Menjadi Anak Kecil Kembali, Membuatku Lebih Ringan Jalani Peran Sebagai Ibu

Menjadi anak kecil kembali membuatku lebih ringan menjalani peran sebagai ibu.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Menjadi anak kecil kembali? Apa maksudnya? Tunggu... tunggu... tidak usah bingung. Saya akan mencoba menjelaskannya. Setidaknya keputusan ini bisa membantu meringankan tugas saya menjalani peran sebagai ibu.

Parents masih ingat tidak kita ketika kecil dulu, bebas dan bahagia sekali? Apakah perasaan seperti itu bisa dirasakan di situasi sekarang, bisa sebahagia dulu?

Ibu.... Jangan Lupa Bahagia

Setelah menikah dan punya anak, saya seperti memiliki beban dan stress dengan sejumlah tugas yang saya perlu lakukan. Belum lagi mengingat dengan adanya peraturan untuk anak agar dia bisa tumbuh secara maksimal. Menjadi terbaik versi dirinya sehingga bisa membantunya memiliki masa depan yang cerah.

Sayangnya, saya kerap menemukan momen di mana saya merasa kesulitan menghadapi anak. Di usianya yang sudah menganjak 6 tahun, dia sudah memiliki keinginannya sendiri dan bisa memberikan argumen ketika saya berusaha untuk membentuk dia yang saya pikir terbaik buatnya.

Ya, ya.... saya cukup paham bahwa apa yang kita pikir baik buat anak, memang belum tentu yang terbaik. Namun, sama seperti ibu yang lain, saya pun berusaha untuk memberikan yang terbaik.

Tidak jarang, saya merasa sedih sekali. Pikiran bahwa saya menjadi ibu yang gagal terkadang muncul.  Tidak bisa mendidik anak dengan baik. Apalagi ketika melihat anak orang yang begitu penurut dengan ibunya, yang sudah bisa mandiri, yang sangat sopan, saya merasa iri.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Kemudian muncul perasaan bingung,  apa yang salah dengan didikan saya?

Membandingkan anak kita dengan anak orang lain memang tidak baik. Sebab, setiap individu adalah unik. Tapi, bukankah wajar jika tanpa sadar saya membandingkan? Ah, mungkin ini memang sekadar pembenaran saja. Sebagai ibu, saya pun jauh dari kata sempurna, masih terus mejalani proses belajar.

Namun, seiring melihat kelakuan anak saya yang 'semakin menjadi-jadi', saya jadi merasa peraturan yang saya buat tidak efektif. Saya pun mencoba menelaah kembali, apakah selama ini saya terlalu keras dengan anak saya?

Saya benar-benar khawatir. Was-was, sampai bertanya pada diri sendiri, apakah saya sudah bahagia menjadi seorang Ibu? Bagaimana dengan anak saya, jangan-jangan anak saya juga tidak merasa bahagia.

Saya butuh perubahan. Saya pun berdoa menurut kepercayaan saya, dan saya memohon untuk bisa melewati proses belajar ini dengan baik. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Perlahan, saya kemudian menyadari bahwa anak saya bahagia sekali ketika dia melakukan video call bersama temannya. Dia bisa makan dengan lahap dan habis ketika temannya mengajaknya lomba makan di video call.

Yah, maklum sama di era pademi ini, masalah bersosialisai memang jadi sangat terbatas. Anak saya masih belum bisa tatap muka dengan temannya. Jadi hanya terhubung lewat video call.

Hingga pada suatu titik saya menyadari bahwa sebagai orang tak ada salahnya jika sesekali bisa menjadi anak kecil kembali.

Menjadi Anak Kecil Kembali, Merekatkan Hubunganku dengan Si Kecil

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Ya, saya kemudian mencoba untuk berubah menjadi anak kecil di hadapan anak saya, Saya tidak mau menuntut anak saya untuk menjadi apa apa lagi dan berhenti untuk ngomel, hahahahha... Meski sulit, tapi saya terus belajar mengelola emosi dengan baik.

Saya berubah menjadi sesosok teman kecilnya. Mengajak makan dengan tanpa bentakan, mengajak dia mandi tanpa bentakan, seperti layaknya seorang teman kecil. Teman yang mengasikan. 

Kini, saya merasa lebih bahagia ketika saya menjadi anak kecil di hadapan anak saya. Saya lebih bisa mengerti posisi hati anak saya.

Saya mencoba untuk berempati dan menjadi anak saya. Ya, saya pun juga tidak suka diomeli, saya juga tidak suka dibentak-bentak. Saya lebih suka diberitahu dengan diberikan contoh yang saya bisa praktikkan langsung bukan sekadar teori saja.

Bukankah seorang anak memang membutuhkan contoh yang konkret?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Mungkin kadang kala ketika ada masalah di rumah, saya bisa berubah jadi ibu yang stres juga, hehe.

Tapi, saya mencoba setiap saat untuk mengingatkan diriku sendiri bahwa anak juga punya perasaan, harus bisa mengerti perasaan seorang anak.

Menjadi Anak Kecil Kembali dan Menjadi Teman, Tetap Ada Batasan yang Perlu Diperhatikan

Harapannya dengan memosisikan diri sebagai teman, bukan berarti anak diberikan kebebasan untuk berbuat sesuka hati.  Ada batasan batasan yang tetap perlu diperingatkan seperti anak bila bermain pisau, tentu tidak boleh dibiarkan sesuka hati, saya tetap harus mengawasinya dan memperingatinya dengan lembut.

Dengan menjadi anak kecil kembali, saya jadi bisa lebih have fun, tidak ada harus begini dan harus begitu. Mengajaknya makan dengan senang, seperti dengan aturan lomba 1 menit, dalam 1 menit makan 1 sendokan, siapa yang duluan habis, tentu saja saya kadang berpura pura kalah agar anak saya bisa bertambah semangat.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Hal yang terpenting kami bisa menikmati proses belajar. Kalau makan tidak habis dalam 30 menit, tidak apa-apa.  Tapi memang akan ada konsekuensi yang telah kami sepakati bersama. Misalnya, tidak diperbolehkan makan permen atau junk food.

Saya juga terus belajar untuk menambah jurus agar bisa have fun dengan anak, salah satunya saya sering membaca artikel di theAsianparent, saya juga sering terhibur dengan komik yang ada di Instagram theAsianParent.

Saya kemudian sadar, kalau tidak merasa sendiri di dunia mamak mamak yang penuh dengan pancaroba ini. 

Melihat anak saya dan mencoba menjadi anak kecil kembali, saya pun kembali disadarkan kalau anak kecil itu unik. Selalu gampang tertawa dan polos sekali. Tdak begitu banyak keinginan jadi begitu saya menemani anak dengan peran seperti anak kecil, saya jauh lebih mudah mengarahkan dia ke arah yang benar. Saya juga tidak ingin menuntut anak saya lagi dan menggunakan gaya bossy.

Dengan menjadi anak kecil kembali, saya bisa lebih bergembira dengan anak saya saja selagi saya masih ada kesempatan. Setiap anak itu unik, saya harus terus update ilmu parenting seperti yang selama ini saya dapatkan lewat theAsianparent. 

 

*Ditulis oleh Sukwanti, VVIP theAsianparent ID*

 

Baca Artikel Lain dari Member VVIP theAsianparent ID:

id.theasianparent.com/ayah-dan-suamiku

id.theasianparent.com/pengalaman-hamil-dengan-kista

id.theasianparent.com/mainan-mahal-atau-murah