Beberapa hari belakangan ini, netizen dihebohkan dengan adanya tanda pagar #makanmayit. Seniman muda bernama Natasha Gabriella Tontey (27) adalah tokoh utama di balik segala kegaduhan pameran seni makan bayi tersebut.
Pameran seni makan bayi bertajuk “Little Shop of Horrors” ini menyajikan sebuah pertunjukan #makanmayit. Di mana pengunjung disajikan “camilan” berupa janin, otak, dan makanan yang mengandung ASI dan keringat dari ketiak bayi.
Beragam reaksi muncul di media sosial, termasuk dari para ibu.
Salah satu yang menyayangkan aksi tersebut adalah Deasy Elsara. Ibu sekaligus penulis lepas ini menilai bahwa apa yang dilakukan Tontey adalah sebuah bentuk ketidak tuntasan memahami isu yang ia angkat.
“Jika tujuannya untuk memperbincangkan (mempertanyakan?) kanibalisme, kenapa memakai ASI sebagai gimmick yang sebetulnya tidak ada benang merahnya sama sekali dengan isu utama? Di sini, ASI diperlakukan seperti benda keramat, terlepas dari kegunaannya yang memang tinggi manfaat,” tuturnya lewat surel kepada theAsianparent Indonesia, Senin (27/02/2017).
Menurutnya, Tontey pasti akan menuai konsekuensi karena telah menggunakan ASI tidak sesuai dengan tujuannya, “kalau dia peka, saya rasa Tontey sudah bisa memperkirakan karyanya akan menjadi kontroversial.”
Sebagai orang yang mengenal Tontey sebagai seniman secara langsung, Elsara mengamati bahwa selama ini karya seniman yang pernah mengenyam workshop di Ruang Rupa ini banyak terpengaruh dengan budaya pop Jepang.
A post shared by Narisha Zulkarnain (@sashanarisha) on
Di Jepang, berbagai pertunjukan seni yang “tidak lumrah” memang sering ditampilkan. Jika Tontey mengambil tema kanibalisme, maka tema ini pun pernah diangkat juga oleh seorang seniman asal Jepang bernama Mao Sugiyama.
Seniman yang menyebut dirinya aseksual (tidak tertarik pada segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan seksual) ini menggelar pertunjukan seni berupa memotong penisnya sendiri, kemudian memasaknya. Ia mengundang beberapa orang tamu untuk memakan olahan penis tersebut.
Buzzfeed menyebutkan bahwa kegiatan ini tak melanggar hukum Jepang karena di sana tak ada aturan khusus yang mengatur soal kanibalisme. Namun, belakangan Tontey menolak jika seninya dikaitkan dengan Mao Sugiyama.
Tentang keterkaitan Tontey dengan budaya seni Jepang yang tak jarang bernuansa nyentrik, Elsara memandang bahwa kali ini Tontey kurang peka, “publik di sini berbeda, jadi apa yang mungkin akan mudah diterima oleh publik Jepang tidak serta merta langsung diterima di sini.”
“Saya rasa ketika seorang seniman memahami tuntas isu yang akan diangkat dan kaitannya dengan konteks dan konten budaya lokal, simpati dan empati akan muncul dengan sendirinya,” tutup pemilik blog https://www.deasyelsara.com ini
Tentang seni #makanmayit
A post shared by @roodkapje on
TheAsianparent Indonesia berhasil menghubungi Tontey lewat surat elektronik. Demi kehati-hatian dalam mengutip pernyataan Tontey yang menjadi kontroversi, kami menampilkan wawancara ini secara utuh.
Tanya: Sebenarnya konsep awal seni ini bagaimana? Apakah benar seperti yang ditangkap orang-orang bahwa Anda menganggap bayi yang menetek ASI pada ibunya itu sama saja kanibalisme?
Ini berhubungan dengan minat saya untuk membahas ketakutan dengan hal yang lebih global. Dimulai dari hal-hal kecil untuk membahas sesuatu yang lebih besar dan pertanyaan saya akan ketakutan itu sendiri.
Mungkin ketakutan adalah suatu ciptaan oknum tertentu untuk mengontrol ketakutan lain, contoh paling dekat dengan kita adalah larangan dalam berbentuk ketakutan yang dibuat oleh orang tua terhadap anak, karena orang tua memiliki ketakutan tersendiri atau isu-isu hantu atau teror yang dibuat oleh oknum-oknum tertentu untuk mengontrol masyarakat. Mungkin begitu.
Sebenarnya isu ini menjadi ketertarikan saya sejak lama tapi baru tercapai di Koganecho, di mana saya membuat toko mainan yang menjual cerita-cerita fiksi hasil sejarah kelam daerah Koganecho yang saya campur dengan karakter hantu Jepang.
Disitu mainan-mainannya dibungkus dengan kantung putih dan hanya ceritanya saja yang kelihatan, saya ingin menjual ketakutan orang Jepang kepada orang jepang dengan tujuan untuk berbagi pengetahuan kepada tetangga sekitar sekaligus observasi dan berinteraksi langsung dengan masyarakat pada saat proses berkarya disana.
