Belakangan ini kita sering disuguhka dengan berita kekerasan dan pelecehan seksual pada anak di bawah umur. Tentunya hal ini membuat kita semakin khawatir pada anak-anak kita. Karena itu sebagai orang tua, Parents harus mulai mencegah perkawinan dan kekerasan anak mulai dari rumah sendiri.
Latar Belakang Tingginya Angka Kekerasan Pada Anak
Dilansir dari data SIMFONI Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, semenjak Januari hingga September 2022 saja sudah ada 17.793 kasus kekerasan. Dengan persentase tertinggi berasal dari kekerasan seksual pada anak. Sungguh mengkhawatirkan ya, Parents.
Dari jumlah data tersebut, ternyata 56% adalah kasus kekerasan pada anak dengan jumlah tertinggi terjadi di usia 13-17 tahun dan 6-12 tahun dengan pelaku kebanyakan orang tua. Jumlah ini meningkat dibanding sebelumnya, data 2021 sebesar 11.952 kasus menjadi 13.651 kasus hingga September 2022.
Tingginya angka kekerasan pada anak ternyata banyak berasal dari kekerasan seksual yang dialami anak.
Anak menjadi mengalami penderitaan fisik, mental, seksual, ekonomi serta sosial yang berkepanjangan. Dan kekerasan seksual sebagai kejahatan serius membutuhkan solusi komprehensif.
Menurunnya perekonomian saat pandemi bahkan menambah angka perkawinan pada anak. Yang seharusnya belum menikah menjadi harus menikah dengan berbagai latar belakang terjadinya perkawinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 melalui hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukkan angka perkawinan anak di 9,23 persen. Walau menurun dari angka 10,23 persen, namun masih termasuk tinggi jumlah tersebut. Target angka perkawinan anak dari pemerintah Indonesia tidak melebihi 8,74 persen pada tahun 2024 dan 6,94 persen pada tahun 2030.
Perlu Parents pahami korelasinya, semakin meningkat angka perkawinan anak maka kekerasan pada anak juga pasti akan meningkat. Karena itu, sebagai orang tua harus bisa mencegah perkawinan dan kekerasan pada anak. Berikut caranya!
3 Cara Untuk Mencegah Perkawinan dan Kekerasan pada Anak
1. Edukasi Kesetaraan Gender
Mengedukasi anak tentang kesetaraan gender ini bisa mulai Parents ajarkan di rumah. Salah satunya adalah hak anak untuk mendapatkan pendidikan tinggi yang setara baik bagi anak perempuan dan anak laki-laki memiliki hak yang sama. Dengan kesetaraan pendidikan dan kesempatan yang sama diharapkan hadir generasi yang cerdas untuk Indonesia masa depan.
Terutama pada anak perempuan, pendidikan dan pemberdayaan sangat penting. Semakin anak bisa mengenyam pendidikan tinggi, maka semakin kecil kemungkinan dia menikah sebelum usia 18 tahun. Dengan dibekali keterampilan dan pengetahuan, anak perempuan akan lebih percaya diri dengan kemampuan mereka. Sehingga bisa memiliki penghasilan sendiri tanpa tergantung orang lain/
Kurangnya kesetaraan gender dalam masyarakat ini seringkali menjadi penyebab banyak masalah di masyarakat, sehingga sangat rentan terjadi kekerasan dan perkawinan pada anak.
2. Ajarkan Anak Ilmu Kasih
Anak adalah cerminan diri, karena itu Parents harus bisa mengisi memori kehidupannya dengan hal yang indah penuh kasih. Faktanya, anak yang dibesarkan dengan kasih sayang akan bisa memberikan kasih sayang juga pada teman dan keluarganya di kemudian hari. Ajarkan anak untuk bersikap baik dan penuh kasih dalam setiap kesempatan, agar dia bisa menghargai orang lain dan lingkungan tempat tinggalnya.
Hal ini termasuk ketika Parents mencoba untuk mengingatkan kesalahan anak, tetap harus dengan lembut. Beritahu mana yang salah dengan baik, agar psikis anak tidak terluka ketika Parents menegurnya.
3. Sinergi Untuk Tolak Perkawinan dan Kekerasan Anak di Lingkungan Sekitar
Sebenarnya, tanpa sinergi banyak orang mencegah perkawinan dan kekerasan anak ini sangat sulit. Ketika Parents sudah berusaha di rumah sendiri untuk menetapkan bahwa tidak akan ada perkawinan dan kekerasan pada anak, namun belum tentu di lingkungan sekitar. Sehingga Parents harus tetap melihat keadaan sekitar, siapa tahu di lingkungan tempat tinggal ada yang mengalami hal tersebut.
