Vaginismus. Kata ini begitu asing di telinga Aditya Lazuardi dan Nisa Syahidah. Pasangan suami istri ini baru mengenal dan memahami kondisi vaginismus setelah mencari tahu alasan di balik sulitnya mereka melakukan penetrasi.
“Kondisi ini memang baru kami ketahui setelah menikah. Gejala awalnya, kami selalu gagal saat akan melakukan hubungan intim. Walaupun sudah melakukan pemanasan, bahkan ketika mencoba menggunakan jari, rasa sakit masih tetap dirasakan istri saya.”
Kalimat ini meluncur dari Lazuardi Aditya. Mengawali kisah perjuangannya menemani sang istri, Nisa Syahidah melawan kondisi vaginismus.
Secara eksklusif, kepada theAsianparent, Aditya mengungkapkan bahwa perjalanan untuk mendapatkan buah hati tidaklah mudah. Bahkan, tak lama setelah putrinya lahir, istrinya justru ‘berpulang’.
Masih berduka, dan tengah berproses menyembuhkan luka, Aditya menceritakan kondisi medis yang dialami mendiang istrinya. Di mana almarhumah mengalami kondisi vaginismus yang membuat otot sekitar vagina mengencang dan nyeri ketika penetrasi, hingga bisa membuat sistem pernapasan berhenti sementara.
Kisah Nisa Syahidah, Pengidap Kondisi Vaginismus yang Tidak Lelah Berjuang
Hai Mas Adit, sebelumnya theAsianparent ingin menyampaikan kami ikut berduka. Mas, boleh diceritakan bagaimana perjalanan Mas dan istri untuk mengobati kondisi vaginismus sampai akhirnya istri hamil?
Karena masih saling tabu, kami berdua cari tahu di internet bagaimana hubungan suami istri yang normal. Ketika itu barulah kami tahu ada yang namanya vaginismus. Kami pun research penyakit ini dan qadarullah kami ditemukan dengan dokter Robbi Asri Wicaksono.
Kami dimasukkan ke dalam grup Telegram yang namanya Magnificent Journey. Di grup inilah kami banyak mendapat informasi dari penyintas vaginismus di Indonesia.
Setelah mengetahui lebih detail mengenai penyakit ini, kami mulai mencari beberapa literasi terkait vaginismus. Mulai dari penyebab, pengobatan, terapi, sampai dengan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan.
Dengan biaya yang ternyata tidak sedikit, kami mencoba denial dan memutuskan menghubungi RSIA Limijati. Pihak Rumah Sakit menyarankan kami untuk melakukan pre-admission melalui asuransi yang kami punya saat itu.
Karena satu dan lain hal kantor saya ganti asuransi, Alhamdulillah asuransi yang baru mengcover full. Kami waktu itu dapat jadwal dilatasi di bulan Agustus 2019.
Artikel terkait: Kisah Ibu Muda Berusia 24 Tahun yang Punya 21 Bayi, Kok Bisa?
Apa saja upaya dan pengobatan medis yang dilakukan?
Usai dilatasi dilakukan, permasalahan belum berhenti dan kami harus tetap dilatasi mandiri di rumah. Tantangannya jelas ada, karena rasa sakit tetap ada walaupun memang sudah menurun dan lebih bisa diterima istri saya. Satu tahun kurang menjadi waktu sampai akhirnya kami bisa berhubungan intim dengan normal.
Walaupun sudah sembuh, kami waktu itu nggak langsung promil. Kami sangat ingin menikmati bulan madu yang sempat tertunda. Prinsip kami adalah ingin benar-benar siap punya keturunan nggak hanya ikut-ikutan saja.
Kami ingin ketika anak hadir, kami nggak menyalahkan dia atas kondisi yang kami hadapi. Contohnya, “Karena ada kamu, sekarang bapak dan ibu nggak bisa ini itu, atau boro boro beli baju buat sendiri, buat beli susumu saja udah habis.”
Vaginismus yang dialami istri saya benar-benar mengubah sudut pandang kami. Kami jadi lebih berhati-hati mengambil keputusan, pun menghargai basa-basi orang lain. Kami merasakan betapa nggak enak dapat penghakiman orang lain yang sejatinya tidak tahu kondisi kita.
Terkena COVID-19 dan Lumpuh Saat Hamil
Adit dan istri akhirnya fokus menjalani program hamil pada 2021. Ujian rupanya tidak berhenti, karena saat itu Nisa terkonfirmasi positif COVID-19.
Ketika istri terkena COVID-19 saat hamil, metode pengobatan apa yang waktu itu dilakukan dan apa tantangannya saat itu?
COVID-19 yang dirasakan istri terindikasi waktu istri saya mengeluh nyeri yang menusuk di punggung. Nyeri ini terasa sampai ke dada, saya langsung bawa dia ke UGD rumah sakit terdekat.
