Sebelumnya saya tidak pernah mengira jika saya harus menikah segera karena budaya yang melekat di keluarga. Menikah karena takut dilangkahi. Tapi hal inilah yang akhirnya harus saya hadapi, menikah dengan kondisi psikologis belum sepenuhnya siap.
Saya tiga bersaudara dengan seorang adik perempuan yang manis. Usia saya dan adik perempuan ini memang tidak terpaut jauh, hingga membuat saya harus menikah secepatnya agar tidak dilangkahi adik.
Orang Tua Tidak Ingin Saya ‘Dilangkahi’
Bermula dari keluhan orang tua soal saya yang yang tak kunjung memperkenalkan pacar setelah lulus kuliah. Sementara adik saya sudah berpacaran dengan calon suaminya sejak SMA, dan mereka sudah sangat siap untuk menikah.
Awalnya saya masih santai dan menjawab bahwa tidak apa-apa dilangkahi, buat saya tidak ada pengaruh apa pun karena saya masih takut menjalani komitmen yang saya sendiri belum siap dengan risikonya.
Semenjak itu orang tua saya tidak hentinya menanyakan hubungan saya dengan lawan jenis. Bahkan ayah saya terang-terangan mengatakan tidak mau jika ibu harus menjodohkan saya dengan pria yang tidak saya kenal hanya supaya saya tidak dilangkahi.
Ya, ibu memang sudah menyiapkan beberapa calon jika saya berasalan tidak punya calon untuk dinikahi.
Sebelumnya setiap kawan pria saya datang ke rumah, ibu saya memang selalu menunjukkan gesture tidak senang, hal inilah yang kemudian membuat saya malas untuk bercerita tentang hubungan spesial saya. Ditambah semenjak trauma dan patah hati dari hubungan saya sebelumnya, bagi saya menikah itu langkah besar yang harus dipertimbangkan dengan matang.
Menikah karena Takut Dilangkahi
Bahkan waktu itu, jika saya ditanya kapan punya rencana menikah, saya selalu bilang tidak ada. Bukan tidak mau, namun memang saya hanya ingin Tuhan yang atur semuanya, saya tidak ingin jatuh dalam ekspektasi yang menyakitkan lagi.
Lucunya, saat itu saya malah terjebak dalam kondisi harus menikah secepatnya dikarenakan adik saya sudah ingin menikah.
Namun ternyata orang tua saya cukup serius soal ini, saya sendiri kaget. Beruntung, pasangan saya ternyata juga kalah tidak sabarnya mendengar rencana ini. Ya, justru dia yang paling bersemangat dengan rencana pernikahan kami. Pria ini punya peran lebih besar mewujudkan pernikahan kami lebih dari saya sendiri.
Setahun persiapan nikah adalah hal yang paling absurd buat saya. Orang-orang di sekitar saya begitu bersemangat, sementara saya masih mencari-cari jawaban apakah saya siap.
Saya hampir tidak peduli dengan urusan pernikahan seperti calon mempelai wanita pada umumnya karena saya sendiri belum sampai memikirkan apa yang saya mau di fase itu.
Tanpa saya sadari waktu berjalan cepat, tahu-tahu di malam harinya saya sudah tidur seranjang dengan suami. Di pikiran saya saat itu, apakah langkah ini benar? Harus menikah karena takut dilangkahi, apakah memang wajar dilakukan?
Yang saya rasakan waktu itu adalah mengapa orang-orang di sekitar begitu senang ketika saya ‘diambil orang’. Tidak ada kesan haru, sedih, tidak rela yang saya harapkan. Semua orang tidak terlalu peduli dengan bagaimana kondisi saya di awal pernikahan, yang penting saya sudah menikah, titik.
Mungkin karena setelah itu, fokus berikutnya adalah mengurus persiapan pernikahan adik yang hanya berjeda sekitar satu tahun dari tanggal pernikahan saya. Yang kemudian saya sadari keharuan dan situasi yang saya harapkan ada di pernikahan saya justru ada di pernikahan adik saya. Saya merasa pernikahan saya hanya syarat saja bagi keluarga agar mengikuti adat dan tidak menimbulkan aib.
Saya pun bahkan tidak melewati honeymoon karena segala hal benar-benar tanpa rencana. Tidak terpikir sama sekali karena waktu itu saya masih kaget karena tiba-tiba status saya berubah. Saya heran melihat orang-orang di sekitar saya begitu bahagia, sementara saya hampir belum bisa merasakan apa-apa dengan status saya sebagai istri.
Mulai Belajar dan Menikmati Proses Menjadi Istri
Hari-hari berikutnya saya masih mencoba mencari tahu bagaimana seharusnya menjadi istri. Secara normal saya belajar mengatur keperluan suami, memasak, sekaligus mengurus diri saya sendiri. Padahal ada konflik batin saya pendam dalam-dalam.
Tapi setelah berproses dan berkaca pada hubungan saya sebelumnya, saya tidak merasa keputusan ini salah.
Justru saya merasa beruntung Tuhan merencanakan segala hal begitu cepat hingga saya bisa menjadi seorang istri hingga hari ini. Meskipun saya pernah merasa tidak siap, namun saya mendapatkan suami yang sungguh sabar dan tidak banyak menuntut.
Justru setelah menikah, dengan kondisi saya yang tadinya hidup sendirian di perantauan dan sedikitnya perhatian keluarga, saya menjadi punya keluarga baru yang sangat sayang dan peduli dengan kondisi saya. Semua kekosongan dalam hati saya pelan-pelan terisi, saya sadari benar, hidup saya berubah jauh lebih baik.
Ketakutan-ketakutan saya dalam membina pernikahan pun akhirnya tidak pernah terjadi. Bahkan yang kondisi yang saya bayangkan akan terasa sulit untuk dilewati, kini bisa saya hadapi karena ada orang yang selalu mendampingi yaitu suami.
Menikah terburu-buru karena rasa ketakutan dilangkahi ternyata tidak seburuk yang orang-orang katakan. Justru saya sekarang berpikir, jika hal itu adalah pengorbanan saya demi keluarga maka kebahagiaan saya hari ini adalah balasannya.
Apakah di antara Parents ada yang mengalami hal serupa, menikah karena takut dilangkahi, dan keinginan ini didoring karena keinginan orang tua?
Ditulis oleh Puspa Sari, UGC Contributor theAsianparent.com
Baca Juga:
Lebih Baik Menikah atau Punya Rumah Dulu? Pertimbangkan dengan Matang
Tak Hanya Seks, Jangan Abaikan 8 Rahasia Agar Pernikahan Selalu Bahagia
Menikah Muda karena Takut Zina, Quraish Shihab: "Itu Bukan Solusi yang Tepat"
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.