Mungkin bukan menkonstruksi ketakutan, lebih tepatnya mengeksplorasi ketakutan dan mempertanyakannya kembali lewat karya performans “Makan Mayit”. Lewat ketakutan saya mencoba melempar isu terhadap partisipan untuk membicarakan ketakutan yang lebih dalam dengan makan malam kanibalisme, berdiskusi santai asal usul kanibalisme.
Apakah ada konstruksi moral yang mengatur kehidupan kita, bagaimana konstruksi moral mengatur kehidupan kita. Karena pada saat proses berlangsung bahan-bahan asli untuk masakan yang saya kumpulkan menuai pro dan kontra.
Menghadapi berbagai respon kemarahan yang ada dari #protesmakanmayit sekarang, sebagai seniman, bagaimana sikap Anda?
Pertama ini bukan bercandaan atau sesuatu untuk tampil beda saja. Seni punya potensi untuk membicarakan hal-hal yang dianggap tabu agar bisa dipahami bersama, saya gak mau hanya menerima norma yg ada sebagai sesuatu yg “taken for granted” saya punya banyak pertanyaan tentang etis, moral, manusia dan banyak lagi, oleh karenanya acara ini saya buat sebagai platform untuk berdialog.
Di Indonesia upaya seni untuk merekonstruksi ulang hal-hal yang tabu sudah banyak dilakukan dan memantik perdebatan. Karya seni punya potensi yang bisa memantik interpertasi yang berbeda-beda dan identitas personal membuat kita punya tafsir terhadap masing-masing karya seni itu. Dan setiap seniman itu mendapatkan penolakan, protes, bahkan ancaman pembunuhan.
Apa yang saya buat bentuknya “peristiwa” tentu ada banyak hal yang tereduksi dari apa yg disebar di media sosial, oleh karenanya tidak fair jika hanya menghakimi “tidak pantas dan tidak sensitif” terhadap apa yg saya kerjakan tanpa mengikuti peristiwanya. kepada pihak-pihak yang merasa tersinggung karen beberapa hal, saya siap berdialog secara terbuka mengenai hal ini. Mohon maaf.
Apakah Anda juga terinspirasi dari pertunjukan seni seniman Mao Sugiyama ini?
Tidak.
Benarkah yang digunakan adalah ASI? Mengapa awalnya menyebut bahwa itu ASI dan belakangan Anda meralat hal tersebut?
Saya tidak meralat. Pertanyaan yang menarik. Saya ingin mempertanyakan hasrat kanibalistik dimulai darimana? Karena ada konsep endocannibalism dan saya terinspirasi dari fenomena sosial itu.
Menanggap soal jawaban iya atau tidak ya efeknya (mungkin akan) sama saja. Sama halnya kayak nanya apakah Supersemar itu benar ada atau tidak. Begitupun jelly bayi dan minuman kantung darah yang saya buat, packaging dan cetakan saya beli dan itu adalah hal lumrah minuman vampir-vampiran.
Sebenarnya kritik apa yang akan disampaikan?
Apa yang saya buat bentuknya “peristiwa” tentu ada banyak hal yang tereduksi dari apa yg disebar di media sosial, oleh karenanya tidak fair jika hanya menghakimi “tidak pantas dan tidak sensitif” terhadap apa yg saya kerjakan tanpa mengikuti peristiwanya.
Adakah yang ingin Anda disampaikan pada netizen saat ini?
Kepada pihak-pihak yg merasa tersinggung karena beberapa hal, saya mohon maaf. Tapi saya merasa sebaiknya baca dulu dan mencari tahu betul baru mengecam. Karena karya seni bersifat untuk berdialog dengan masyarakat, dialog bukan hanya literal tapi memantik opini masyarakat berkaitan dengan pertanyaan saya apakah sifat psikopat dimiliki semua manusia?
Saya bertanya juga, apabila medium yang saya pilih bukan performans melainkan film, apakah ada masalah dengan film horor?
Tentang #protesmakanmayit untuk pameran seni makan bayi dari netizen
Adanya pameran seni makan bayi ini mengundang reaksi dari para ibu pegiat media sosial. Di berbagai platfrom media sosial, tumbuh gerakan bernama #protesmakanmayit.
Seorang blogger dan juga pegiat media sosial Chacha Thaib ikut angkat bicara. Ia mengatakan bahwa pameran seni makan bayi yang dibawakan oleh Tontey adalah seni yang kebablasan.
Menurutnya, ini adalah sebuah bentuk penyimpangan, “kegelisahan si seniman tidak tersampaikan dengan baik. Akhirnya jadi bias dan mancing emosi serta amarah ibu-ibu, terutama para pejuang ASI.”
