Sebagai perempuan bekerja, berkarya di tempat kerja yang mayoritas pekerjanya laki-laki itu memang memiliki warna-warni dan tantangan tersendiri. Minoritas itu terkadang manis, terkadang meringis. Diperhatikan itu menyenangkan, tapi terlalu jadi pusat perhatian juga tak membanggakan.
Mungkin kalau anak sekolah, karyawati dalam perusahaan mungkin mirip dengan siswi di jurusan teknik mesin yang mayoritas siswanya laki-laki kali ya? Tapi, ini kan di tempat kerja yang notabene digaji. Jadi, mau nggak mau ya harus totalitas dan profesional, bukan?
Jadi, apa saja sih suka dukanya?
1. Penampilan
Sebenarnya soal penampilan itu tergantung pekerjaannya juga sih. Meski satu-satunya perempuan, kalau ternyata bekerja sebagai customer service, mau nggak mau ya memerhatikan penampilan juga. Tapi kalau di lapangan yang notabene harus tahan terik matahari dan hujan, minimal pakai sunblock dan pelindung dari paparan sinar UV saja mungkin sudah cukup.
Nggak harus memakai eyeliner, eyeshadow, perona pipi, dll, yang dipakai total saat kerja di dalam ruangan. Kadang malah kalau dandan dibilang menor lah centil lah caper lah, kalau nggak dandan dibilang tomboi dan kucel. Nah lho, serba salah kan?
Keringat yang berlebihan juga kadang membuat perempuan agak insecure. Namun, karena teman laki-lakinya juga demikian, jadinya nggak perlu terlalu khawatir. Kerja di pertambangan misalnya, ya mau nggak mau perempuan juga harus turun ke lapangan. Pakai helm dan alat standar keselamatan lainnya, sudah cukup. Biar aman, selain sunblock ya pakai lipstik dan bedak biar nggak kucel-kucel amat. Sama seperti laki-laki yang mungkin nggak peduli harus wangi, perempuan di sini juga nggak perlu terlalu memedulikan hal tersebut.
Artikel terkait: Ibu bekerja, lakukan 13 hal ini untuk menyeimbangkan karir dan keluarga
2. Pembagian pekerjaan
Kalau kerja di lapangan, biasanya nggak ada istilah “ini pekerjaan untuk laki-laki saja”, “ini untuk perempuan saja”. Kadang ada pekerjaan yang menuntut baik laki-laki maupun perempuan harus bisa, seberat apapun itu. Jadi asisten tukang bangunan misalnya, ya perempuan harus mau dan mampu juga mengangkat pasir, semen, dll. Saat harus menyopiri truk besar bermuatan banyak, ya mau nggak mau perempuan juga harus bisa melakukannya.
Saya yakin kok, banyak “pekerjaan laki banget” yang bisa dikerjakan perempuan juga. Terlebih kalau sudah dikatakan tuntutan pekerjaan. Namun, ada juga sih pekerjaan tertentu yang biasanya perempuan lakukan seperti membuatkan minuman jika ada tamu. Meski bukan aturan tertulis, pekerjaan ini juga biasanya junior lakukan. Sedih nggak sih, semisal ada junior laki-laki dan perempuan, biasanya perempuan yang disuruh membuatkan minuman, tetapi yang laki-laki mungkin sudah diajak kerja sesuai jobdesk-nya.
Artikel terkait: 8 Kalimat Menghakimi Pada Ibu Bekerja yang Sering Dilontarkan oleh Masyarakat
3. Gaji beda
Kalau ini sih sudah umum terjadi di mana-mana, bahkan di Jepang saja karyawan perempuan hanya menerima sekitar 60-70% saja dari gaji laki-laki. Meski mulai kerja dari waktu yang sama, biasanya karyawan laki-laki akan melesat jauh. Tetapi, tidak semua tempat seperti itu juga, sih. Ada juga tempat kerja yang lebih mementingkan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan dalam hal pembagian besaran gaji karyawannya.
Hanya saja, kalau perempuan mendapat gaji lebih tinggi dibanding laki-laki, pasti sudah menjadi bahan candaan dan sindiran. “Mau buat apa sih, uangnya, kan suamimu juga sudah kerja?” dan omongan lainnya mungkin sudah biasa.
