Tata krama dan sopan santun merupakan sesuatu yang sangat penting di Korea Selatan. Untuk mengajarkannya pada anak sejak dini, para orangtua di sana kerap menggunakan konsep Nunchi dalam pola asuhnya.
Konsep tersebut merupakan sebuah seni memahami perasaan orang lain dalam menjalin relasi atau hubungan sosial. Bukan hanya melatih sopan santun, metode ini juga dipercaya dapat meningkatkan kecerdasaan sosial anak di kemudian hari.
Seperti apa?
Artikel terkait: 4 jenis pola asuh anak yang populer di kalangan keluarga Indonesia, mana yang Parents terapkan?
Nunchi: Kunci anak bahagia dan sukses ala orangtua di Korea Selatan
Dalam bahasa Korea, Nunchi diambil dari kata “Nun” yang berarti mata, serta “Chi” yang berarti alat ukur. Saat digabungkan, kedua kata tersebut bisa diartikan sebagai “ukuran mata”.
Nunchi diperkenalkan oleh filsuf China bernama Confusius kepada masyarakat di Korea Selatan sekitar 25 abad yang lalu. Seiring berjalannya waktu, konsep tersebut pun menjadi salah satu budaya yang penting dalam kehidupan masyarakat di sana.
Secara umum, Nunchi merupakan sebuah seni untuk merasakan dan memahami apa yang orang lain rasakan. Agar ke depannya, kita bisa merespon perasaan tersebut dengan tepat.
Jika seseorang dapat mengasah kemampuan tersebut, maka ia dipercaya akan mencapai hal yang baik dalam hidupnya. Seperti memilih pasangan yang tepat, membangun relasi kerja, serta mengurangi kecemasan sosial.
Dalam segi parenting, orangtua yang menerapkan konsep tersebut dalam pola asuh, dipercaya dapat membangun kecerdasan sosial yang baik pada anak mereka di kemudian hari.
Nunchi berbeda dengan empati
Euny Hong, seorang Jurnalis dan penulis buku “The Power of Nunchi” mengatakan bahwa Nunchi berbeda dengan empati.
Pasalnya, konsep khas asal Korea ini tidak berfokus pada satu individu, tetapi pada situasi atau lingkungan sosial secara keseluruhan. Sedangkan empati merupakan kemampuan seseorang dalam melihat situasi dari perspektif orang lain.
“Jadi, konsep ini menempatkan pengamatan seseorang pada situasi yang terjadi di lingkungan sekitar. Seperti memahami keadaan, agar kita bisa memberikan respon yang tepat untuk situasi tersebut,” jelas Euny seperti yang dilansir dalam laman The Guardian.
Untuk mempraktikan konsep tersebut, lanjut Euny, seseorang hanya membutuhkan tiga aspek penting yakni: Mata, telinga, serta pikiran yang tenang.
Praktik dalam pola asuh
Orangtua biasanya mengajarkan konsep tersebut ketika anak berusia tiga tahun. Pasalnya, banyak masyarakat Korea percaya bahwa kebiasaan baik yang terbentuk di umur tiga tahun, akan melekat dan berlanjut selama 80 tahun lamanya.
Ketika anak membuat masalah atau nakal pada orang lain, biasanya orangtua di Negeri Gingseng tersebut selalu mengingatkan anaknya dengan kalimat, “Kenapa kamu tidak punya nunchi?”
Karena faktanya, konsep Nunchi ini juga selalu dikaitkan dengan sopan santun atau cara seseorang bersikap. Anak yang tidak sadar mengenai konsekuensi dari tindakan atau kata-kata mereka pada orang lain dianggap sebagai anak yang tidak memiliki nunchi. Atau, anak dianggap nakal saat tidak bisa menghargai orang lain.
Mengajarkan anak agar bersikap bijaksana dan menghargai lingkungan sekitar
Nunchi juga mengajarkan anak bahwa dunia tidaklah berputar di sekitar mereka saja. Ada orang lain juga yang perlu dihormati kehadirannya. Konsep ini pun mengajarkan anak agar bisa bijaksana dan mampu memikirkan perasaan orang lain.
Misalnya, seorang ibu dan anak sedang mengantre makanan. Sang anak mengeluh dan berkata, “Bu, lama banget, sih. Aku, kan, lapar!”
Saat menerapkan konsep Nunchi, ibu tersebut tidak akan menjawab, “Kasian anak ibu. Nih, sambil nunggu, makan dulu kue biar kamu nggak laper, ya.”
Melainkan akan merespon dengan mengucapkan, “Liat deh, ada banyak orang juga yang ngantri, sama kayak kamu. Jadi, bukan cuma kamu saja yang lapar, Nak. Jadi, tolong sabar sedikit, ya.”
Respon tersebut akan mengajarkan anak untuk bisa bersikap sabar dalam memenuhi kebutuhan. Tidak hanya itu, dia juga akan belajar untuk memahami perasaan orang lain yang ada di sekitarnya.
Saat mereka bisa menghargai orang lain sejak dini, maka ini akan meningkatkan kecerdasan sosial anak di kemudian hari. Anak akan menghargai kebersamaan, lebih mudah membangun suatu hubungan, hingga cerdas dalam menjalin relasi saat masuk ke dalam dunia kerja.
Artikel terkait: Seru! Permainan board game ini bisa melatih kecerdasan sosial emosional anak
Beberapa contoh lain memperkenalkan Nunchi pada anak adalah, sekolah di Korea Selatan biasanya tidak mempekerjakan petugas kebersihan. Hal ini karena, siswa diharapkan untuk bisa bertanggung jawab dalam kegiatan sehari-hari.
Misalnya, membersihkan bekas makan, menyapu dan mengepel kelas, hingga membersihkan kamar mandi. Biasanya, siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk melaksanakan tugas tersebut.
Aksi tersebut juga bisa menumbuhkan Nunchi. Karena siswa jadi bisa menghargai lingkungan dan fasilitas yang ada. Mereka yang menggunakan, maka mereka pula yang bertanggung jawab untuk melestarikan.
“Jadi, konsep Nunchi ini bisa diterapkan dalam semua kondisi, tidak hanya pada individu dan lingkungan sosial. Bertanggung jawab pada lingkungan yang ditempati juga termasuk. Jadi saat mengajarkan Nunchi pada anak, kita juga mengajarkan mereka untuk menghargai segala hal yang ada di sekitarnya,” ungkap Euny.
Artikel terkait: Keterampilan sosial adalah kunci kesuksesan anak, benarkah?
Euny juga menjelaskan, Nunchi merupakan kunci untuk meraih kehidupan yang lebih bahagia dan sukses secara keseluruhan. Ketika seseorang bisa mengamati lingkungan sekitar dengan bijaksana, maka dia pun akan mampu menemukan keputusan tepat untuk kehidupan sukses dan lebih bahagia.
“Jadi, kamu tidak perlu menjadi orang yang paling pintar, kaya, atau istimewa agar bisa sukses dan bahagia. Kamu hanya butuh Nunchi,” tutup Euny.
***
Referensi: CNBC, The Guardian
Baca juga:
Bahaya, ini dampak negatif jika terapkan pola asuh otoriter pada anak