puspitasari dan satu anaknya, Hilta Aulia Rahman, 17. Sementara tiga anak lainnya, Ainur Rahman, Faisa Putri dan Garida Huda Akbar, masing-masing berusia 15, 11 dan 10, selamat.
Pada 14 Mei, sebuah keluarga beranggotakan lima orang, yang mengendarai dua sepeda motor terpisah, menyerang sebuah kantor polisi di Surabaya, menewaskan empat anggota keluarga. Seorang anak berusia delapan tahun selamat.
Terkait dengan pelaku pemboman di Surabaya, menurut Jenderal Polisi Drs. H. M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D, Kepala Kepolisian Negara Republik, seluruh keluarga yang terlibat dalam aksi pengeboman tersebut saling kenal.
Polisi Indonesia mengatakan Dita adalah kepala cabang negara pro-Islam (IS) Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Surabaya.
JAD didirikan oleh Aman Abdurrahman, 46, yang merupakan ideolog IS yang terkemuka di Indonesia. Dia saat ini diadili atas perannya dalam serangan teror Thamrin 2016 di Jakarta.
Kengerian dua keluarga yang sekarat sebagai pelaku bom bunuh diri menimbulkan pertanyaan – bagaimana Dita menjadi radikal sampai pada titik terpelintir bahwa ia bersedia untuk menuntun keempat anaknya sampai mati?
Seorang pejabat kontra-terorisme senior mengatakan kepada Channel NewsAsia bahwa Dita adalah pengikut setia dari Aman Abdurrahman.
Ketika ditanya di mana Dita mendapatkan ide untuk mengubah anak-anaknya menjadi pelaku bom bunuh diri, pejabat itu mengatakan: “Kami belum tahu tetapi mereka (Dita dan teman-temannya) sangat sering menyaksikan pengeboman bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak.”
Pejabat itu menambahkan: “Sebagai pemimpin JAD Surabaya, Dita bisa memengaruhi dua keluarga lainnya.”
Kepada Channel NewsAsia, pejabat dan analis anti-terorisme senior Indonesia mengatakan bahwa pengeboman bunuh diri yang terdiri atas seluruh keluarga belum pernah terjadi sebelumnya dan memperingatkan mereka dapat menelurkan pengeboman serupa.
“Keluarga bom bunuh diri ini dapat dicontoh oleh orang lain tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia,” kata Noor Huda Ismail pejabat kontra-terorisme senior.
“Saya tidak bermaksud menjadi pengamat, tetapi ini (bom bunuh diri keluarga) sangat berbahaya bagi seluruh Asia Tenggara dan dunia.
“Kami melihat komunitas yang baik dengan membunuh anak-anak mereka sendiri,” kata Huda, yang juga pembuat film dokumenter.
Menurut Huda, anak-anak berusia 13 tahun memiliki sedikit pemahaman tentang apa yang terjadi sementara mereka yang berusia di atas 13 tahun memiliki kemampuan untuk memahami.
“Karena itu, dalam masyarakat patriarkal seperti Indonesia, sangat sulit bagi seorang anak untuk melepaskan diri dari pengaruh seorang ayah. Anak-anak ini sangat tidak berdaya,” kata Huda.
“Dalam kasus ini, sangat jelas bahwa ayah, Dita, sangat radikal dan istrinya dipengaruhi olehnya untuk ikut bersamanya dengan pengeboman bunuh diri. Ini membuat anak sangat tidak berdaya karena tidak ada yang melindungi mereka,” kata Huda terkait pelaku bom di Surabaya.
Sumber : www.channelnewsasia.com
Baca juga :
Suami tewas jadi korban teror bom, begini curahan hati sang istri