Beberapa minggu lalu, kita mendengar kabar duka dari Samarinda tantang wafatnya Intan, korban aksi terorisme yang menyerang gereja. Duka dari bumi Pesut Mahakam itu tak berhenti pada soal kasus terorisme, ada persoalan lubang bekas tambang yang telah merenggut nyawa banyak anak yang hingga kini belum diselesaikan.
Nuraeni cemas setelah anaknya tak pulang seharian. Ia berusaha untuk terus berpikir positif tentang anaknya yang tak kunjung pulang.
Terlintas kengerian tentang lubang bekas tambang menganga yang selama ini menghantui para orangtua. Sudah banyak anak-anak tetangganya menjadi korban. Ia tak ingin anaknya jadi salah satunya.
Perempuan yang sudah ditinggal suaminya menikah lagi ini mengingat betapa bergantungnya Ardi dengan ibunya dalam hal apapun. Dari mandi, buang air besar, sampai urusan makan. Kondisi tunarungu memang membuat anaknya mengalami kelambatan masa perkembangan.
Sampai malam hari, Ardi tak kunjung pulang ke rumah. Ia dan warga sekitar sudah mencarinya di segala penjuru kampung. Hasilnya nihil.
Tiga hari kemudian, warga menemukan tubuh Ardi sudah kaku dan penuh lumpur di lubang bekas tambang. Jenazah disambut keluarganya dengan histeris.
“Selama ini saya mengasuh Ardi sendirian. Susah-sudah saya urus, saya perjuangkan, sudah mau pinter anaknya. Sekarang malah meninggal.”
Saat ibunya bekerja, ia biasa main di sekitar rumah bersama teman-temannya. Anak usia 11 tahun ini tinggal tak jauh dari lubang bekas tambang yang berjarak ± 700 meter.
Lubang bekas tambang PT. Cahaya Energi Mandiri. Sumber: Youtube.
Kasus ini pernah dibawa ke pihak kepolisian dan dilakukan visum et reperteum (keterangan dari seorang ahli saat autopsi mengenai sebuah kasus) oleh Polsek Samarinda Ilir. Menurut laman Hukum Online, visum ini bisa dijadikan sebagai bukti dalam pengadilan.
Namun, sejak meninggal pada 25 Mei 2015 lalu, belum ada tindak penanganan dari kepolisian. Bahkan, hingga kini hasil visum belum diberikan.
Ardi bukanlah korban satu-satunya. Dewi Ratna Pratiwi juga meninggal di lubang bekas pertambangan Koperasi Serba Usaha (KSU) Sebulu, kabupaten Kutai, Kertanegara.
Lubang bekas tambang tersebut ditinggalkan begitu saja oleh perusahaan dalam posisi terbuka sejak tahun 2012.
Padahal, jaraknya dari pemukiman warga dan tempat bermain anak-anak hanya sekitar 70 meter.
Jenazah anak usia 9 tahun ini baru ditemukan selama 16 jam setelah ia tenggelam. Lambatnya proses evakuasi dikarenakan peralatan warga yang sederhana. Saat itu, tidak ada Tim SAR yang membantu pencarian korban.
Lubang bekas tambang batubara PT. Insani Bara Perkasa di atas tanah milik Said Darmadi tersebut dibiarkan menganga seperti kolam renang. Tempat ini sering menjadi arena bermain anak-anak karena tidak ada papan tanda larangan untuk bermain di sana sama sekali.
Hal itu membuat Maulana Mahendra dan kawan-kawannya rutin bermain di lubang tambang. Mengingat bahwa kasus anak tenggelam sering terjadi, orang-orang dewasa sudah melarangnya.
Hasrat bermain anak-anak yang ingin menjelajahi semua tempat berujung maut. Hidupnya terpaksa berakhir pada usia 11 tahun.
