Pandemi telah membuat berbagai perubahan dalam pergaulan manusia. Demi mencegah terjadinya penularan, imbauan pemerintah agar selalu menjaga jarak pun membuat perubahan mendasar dalam cara berinteraksi.
Dampaknya, kedekatan yang selama ini terbangun karena ada sentuhan, gesture, dan emosi yang terlibat dalam sebuah komunikasi pun menjadi berkurang. Tak hanya sampai di sini. Berbagai situasi karena pandemi akhirnya banyak yang memaksa pasangan suami dan istri harus tinggal di lokasi yang berjauhan dalam waktu yang tak sebentar.
Beberapa yang saya temui adalah karena adanya tempat kerja suami atau istrinya ada di luar kota sehingga kebijakan pembatasan sosial membuat mereka tak bisa bersua dengan keluarga seleluasa di situasi tanpa pandemi. Akibatnya, banyak yang secara sengaja atau tidak “terjebak” dalam hubungan jarak jauh dalam pernikahan atau yang disebut orang-orang sebagai LDM atau Long Distance Marriage.
Saya sendiri sudah menjalani LDM sejak lebih dari satu dasawarsa yang lalu. Selama ini saya dan istri menyebutnya sebagai “kehidupan di atas normal”. Bagaimana tidak. Saya sehari-hari bekerja di ibu kota, sedangkan istri tinggal bersama anak-anak di sebuah kota yang berjarak kurang lebih tujuh jam perjalanan darat dari tempat saya bekerja.
Situasi ini praktis membuat waktu saya bersama keluarga tidak lebih dari dua hari dalam sepekan karena saya hanya punya kesempatan pulang tiap akhir pekan. Di kalangan para pelaku, kami menyebutnya aktivis “PJKA” alias Pulang Jumat Kembali Ahad. Pulang ke rumah jumat malam selepas kerja, lalu kembali ke lokasi tempat bekerja di hari minggu atau ahad malam agar senin bisa sampai di kota tempat bekerja.
Tentu tidak ada yang merasa nyaman dengan situasi ini. Namun dari pengalaman saya, ada beberapa pelajaran positif yang bisa saya dan istri dapatkan. Beberapa bisa saya ceritakan di sini.
Artikel terkait: 7 Tips Sukses Menjalani Pernikahan Jarak Jauh (Long Distance Marriage)
Berharganya Waktu Bersama Keluarga
Salah satu momen yang saya rasakan membuat kebahagiaan berlipat ganda adalah titik di mana saya bertemu anak-anak dan istri setelah berpisah beberapa lama. Ibarat berbuka puasa, tegukan pertama segelas air putih saat adzan maghrib datang sudah memberikan kenikmatan yang luar biasa. Begitu juga dengan sambutan wajah sumringah anak-anak yang menyambut ayahnya pulang diiringi teriakan “Ayah pulang!” Sederhana, tapi sangat membahagiakan.
Mungkin di situasi semacam ini pula law of diminishing marginal utility-nya Hermann Gossen bekerja. Hukum ini menyatakan jika pemuasan kebutuhan terhadap suatu jenis benda tertentu dilakukan terus menerus maka kenikmatannya akan semakin berkurang sampai akhirnya mencapai suatu kejenuhan, maka dalam konteks ini kepuasan bertemu orang-orang yang kita sayang setelah lama tak bertemu memberikan kebahagiaan yang lebih besar dibandingkan jika setiap saat bisa berjumpa.
Maka tak heran juga jika ada ahli yang menyarankan terapi “pisah sejenak” untuk mempererat hubungan antara anggota keluarga. Karena saat berpisah akan membuka pikiran kita dan membuat kita menyadari bahwa keberadaan orang di sekitar kita selama ini sangat berharga. Karena itu pula kebersamaan dengan keluarga bagi para aktivis PJKA seperti saya juga jadi terasa sangat istimewa.
Artikel terkait: Long Distance Parenting: Tips kompak merawat anak saat orangtua tinggal berjauhan
LDM, Aku Menjadi Serba Bisa karena Terpaksa
Ujian pisah rumah keluarga kami di setiap senin hingga jumat ini ternyata belum seberapa. Pada suatu waktu, bahkan kami harus berpisah berbulan-bulan. Ketika saya harus menempuh studi pascasarjana di Australia membuat tak mungkin saya menjalani rutinitas PJKA lagi.
Namun ternyata keadaan ini semakin memberi saya lebih banyak lagi pelajaran. Kendala jarak membuat kami terpaksa harus belajar hal-hal yang mungkin jika dalam keadaan “normal” tidak akan kami lakukan sendiri.