Sekalipun hanya boneka, Chacha tetap menyayangkan cara intrepetasi Tontey yang dianggap tidak pantas, “karena poinnya bukan boneka, issue yang mereka angkat itu. Kalau keluar omongan kaya gitu dari dia, jelas dia cuma ngeles kalau cara dia salah.”
Secara terang-terangan, Chacha menyebut bahwa pameran seni makan bayi yang dilakukan Tontey hanyalah mencari perhatian belaka, “dia cuma kasih makan ego-nya dia aja. Karena di salah satu media dia sebut dia seniman yang egois juga kok.”
“This is not art (ini bukan seni). Dia sendiri gagal paham konsep asi dan plasenta bayi. Ini seni yang kurang riset. Beda kultur sama riset dia di Jepang.” tutup pemilik akun instagram @chachathaib ini.
Senada dengan Chacha, Poppy Septia mengungkapkan keresahan yang sama. Ia melengkapi gerakan #protesmakanmayit yang beredar luas di media sosial.
Sebelumnya, postingan Path dia tentang #makanmayit ini telah menjadi viral di berbagai media sosial.
Tentang postingannya yang sempat viral, Poppy menyatakan bahwa apa yang ia tulis adalah suara hatinya. Sebagai orang awam sekaligus ibu yang baru aja melihat gambar-gambar postingan tersebut di media sosial.
“Tidak sedikitpun bermaksud menyinggung karya seni, tidak bermaksud menghakimi. Aku bukan pakar yang bisa memberikan penilaian, tapi aku bagian dari masyarakat, di mana seni itu dipertontonkan, maka aku bagian dari “audiens” juga,” tuturnya.
Ia sendiri mengaku bahwa dirinya tak paham mengapa konsep kanibalisme yang diusung Tontey tersebut menggunakan atribut bayi. Misalnya menyajikan puding berbentuk fetus.
“Apalagi ada pernyataan bahwa makanan-makanan tersebut mengandung ASI dan ekstrak keringat bayi, entah ini sungguhan atau gimmick saja,” keluhnya.
Poppy juga menggarisbawahi pencatutan nama AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia) Jogja oleh Tontey. Dalam postingan instagram, AIMI memang membantah pernyataan Tontey tentang adanya kerja sama. Setelah bantahan AIMI keluar, akhirnya Tontey mengaku ia lalai dan tidak tahu tentang AIMI.
“Aku tau, karya seni tidak selalu berwujud indah, tapi jika Tontey mengenali dirinya sebagai seniman yang menyukai hal-hal berbau gore atau kanibalisme. Mungkin dia akan menggelar pertunjukan ini hanya di lingkungan terdekatnya, bukan lantas menghadirkan beberapa seleb yang lalu mengunggahnya di media sosial,” ujar Poppy menyayangkan.
Poppy juga khawatir jika pengikut dan penonton di media sosial, apalagi yang di bawah umur, akan mudah mencontoh dan menganggap pameran seni makan bayi ini wajar, “padahal, belum tentu mereka juga paham maksud yang ingin disampaikan oleh Tontey.”
Ia juga menyoroti bahwa tidak satupun dari foto-foto Tontey dan teman-temannya yang mengandung kutipan berupa penjelasan tentang tujuan dan latar belakang dibuatnya pameran seni makan bayi tesebut. Oleh karena itu, ia menilai bahwa wajar jika banyak yang salah persepsi, tersinggung atau terluka.
“Mengingat tidak mungkin masyarakat luas bisa benar-benar membaca apa yang ada di kepala sang seniman,” imbuhnya.
Sebagai seorang ibu, ia memohon maaf jika sekitarnya ia maupun para ibu yang lain membuat seniman merasa disudutkan. Namun ia menyatakan bahwa apa yang ia dan ibu lainnya lakukan adalah murni kekhawatiran terhadap efek pameran seni makan bayi yang bisa terjadi di masa akan datang.
“Kami peduli pada lingkungan yang kondusif. Identitas sebagai ibu tentu tidak bisa dilepaskan. Pengalaman kami sebagai manusia dan ibu, membuat kami berpikir bukan untuk personal saja tapi juga jangka panjang, masa depan anak-anak kami,” harap pemilik akun twitter @sloppypoppy ini.
Kepada Tontey, ia berharap agar ke depannya seniman tersebut tidak menyertakan atribut bayi dan ASI maupun menggelar acara pameran seni makan bayi yang sama seperti #makanmayit ini lagi.
“Jika memang masih tema-tema yang serupa yang diusung, mohon tidak dibuka ke ruang publik, tidak dipromosikan di media sosial atau media lain apapun secara terbuka tanpa target market yang jelas dan dapat diakses dengan mudah oleh generasi muda yang pemahamannya masih terbatas. Semoga kita sama-sama banyak belajar dari kejadian ini,” papar pemilik akun instagram @poppyseptia.
Jika seni #MakanMayit ini adalah untuk mempertanyakan, maka akan kemana selanjutnya pertanyaan tersebut bermuara?
Baca juga:
Parenting dan Potret Nyatanya di Instagram
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.