Fenomena Panic Buying Saat Pandemi, Berikut 5 Alasan Psikologisnya!

Di tengah pandemi ini masyarakat kerap melakukan panic buying barang tertentu, seperti masker, hand sanitizer, hingga susu merek tertentu. Apa sebenarnya yang menjadi alasannya? Berikut penjelasan dari psikolog.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Perilaku panic buying kini menjadi sorotan di tengah pandemi COVID-19. Masyarakat berbondong-bondong membeli barang dalam jumlah besar seakan takut kehabisan. Sebenarnya apa alasan psikologis di balik perilaku panic buying yang kian menjamur di tengah masyarakat saat ini?

Di periode awal pandemi, masih segar dalam ingatan ketika muncul berita panic buying untuk barang kesehatan seperti masker dan hand sanitizer. Akibat perilaku panic buying ini, harga kedua barang tersebut melambung tinggi.

Selang satu tahun kemudian, perilaku panic buying kembali terjadi. Kini masyarakat berebut membeli susu dan vitamin merek tertentu yang dipercaya dapat berkhasiat untuk menangkal dan menyembuhkan COVID-19.

Sumber: Freepik

Artikel Terkait: Viral Panic Buying Susu Beruang untuk COVID-19, Berikut Penjelasan Dokter Gizi!

Panic buying di masa pandemi berbeda dengan memborong barang untuk persediaan, misalnya ketika ada bencana alam. Seperti jika terjadi banjir, orang-orang akan tergerak membeli air mineral dan bahan pangan sebagai persiapan jika ada krisis air bersih karena memang akan diperlukan nantinya.

Berbeda dengan panic buying saat pandemi yang menyebabkan orang memborong barang tertentu dalam jumlah besar, padahal belum tentu dibutuhkan.

Lantas, mengapa fenomena ini bisa terjadi? Apa yang menjadi alasan di baliknya?

5 Alasan Psikologis di Balik Perilaku Panic Buying

1. Insecurity Menjadi Dasar Panic Buying

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sumber: Freepik

Menurut Sarah R. Siahaan, MA, M.Psi, Psikolog, selaku Psikolog Klinis Dewasa, hal yang mendasari perilaku panic buying adalah rasa gelisah karena tidak aman. Selain itu, kecemasan antisipatif atau kecemasan karena ketidakpastian juga menjadi penyebabnya.

Mengutip dari Psychology Today, kecemasan antisipatif merupakan ketakutan akan hal yang belum tentu terjadi. Contohnya, jika akan menerima hasil tes laboratorium usai menjalani tes kesehatan, kita bisa merasa cemas dan takut jika hasilnya tak sesuai harapan.

Begitu pula kecemasan antisipatif yang terjadi ketika menghadapi pandemi. Rasa takut akan tertular virus dan rasa terancam keselamatannya menjadi alasan dari perilaku panic buying yang kemudian menyebabkan orang-orang memborong barang tertentu yang dianggap bisa melindungi diri secara berlebihan.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Artikel Terkait: Cek Fakta: Masker Ganda Efektif Cegah COVID-19, Benar atau Tidak?

2. Keputusan yang Bersifat Emosional

Sumber: Freepik

Manusia memiliki dua cara berpikir untuk mengambil keputusan, yaitu keputusan logis dan emosional.

Berpikir secara logis bersifat lebih taktis, menghitung, dan menimbang untung ruginya sebelum mengambil keputusan. Sementara jika berpikir secara emosional lebih intuitif, cepat, spontan, dan tanpa didasari pertimbangan yang matang terlebih dahulu.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Perilaku ini didasari oleh pengambilan keputusan yang bersifat emosional. Otak emosional mempertimbangkan untuk melindungi diri terlebih dahulu, memastikan diri aman dengan memiliki barang tersebut daripada menyesal kemudian.

3. Merasa Memiliki Kontrol

Sumber: Freepik

Panic buying juga menjadi salah satu bentuk kontrol seseorang dengan harapan dapat mengendalikan situasi. Dalam kasus ini, orang berharap dengan membeli barang tertentu misalnya masker, hand sanitizer, atau susu merek tertentu dapat melindungi mereka dari ancaman COVID-19.

Dengan membeli banyak barang sekaligus yang dibutuhkan oleh orang banyak dalam waktu bersamaan, maka seseorang akan merasa memiliki kontrol atau rasa bisa mengendalikan situasi.

4. Salah Satu Cara Membuat Tenang

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Sumber: Freepik

Segala ketidakpastian tentang COVID-19 wajar menimbulkan rasa tidak aman dalam diri seseorang.

Sebagai contoh, kita tak mengetahui pasti kapan pandemi ini berakhir sepenuhnya, kapan bisa kembali ke kehidupan seperti biasanya, apakah bisa sembuh, atau malah meninggal jika terinfeksi COVID-19, dan hal-hal negatif lainnya.

“Karena kita tak punya kontrol akan situasi yang ada sekarang, maka dengan membeli, kan, seperti ada kontrol, sehingga memberikan perasaan aman,” papar Sarah Siahaan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dengan melakukan panic buying maka seseorang akan merasa memiliki kontrol. Dengan adanya kontrol tersebut, otomatis ia akan merasa aman dan tenang dari berbagai ancaman.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Artikel Terkait: Alasan Psikologis di Balik Kebiasaan Menggigit Kuku, Perlu Terapi untuk Menghentikannya?

5. Emosi yang Menular secara Massal

Sumber: Freepik

Psikolog Sarah Siahaan juga menjelaskan bahwa pandemi memunculkan rasa takut yang masif sehingga menjadi salah satu faktor pencetus perilaku panic buying.

“Yang jelas pandemi ini fear-nya massive dan massal. Sehingga ada satu orang berbuat sesuatu, yang lain jadi ikut. Yang menular itu rasa takutnya, emosinya,” paparnya.

Manusia adalah makhluk sosial. Secara alami, manusia akan menafsirkan adanya situasi berbahaya dari reaksi orang di sekitarnya. Ketika naluri komunal muncul, maka manusia akan berhenti berpikir logis dan mengambil keputusan seperti orang lain.

Berkaitan dengan penjelasan sebelumnya tentang otak emosional, citra visual bisa berpengaruh terhadap pikiran emosional kita. Jika melihat berita, foto, atau video orang-orang membeli atau memborong sesuatu, bisa jadi otak emosional kita ikut terpengaruh untuk melakukan hal yang sama.

***
Itulah beberapa hal yang menjadi alasan timbulnya fenomena panic buying di tengah masyarakat seperti sekarang. Apakah Parents juga mengikuti tren yang sama atau justru dapat bertahan untuk tidak terlibat fenomena tersebut?

Baca Juga:

5 Tahapan Penting Psikologi Anak, Bagaimana Parents Harus Menghadapinya?

7 Tips yang Bisa Dicoba Parents untuk Menjaga Psikologis Anak di Masa PJJ

3 Jenis Gangguan Mental yang Rentan Dialami Penyintas COVID-19, Cek Faktanya!