Pas dicek detak jantung janin, detak jantung ibunya, tensi, dan kadar oksigen dalam tubuh bagus jadi kami pulang dibekali paracetamol. Tapi, dua hari setelahnya nyeri itu muncul lagi dan saya bawa ke RS lagi untuk ditangani intensif.
Dokter meminta istri minum obat nyeri otot dan datang kontrol seminggu lagi. Hari itu istri sudah tidak merasa sakit, tapi kok kaki mulai kesemutan. Nyeri otot bahkan muncul lagi dan kali ini lebih sakit dan lebih lama.
Akhirnya kami kembali ke UGD RS Prima Medika, karena sudah berulang kali sakitnya dirasakan akhirnya oleh dokter jaga dirujuk untuk rawat inap. Pra syarat untuk rawat inap pada saat itu adalah swab antigen negatif.
Setelah swab antigen dilakukan baru ketahuan kalau istri saya positif. Karena tidak ada gejala COVID-19, kami masih denial. Tetapi ketentuan rumah sakit adalah kami baru boleh masuk kamar rawat kalau hasilnya sudah negatif.
Keluar dari UGD, kami cari lokasi swab PCR kilat. Waktu itu Nisa sudah sangat lemas, bahkan duduk juga hampir jatuh. Setelah ambil sampel, kami lanjut pulang untuk menunggu hasilnya.
Setibanya di rumah, kaki Nisa nggak bisa digerakkan lagi. Kondisinya memburuk karena nyerinya menjalar ke perut. Kami memutuskan cari rumah sakit lain yang menyediakan ruang rawat untuk pasien COVID.
Kami akhirnya diterima di RSUP Sanglah dengan kondisi Nisa sudah tidak bisa merasakan dari dada sampai ujung kaki. Hanya tangan ke atas yang bisa bergerak, itu juga nyeri.
Artikel terkait: Kisah Inspiratif Seorang Kakek Wisuda Bareng Cucu Setelah 70 Tahun Kuliah
Sepanjang perjuangan istri menghadapi kondisi vaginismus, seperti apa dukungan yang Mas Adit berikan?
Support yang saya berikan adalah menjadi tangan dan kaki bagi istri saya. Kondisi hamil untuk orang normal saja begitu berat. Nisa menghadapi kondisi yang sangat berat saat itu, harus terbaring sepanjang hari karena hanya itu yang ia bisa.
Saya harus selalu ada di sampingnya untuk sekadar membolak balik badannya ketika dia tidak nyaman di satu sisi. Memandikan, mengganti pampersnya, mengosongkan selang kateter, mengangkat Nisa dengan hati-hati ke kursi roda untuk makan dan ‘sedikit bergerak’, juga bolak balik ke rumah sakit untuk kontrol kehamilan dan kondisi sarafnya.
Selain support fisik, dukungan secara mental juga sangat dibutuhkan Nisa karena kondisi tersebut sangat memengaruhi psikis kami berdua. Terlebih, Nisa yang berulang kali sudah minta untuk ‘selesai di dunia’.
Nisa merasa tidak nyaman atas dirinya sendiri dan merasa menjadi beban saya dan keluarga. Namun hal itu diungkapkan hanya satu dua kali saja, selebihnya Nisa masih sama seperti yang saya kenal sebelumnya. Masih menjadi pribadi yang optimis dan ceria.
Bagaimana dengan dukungan keluarga dan orang dekat?
Support yang dilakukan keluarga adalah mencoba untuk selalu memfasilitasi apapun yang dibutuhkan. Mereka tidak lupa selalu mencari tahu kondisi penyakit yang selalu berubah. Awalnya Nisa didiagnosis autoimun, namun belakangan diketahui ternyata terdapat mass yang menjepit saraf pusatnya.
Di tengah semua kondisi yang kami alami, baby Cantigi lahir dengan kondisi spesial, lebih cepat 5 hari dari jadwal sectio yang seharusnya. Waktu itu ibunya lagi dimandikan di kursi roda, nggak lama pingsan beberapa kali. Berbeda dengan ibu hamil normal, Nisa nggak bisa merasakan kontraksi.
Alarm yang waktu itu Nisa berikan adalah pingsan berulang, wajahnya juga pucat. Walaupun UGD jadi tempat traumatis untuk Nisa, kami bawa dia ke sana. Benar saja, air ketuban sudah tipis dan janin harus dilahirkan saat itu juga.
Karena Nisa menggunakan pampers, makanya menyulitkan saya membedakan air ketuban dengan air seni. Alhamdulillah, Cantigi lahir sempurna tanggal 16 Oktober 2021. Ibunya masih harus menunggu untuk pulih kurang lebih 24 jam, karena kondisi pascaoperasi membuat tensi ibunya tidak kunjung naik.