Hidup di Australia tanpa keluarga tentu harus memikirkan cara bertahan hidup sendiri. Yang paling mendasar terutama soal makan. Untuk yang satu ini tentu saya tidak bisa menggantungkan nasib pada warteg atau rumah makan padang seperti saat di Jakarta.
Di kota tempat saya tinggal di Australia tempat makan yang sesuai di lidah sangat jarang. Kalaupun ketemu karena pertimbangan harga juga menjadi tidak memungkinkan bagi saya untuk terus-terusan beli makanan jadi. Maka memasak sendirilah satu-satunya jalan.
Seumur-umur baru kali ini saya dipaksa belajar masak. Pernah sih waktu pelajaran tata boga di sekolah menengah, tapi tak banyak ilmu yang tersisa karena memang tak terbiasa masak sendiri. Karena itu hidup sendiri mau tak mau membuat saya kudu belajar dari yang basic. Mulai dari cara potong memotong daging dan sayuran sampai gimana cara menggoreng atau memasak sayur yang pas tingkat kematangannya.
Tak hanya soal eksekusi, keharusan memasak sendiri karena LDM ini pun membuat saya menyadari bahwa sejak tahap perencanaan pun urusan dapur ini sudah bisa bikin pusing. Kenapa? Karena tiap hari kita sudah harus memikirkan besok pagi mau masak apa. Biar nggak itu-itu aja tapi juga bahan bakunya tersedia. Jadi tahu gimana bingungnya istri tiap bilang besok masak apa ya. Hal yang tampak sepele tapi ternyata cukup jadi PR sehari-hari.
Artikel terkait: 7 Tips Pernikahan LDR Agar Suami Istri Tetap Harmonis Nan Romantis
Gemblengan situasi ini pun membuahkan hasil. Jangan overthinking dengan mengira sepulang dari Australia kemudian saya bisa jadi finalis Master Chef ya! Cukup pede untuk jadi asisten bantuin istri di dapur saja sudah merupakan perkembangan luar biasa buat saya. Berbekal kemampuan baru yang mungkin tak akan saya dapatkan jika tak terpaksa keadaan. Jika dalam peribahasa ada istilah “alah bisa karena biasa”, maka untuk kasus saya ini saya jadi bisa karena terpaksa.
Istriku Juga Beradaptasi dengan Keadaan
Efek bisa karena terpaksa selama menjalani LDM ini tak hanya saya alami sendiri. Istri pun mengalami peningkatan kemampuan yang tak sembarangan. Soal mobilitas misalnya. Selama ini kalau ada suaminya di rumah, gampang lah kalau mau bilang “Yah, nanti tolong anterin belanja bulanan.” atau “Yah, di sini hujan, tolong jemput bawa mobil ya.”
Karena waktu itu tak ada saya atau orang lain di rumah maka mau tak mau akhirnya kudu siap pergi sendiri. Ia pun juga harus berani ke mana-mana mengendarai motor dan nyetir mobil sendiri.
Pernah suatu ketika kondisi istri hamil besar anak kedua dan saya masih ada di Australia, maka untuk beberapa situasi saat tidak memungkinkan untuk selalu menggantungkan pada kendaraan umum. Akhirnya yang selama ini istri hanya bisa kendaraan roda dua harus mulai bisa mengendarai mobil sendiri.
Keterpaksaan jugalah yang akhirnya mendorong keberanian istri untuk pergi kemana-mana bersama anak dan asisten rumah tangga untuk nyetir mobil dengan kemampuan yang levelnya “baru bisa” meski dengan kehamilan yang semakin besar. Sesuatu yang hampir tak mungkin dilakukan jika kami lagi serumah. Tak mungkin karena saya pasti tak mengijinkan, di sisi lain tak akan muncul keberanian pada istri karena ada suami yang siap mengantarkan.
Situasi-situasi dalam LDM ini pun belakangan kami sadari memberi kami banyak pelajaran. Saat ada kekhawatiran terhadap masalah yang muncul karena posisi kami yang saling berjauhan, maka semua kembali ke prinsip dasar dalam pernikahan yang berjarak, “alah bisa karena terpaksa”.
Ditulis oleh Sandry Windiharto, penulis UGC Contributor theAsianparent.com
Baca juga artikel dari UGC Contributor lainnya:
Anak Kecanduan Gadget karena Aku dan Suami Sibuk WFH, Ini Cara Kami Mengatasinya