Perkawinan anak di bawah umur ini mendatangkan dampak yang serius dari sisi kesehatan anak termasuk meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental, stunting, KDRT, hingga risiko perceraian yang meningkat.
Dengan mengajak lingkungan sekitar maju dalam pendidikan bersama-sama, maka sinergi akan terwujud untuk mencegah perkawinan dan kekerasan anak. Namun hal ini belum cukup, perlu peran serta pemerintah, lembaga dan masyarakat agar bersama-sama bisa mewujudkan kondisi ramah anak tersebut.
Pemerintah dari berbagai level juga harus menanggapi hal ini dengan serius, serta bahu-membahu untuk membuat aturan baku yang mengatur mekanisme pelaporan kasus kekerasan terhadap anak. Kesadaran akan pentingnya kesehatan fisik dan mental anak juga harus dimulai dari kita sendiri, orang tua, dan orang dewasa yang hadir di sekeliling anak dengan dukungan pemerintah.
Program We See Equal, Kerjasama P&G dan Save the Children untuk Mencegah Perkawinan dan Kekerasan Anak
Pada 23 September 2022, P&G yang bekerja sama dengan Save The Children menggelar acara “#BerpihakPadaAnak : Stop Perkawinan Anak dan Kekerasan pada Anak” di SMPN 1 Cibeber, Cianjur, Jawa Barat. Acara yang didatangi oleh 230 orang peserta terdiri dari guru, siswa SMP dan wali murid.
Kegiatan #BerpihakPadaAnak ini berisi kegiatan edukasi interaktif mengenai kesetaraan gender, pencegahan perkawinan anak, serta jenis-jenis kekerasan pada anak-anak.
Saranathan Ramaswamy selaku Presiden Direktur P&G Indonesia mengatakan bahwa Program ‘We See Equal’ merupakan bagian dari komitmen sosial (citizenship) P&G Indonesia dalam mewujudkan kesetaraan dan inklusivitas.
Pernyataan ini didukung oleh Plt. CEO Save the Children Indonesia Dessy Kurwiany Ukar yang mengatakan bahwa sebenarnya kemitraan strategis antara Save the Children Indonesia dengan P&G Global telah berjalan sejak empat tahun terakhir untuk memastikan kesetaraaan gender dan perlindungan anak di Indonesia terwujud.
Program We See Equal ini bertujuan memberikan edukasi kesetaraan gender, termasuk hak pendidikan, layanan kesehatan dan status ekonomi sosial yang sama antara laki-laki dan perempuan. Anak juga akan memiliki rasa aman untuk melakukan aktivitasnya dengan baik.
Ada sebuah testimoni menarik dari Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMPN 1 Cibeber, Ibu Eva Silvia Windari, S.Pd. Beliau menyatakan dengan program We See Equal ini membuat siswanya lebih berani untuk melaporkan tindak kekerasan yang dialami atau mereka lihat. Sehingga anak akan lebih merasa aman dan dilindungi selama belajar di sekolah tanpa harus ada kekerasan.
Psikologi Ayank Irma : Perkawinan Anak Dapat Dianggap Bentuk Pemaksaan Anak
Dalam acara #BerpihakPadaAnak, hadir juga Ayank Irma sebagai Pakar Kesehatan, Psikologi dan Parenting yang mengatakan bahwa perkawinan anak bisa dianggap bentuk pemaksaan bagi anak untuk memikul tanggung jawab secara fisik atau psikologis. Karena sebenarnya, anak masih belum siap secara fisik dan batin dengan kondisi mereka.
Tindak kekerasan pada anak juga membuat hak-hak dasar anak dilanggar. Karena sebenarnya, anak membutuhkan semua lini terutama orang tua untuk kesehatan fisik dan mentalnya untuk menjadi generasi penerus bangsa.
Diharapkan sinergi kemitraan yang dilakukan akan berdampak positif terhadap perubahan hidup anak-anak, sehingga dapat mencegah perkawinan dan kekerasan anak.
Jadi Parents, siap untuk turut serta mencegah perkawinan dan kekerasan anak? Yuk, dimulai dari rumah sendiri dulu mulai sekarang!
Baca Juga :
Menyedihkan, Pelaku Kekerasan Pada Anak Ini Ternyata Ibunya Sendiri