Kisah saya menghadapi penyakit autoimun
Nama saya Harlin, usia 41 tahun. Sebagai ibu dari 3 putra yang beranjak remaja dan guru di sebuah sekolah swasta, rasanya hidup saya baik-baik saja. Ya, selama bisa menjaga kondisi, maka penyakit autoimun yang berdiam dalam tubuh saya tidak akan berulah.
Tidak ada yang tahu pasti apa penyebab seseorang terkena penyakit autoimun. Saya hanya merasakan lemas yang amat sangat dan jantung yang terus-menerus berdebar.
Kondisi ini memang tak membuat saya menjadi pasrah, seperti yang terjadi pada penderita autoimun lainnya yang ingin sehat kembali.
Bermula dari penyakit maag kronis
Semua bermula dari maag kronis yang saya derita sejak tahun 2009. Pada saat yang bersamaan saya juga mempunyai masalah haid yang banyak dan berlangsung selama 2 pekan setiap satu siklus haid.
Hal ini membuat Hb saya rendah, sehingga dokter penyakit dalam menyarankan transfusi darah. Dalam setahun saya menjalani 2-3 kali tranfusi darah.
Akhirnya dokter menyarankan saya untuk tes analisis Hb. Dari hasil pemeriksaan saya dinyatakan memiliki kelainan darah yaitu thalasemia minor.
Sebenarnya penyandang thalasemia minor dapat hidup normal tanpa transfusi darah, seperti penyandang thalasemia mayor. Akibat kondisi haid saya yang tidak normal, saya harus menjalani transfusi darah.
Hal ini tentu tidak lazim, namun pemeriksaan dua orang dokter yang saya kunjungi mengatakan tidak ada masalah dengan rahim saya.
Saya kemudian mencari second opinion dari dokter ahli darah, di samping bisa mendapatkan suntikan zat besi melalui saluran vena sebagai pengganti transfusi darah.
Saya juga dianjurkan untuk kembali memeriksakan rahim agar mengetahui penyebab darah haid yang berlebihan. Ternyata masalah itu diakibatkan oleh adanya myom di rahim.
Untuk mencegah berkembangnya myom dan mengendalikan agar darah haid saya tidak keluar, dokter memberikan hormon yang dapat menyebabkan saya tidak haid selama 7 bulan.
Alhamdulillah, pengobatan yang diberikan dokter ahli darah dan ahli kandungan membuahkan hasil. Hb saya menjadi normal kembali. Rupanya upaya ini tidak berhasil untuk jangka panjang.
Pada bulan Oktober 2011 saya mengalami pendarahan hebat. Akhirnya dokter ahli kandungan menyarankan saya untuk menjalani operasi pengangkatan rahim. Ketika itu, anak bungsu saya baru berusia 5 tahun.
Persis 7 bulan pasca operasi pengangkatan rahim, dokter mengatakan bahwa rasa lemas yang sering saya rasakan merupakan akibat dari serangan penyakit autoimun hipotiroid.
Vonis ini saya dapatkan setelah menjalani serangkaian panjang tes darah seperti yang disarankan oleh seorang profesor, ahli endokrin/hormon. Beliau juga yang membantu saya untuk tetap semangat menjalani hidup.
Mudahkah menjalani hidup sebagai penyandang penyakit autoimun?
Saya tidak terbiasa dengan kondisi tubuh yang lemas seperti ini. Akibatnya saya sempat merasa tertekan. Akan tetapi saya sadar, sebagai ibu, saya tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Anak-anak masih memerlukan perhatian dan kasih sayang saya.
Apalagi karena ayahnya bekerja di luar negeri, sehingga tidak mungkin bisa mendampingi mereka dalam keseharian. Demi anak-anak, saya harus bisa bangkit dan tidak boleh menyerah.
Saya pun tidak bisa mencegah setiap kali gejalanya muncul sebagai reaksi tubuh akibat terlalu capek, kurang tidur atau kondisi tertekan. Gejala berupa rasa lemas ini tidak bisa dihilangkan, walaupun saya sudah mengkonsumsi hormon.
Saya mulai memahami sinyal-sinyal yang diberikan tubuh sebelum gejala muncul. Biasanya yang saya lakukan adalah segera beristirahat dan ngemil.
Seperti ketika sedang berada di dalam angkutan umum, tubuh tiba-tiba terasa lemas. Saya mengatasinya dengan minum dan makan permen. Ya, permen! Sejak mengalami hipotiroid ini, kadang kadar gula darah saya menjadi rendah.
Untuk mengatasi kondisi saya yang sering lemas dan hipoglikemi (gula darah rendah), saya terpaksa mengkonsumsi gula sebanyak 1 kilo untuk 3 hari dan makan lebih dari 5 kali setiap hari.
Alhamdulillah, hal ini hanya berlangsung selama tiga bulan. Dokter sudah memberikan saya terapi hormon tiroid yang harus saya minum setiap hari, seumur hidup!
Hal ini membuat kondisi saya menjadi lebih baik dan sehat. Meskipun rasa lemas datang, saya sudah lebih bisa mengendalikannya dengan cara beristirahat, makan, dan mengatur perasaan.
Saya selalu ingat pesan Prof. Asman, “Make up your soul “ dan, “Di dalam jiwa yang kuat terdapat badan yang sehat”.
Memilih tetap berkarir di luar rumah
Ceria mendampingi buah hati membuatku bisa melupakan penyakit autoimun yang berdiam di tubuhku.
Dengan kondisi tubuh seperti ini saya tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh stres, bekerja di luar rumah memang menyulitkan. Saya pun sempat terpikir untuk resign dari tempat saya mengajar.
Ketika menjalani cuti sakit selama 1 bulan, saya merasa bosan. Pembawaan saya –yang menurut teman-teman—rame dan ekstrovert, tidak cocok berdiam di rumah.
Saya rasa, jauh lebih mudah melupakan sakit ini bila ada yang saya kerjakan dan bermanfaat bagi orang banyak.
Kebetulan saya mengajar di sekolah tempat di mana anak-anak saya belajar. Jadi selain mengajar, saya bisa tetap berada dekat anak-anak dan mengawasi mereka sepanjang waktu.
Sekarang, setelah bertahun-tahun menjalani hidup bersama penyakit autoimun hipotiroid, saya berusaha untuk bersyukur dan menikmati hidup.
Bila dibandingkan dengan yang lain, bukankah saya masih jauh lebih beruntung?
Kisah inspiratif ini sesuai dengan yang dituturkan oleh Harlin Misnawati kepada kontributor The AsianParent.com. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.