4. Perlakuan istimewa?
Ya kali dapat perlakuan istimewa saat haid atau hamil? Terkadang perempuan juga risih membicarakan haid ini kepada laki-laki asing, apalagi memohon pengertian dan pemaklumannya saat kram perut dan sebagainya. Saat hamil pun, mungkin ada juga karyawan laki-laki yang merasa kesal karena semua pekerjaan berat dilimpahkan padanya karena teman perempuannya hamil.
Banyak kok kisah maternity harrasment yang didapat di tempat kerja. Tetapi, kalau di lingkungan kerja yang pengertian sih mungkin-mungkin saja kalau mendapat perlakuan “istimewa” atau setidaknya tidak sampai membuat pusing kepala deh.
Artikel terkait: Working Moms, Inilah 10 Hal Positif Menjadi Ibu Bekerja
5. Risih dengan kebersihan toilet
Berbagi toilet dan kamar mandi yang sama untuk karyawan laki-laki dan perempuan kadang menjadi “cerita” tersendiri, lho. Bayangkan saja kalau di kantor itu hanya ada satu toilet, dan itu bisa dipakai oleh laki-laki maupun perempuan.
Perempuan pun harus sebisa mungkin menjaga dirinya dengan higienitas toilet itu sendiri. Saat haid misalnya, sebisa mungkin menjaga agar darah nggak tercecer di toilet. Mengelap toilet duduk dengan tisu basah sebelum memakainya. Biasanya perempuan sangat perhatian dengan hal kecil seperti ini.
Agak berbeda sih dengan laki-laki. Lantaran toiletnya bukan toilet khusus laki-laki, terkadang ada saja cairan yang sepertinya itu air kencing tercecer di dudukan toilet. Itupun tak disiram oleh si empunya. Meski geram dan kesal, kadang protes pun memalukan. Serba salah. Maka yang bisa dilakukan adalah menyemprotnya dan saat akan digunakan dilap dulu dengan tisu. Jadi, tisu dan handuk tangan adalah barang yang harus dibawa perempuan saat pergi ke toilet seperti ini. Buat jaga-jaga. Kesel sih sebenarnya.
6. Guyon Seksis diarahkan pada perempuan bekerja
Kalau punya teman karyawan laki-laki yang rese, bisa jadi ia akan dengan mudahnya bercanda seksis sekaligus misoginis. Kalau hanya guyon dan omongan sih masih mending, tapi kalau sudah menyentuh fisik dan mengarah ke pelecehan seksual, tentu hal ini tak bisa dibenarkan. Kalau sudah begini, tentunya sebagai perempuan harus beraksi. Lapor ke atasan, misal.
Mengumpamakan perempuan sebagai babon (ayam betina), atau tubuhnya seperti biola misalnya. “Jadi istri itu ya harus nurut dan menarik, kalau nggak bisa jaga diri ya mending ditukar saja”, “Mau ndobel ya, satu (istri) saja nggak kuat”, “Lagi PMS ya, judes amat?”, “Laki lo ke mana sih, masa kamu disuruh nguli begini?”, dll. Masih banyak sekali contoh lainnya.
Mendengar candaan seperti itu, lama-lama juga akan terasa risih dan jijik, lho. Candaan seksis, tentunya bukan hal sepele juga. Meski dianggap sebagai kelakar dan pencair suasana yang kaku, tetap saja hal tersebut tak bisa dibenarkan. Guyonan seksis itu kuno alias jadul yang sudah nggak cocok di zaman sekarang.
Kadang kalau perempuan protes guyonan seksis ini, bisa jadi malah dibilang baper. “Ah gitu saja marah, baperan deh.”, “Kan bukan ngomongin kamu, ngapain baper?”. Padahal guyon seperti itu jelas-jelas melukai perasaan dan harga diri sebagai perempuan.
“Perempuan bekerja” bagi beberapa orang sudah menjadi masalah tersendiri. Di lingkungan kerja yang normal saja mereka mengalami diskriminasi di mana-mana, apalagi di lingkungan kerja yang mayoritasnya laki-laki. Tentu akan merepotkan, tetapi kalau kita suka dengan pekerjaan itu dan selama nggak terjadi kekerasan di lingkungan kerja, nggak ada salahnya kita tetap bertahan dan bersemangat. Fighting!
Ditulis oleh Primasari N. Dewi, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC lainnya:
Atasi Turunnya Semangat Belajar dengan Edu-Project Bareng Anak, Yuk!
Tak Seindah Drakor, Ini 4 Pengalaman Tak Menyenangkan Saat Solo Traveling ke Seoul