Apa reaksi Anda saat mendengar suara bom? Terlebih lagi jika kejadian tersebut didengar bersama anak yang usianya masih begitu belia. Takut? Khawatir? Atau perasaan lain yang berkecamuk?
Saat ada dentuman bom di sekitar Anda dan didengar si kecil, bukan tidak mungkian jika akan membuatnya was-was hingga berujung pada trauma. Risiko inilah yang bisa dirasakan oleh ribuan anak-anak yan tinggal di Suriah.
Uniknya, seorang ayah di Provinsi Idlib, Suriah, bisa menemukan cara untuk menghilangkan rasa ketakutan dan trauma pada buah hatinya saat mendengar ledakan bom.
Putrinya, bernama Salwa justru tertawa saat mendengar suara ledakan. Ayahnya yang bernama Abdullah, pun tersenyum senang di sampingnya.
Momen tersebut direkam oleh Abdullah dan dibagikan melalui media sosial. Video singkat itu pun lalu viral karena membuat warganet tersentuh.
Artikel terkait: Sentuhan Ibu, Pulihkan Trauma Ibu dan Anak Korban Gempa di Lombok
Alasan seorang Ayah mengajarkan anak tertawa setiap mendengar suara bom
Sama seperti orangtua lainnya, sebagai ayah, Abdullah merasa bertanggung jawab untuk melindungi buah hatinya. Membuatnya nyaman, dan jauh dari rasa ketakutan. Sementara seperti yang kita tahu, Suriah termasuk ke dalam wilayah konflik.
Dilansir dari BBC Indonesia, sejak Desember 2019, pemerintah Suriah pun sedang gencar penggempur wilayah Provinsi Idlib. Merupakan salah satu benteng pertahanan terkahir kelompok pemberontak.
Alhasil, sekitar 900.000 orang di sana terpaksa harus mengungsi, termasuk keluarga Abdullah. Mereka mengungsi di Saraqib, sebuah kota di sebelah timur Idlib.
Setelah mengungsi, kini Abdullah dan keluarga tinggal di rumah mereka yang berada di Samarda. Sebuah kota yang masih berada di wilayah Idlib. Meski sudah lebih aman dari sebelumnya, suara ledakan bom masih kerap terdengar dan mengelilingi mereka.
Lelaki yang bernama Abdullah a-Mohhamad itu pun menyadari suatu hal. Bahwa anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya akan mengalami rasa takut, bahkan trauma akibat suara bom yang menggelegar. Termasuk buah hatinya yang bernama Salwa.
Oleh karena itu, Abdullah pun mengajarkan Salwa sebuah permainan saat ledakan bom terjadi. Ia memberitahu putrinya tersebut bahwa yang mereka dengar bukanlah bom, melainkan kembang api dan pistol mainan. Kemudian saat mendengar ledakan tersebut, ia pun kerap mengajak putrinya tertawa bahagia.
Abdullah dan sang istri pun lalu memutuskan untuk mengubah suara yang menakutkan tersebut sebagai sumber kebahagiaan. Hal ini dilakukan agar Salwa tidak stress dan takut berlebihan. Serta memberikan anak perempuan tersebut rasa aman di tengah konflik yang terjadi di wilayah mereka.
“Dia tidak mengerti perang. Jadi saya memutuskan untuk mengajari Salwa permainan untuk mencegah kondisi psikologisnya menurun,” ungkap Abdullah seperti yang dilansir dari laman Kompas.
Kondisi psikologis anak di daerah konflik
Wilayah konflik memang rentan menyebabkan trauma pada anak-anak yang tinggal di sana. Reaksi psikologis pada anak tersebut ditentukan dari seberapa besar ia terpapar dampak dari konflik yang terjadi.
Misalnya, apakah ia menyaksikan langsung perang, hidupnya terancam, pernah menyaksikan kematian dalam konflik, atau pun terpapar suara ledakan seperti yang dialami Salwa.
Hal tersebut dijelaskan juga dalam jurnal “Children in Conflict Zones” yang dipublikasikan dalam laman National Institute of Health. Dalam jurnal tersebut menjelaskan, bahwa anak yang terkena dampak konflik secara langsung pun rentan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Gejala PTSD atau gangguan stres pascatrauma di antaranya:
- Permasalahan tidur termasuk mimpi buruk
- Kilas balik dari momen atau keadaan yang membuat ia trauma
- Ketidakmampuan berkonsentrasi
- Mudah panik dan tersinggung
- Obsesif
- Terlalu bersikap berhati-hati
Artikel terkait: Riset: trauma masa kecil mempengaruhi kesehatan saat dewasa!
Upaya mengurangi risiko masalah psikologis
Sebagai upaya mengurangi risiko timbulnya masalah psikologis pada anak yang terpapar konflik perang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan orangtua, yakni:
- Anak perlu didorong untuk mengungkap perasaan mereka. Pasalnya, rasa takut anak biasanya ditunjukkan dengan perilaku regersi. Misalnya, mengisap jempol, mengompol, atau bangun di malam hari. Saat hal itu terjadi, orangtua dianjurkan untuk tidak memahari.
- Orangtua perlu meyakinkan anak bahwa mereka tetap dicintai dan masih bisa merasa aman di tengah konflik yang melanda.
- Orangtua juga perlu jujur pada anak mengenai keadaan yang sebenarnya terjadi. Jelaskan dengan pelan dan tidak menakuti.
- Beri pemahaman pada anak bahwa rasa takut yang dirasakan adalah normal. Ajak dia untuk mengekspresikan perasaannya tersebut melalui menggambar, melukis, atau pun mewarnai.
Artikel terkait: Anak-anak yang menjadi Korban Terorisme dan Trauma yang Akan Menghantui Mereka
Tindakan Adbullah itu juga merupakan salah satu upaya agar putrinya tidak menerima rasa trauma berat akibat konflik yang terjadi. Tertawa saat mendengar suara bom dapat memberikan perasaan aman bagi Salwa. Mengalihkan hal menakutkan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan seperti kembang api.
Abdullah pun mendampingi sang putri, menunjukkan bahwa ia akan selalu ada dan melindunginya.
Tindakan tersebut pun pada akhirnya menerima banyak pujian dari warganet dunia. Ia dan istrinya disebut sebagai orangtua pemberani yang memiliki cara cerdik untuk memberikan rasa aman pada Salwa.
“Tawa dari malaikat kecil ini jauh lebih berati dibanding suara bom yang terdengar,” tutur seorang warganet.
Semoga Salwa dan keluarga tetap diberikan keselamatan dan kesehatan, ya, Parents!
***
Referensi: Kompas, BBC Indonesia
Baca juga:
Riset: trauma masa kecil mempengaruhi kesehatan saat dewasa!