Setelah melahirkan, fokus treatment masih dilanjutkan. Kami mengganti dokter dan diminta untuk melakukan MRI ulang dengan kontras karena sudah tidak ada lagi kontraindikasi dengan janin di perut. Hasilnya, ditemukan ada mass di saraf pusat yang membuat Nisa harus dirujuk ke ahli bedah saraf.
Tanggal 22 November 2021, kami membawa Nisa ke ruang operasi di RSPON Jakarta. Malamnya, dokter telepon bilang operasi berjalan lancar dan sudah selesai. Besoknya, saya disuruh datang ke ICU dan dapat kabar Nisa gagal jantung. Di situ, Nisa meninggalkan kami semua.
Artikel terkait: Kisah Anak 8 Tahun Membantu Ibunya Melahirkan dengan Selamat, Mengharukan
Menjadi Panutan Tunggal untuk Cantigi
Selepas kepergian Nisa, Mas Adit mengasuh Cantigi sendirian. Tak bisa ditampik, ia menghadapi banyak sekali tantangan karena harus mengurus buah hatinya seorang diri..
Tantangannya tentu banyak sekali. Tapi yang paling utama adalah sekarang ini saya belum selesai dengan diri sendiri untuk memproses kondisi. Saya perlu banyak waktu dan dukungan semua pihak, bahkan juga profesional untuk melalui momen berduka ini.
Saya khawatir ketika saya paksa diri saya, dampaknya nanti pada si kecil. Sehingga saya harus sangat berhati-hati dalam merawat. Tiadanya sosok ibu membuat saya sering ragu mengambil keputusan.
Memang banyak ibu yang turun tangan mengurus Cantigi, tetapi sering berseberangan dengan keinginan saya walaupun saya tahu maksudnya baik. Saya selalu mencoba mencari banyak informasi dari literatur dan kawan.
Tapi banyaknya informasi membuat saya suka kesulitan juga. Jadi terkadang saya hanya menggunakan feeling seorang bapak saja untuk memberikan mana yang terbaik untuk anak saya.
Tantangan lain adalah saya merasa lebih banyak orang yang jadinya harus saya repotkan. Sebagai seorang Ayah sekaligus karyawan di sebuah lembaga, saya tentu harus bisa berbagi peran. Di awal saya kesulitan. Saat ini saya sudah mulai menemukan polanya, saya berharap ini berdampak baik untuk saya dan anak saya.
Vaginismus merupakan sebuah kondisi yang pastinya tidak mudah dihadapi perempuan dan juga pasangannya. Pesan apa yang ingin Mas Adit sampaikan kepada orang lain di luar sana yang mungkin tengah mengalami hal serupa?
Harapan saya, ketika cerita ini dibaca oleh siapapun nantinya kita tidak lagi awam dan tabu dengan kondisi ini. Pengalaman pribadi yang saya rasakan, banyak pihak yang malah menganggap ini karena soal kurang rileks saja padahal ini kondisi medis.
Bagi penyintasnya, kenali diri sendiri. Jangan mengikuti standar orang lain, kita harus memahami kondisi kita sendiri karena kita yang merasakannya. Berdiri atas rasa yang kita rasakan bukan rasa apa yang diinginkan orang lain. Ketika diri kita mengalami segera cari tahu dan temui orang yang tepat agar mendapatkan penanganan yang tepat.
Bagi pasangan, support pasangan Anda. Itu yang sangat dibutuhkan. Kondisi vaginismus sangat memberatkan penderitanya. Tak hanya fisik yang merasakan sakit, mentalnya juga sangat membutuhkan dukungan.
Bagaimanapun orang yang paling membuat nyaman adalah pasangan, bukan keluarga apalagi dokter sekalipun. Kalau sebagai pasangan kita nggak bisa diandalkan, bayangkan betapa hancurnya perasaan dia.
Bagi yang sedang melalui, tetap semangat. Fokus kepada kesembuhan, dan saya selalu berbagi cerita ke rekan saya yang mengalami hal serupa bahwa kondisi vaginismus ini tidak bisa disembuhkan secara instan.
Semuanya membutuhkan proses dan pastinya harus ekstra sabar. Tidak ada standar batas waktu bisa sembuh, karena setiap orang bisa mempunyai waktu masing-masing.
Parents, demikian kisah narasumber yang kami bagikan semoga bisa menginspirasi Anda semua untuk tetap berjuang.
***
Baca juga:
Kisah Inspiratif Laki-Laki Adopsi 80 Anak Sakit Keras: "Mereka Juga Manusia"
"Keadaan Membuat Kami Belajar Sabar," Kisah Ibu yang Anaknya Microcephaly dan Cerebral Palsy
Kisah Bang Dzoel, Sempat Mau Dibuang saat Lahir Kini Jadi Fotografer Disabilitas yang Mendunia