“Kalau sudah selesai menambang, baiknya perusahaan atau pemilik tanah segera menguburnya supaya tidak makan korban. Kalau ada korbannya, yang jadi korban adalah anak saya, bukan anaknya pemilik perusahaan ataupun anaknya pak Said,” isak Marsinah, ibunda Maulana.
Marsinah menyesali ketidakpedulian para pelaku tambang yang menggali di sekitar pemukiman warga. Ia menyadari bahwa aturan yang dibuat oleh pemerintah tentang aturan lokasi pertambangan telah dilanggar oleh pemerintah sendiri dengan diterbitkannya izin pertambangan.
Perusahaan memang sempat berkunjung ke rumah Marsinah. Mereka memberikan santunan sebesar Rp 500.000,00.
Santunan tersebut ditolak karena ganti rugi lima ratus ribu tidak akan dapat mengobati luka hati atas kehilangan anaknya.
Selain Ardi, Dewi, dan Maulana, data JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Kalimantan Timur, sejak 2010-2015 sudah ada 19 orang anak-anak lain yang meninggal di lubang bekas tambang. Korban tersebar di Kota Samarinda (15 anak) dan Kutai Kertanegara (7 anak).
Halaman selanjutnya: Kegagalan upaya hukum yang dituntut keluarga.
Kegagalan upaya hukum
Kasus Ardi sempat menuai kontroversi. Karena Kapolresta Samarinda Kombes Pol M Setyobudi Dwiputro menyatakan bahwa kasus ini akan dihentikan karena korbannya adalah anak berkebutuhan khusus.
Atas pernyataan Kapolresta pada 31 Desember 2015, JATAM (Jaringan Aliansi Tambang) Kalimantan Timur dan organisasi disabilitas di Kalimantan Timur sempat meradang. Disabilitas mental tak dapat jadi pembenaran atas penghentian sebuah kasus.
Atas desakan banyak lembaga, Polsek Samarinda Ilir yang menangani kasus Ardi menyatakan kasusnya belum dihentikan. Hanya saja, menentukan siapa tersangka dalam kasus tersebut bukanlah hal yang mudah.
Sekalipun tahu bahwa upaya hukum tak dapat mengembalikan anaknya, ibu Ardi berharap setidaknya lubang bekas tambang bisa ditutup agar tidak ada lagi ibu yang harus kehilangan anaknya di lubang tambang.
Kini, kasus Ardi cenderung mandeg. Lubang bekas tambang pun belum ditambal. Luka hati karena kehilangan anak juga belum sembuh.
Dari semua korban tambang baik dewasa maupun anak-anak, belum ada kasus yang terselesaikan. Biasanya, kasus akan terhenti di pihak kepolisian tanpa ada kelanjutan yang jelas.
Hanya ada satu kasus bisa sampai dipenjara walau tidak menyeret pihak perusahaan. Yaitu kasus yang menewaskan Eza dan Ema (6 tahun) yang membuat Yusuf Ambo Rape sebagai petugas lapangan dipenjara selama 2 bulan dan denda Rp 1.000,00.
“Orang tua butuh keadilan. Jika anaknya sudah meninggal, bagaimana dengan pelakunya? Siapa yang harus bertanggung jawab? Ada dua korban anak, namun masa tahanan hanya dua bulan dengan denda hanya seribu rupiah. Ini adalah penghinaan atas kemanusiaan,” ujar Merah Johansyah, koordinator Nasional JATAM.
Ia menambahkan, “Jika kasus terorisme Samarinda bisa mendapat banyak perhatian media sering disebut sebagai penistaan terhadap agama, maka kasus lubang bekas tambang ini adalah penistaan terhadap kemanusiaan.”
Dalam hal tambang di Kalimantan Timur, bukan warga yang mendekati Tambang. Namun tambanglah yang mendekati pemukiman warga.
Lokasi pertambangan
Selain soal aspek hukum, aspek Psikologis keluarga korban, terutama ibu juga harus mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain ganti rugi material, pemerintah hendaknya turut memikirkan rehabilitasi psikologis keluarga korban yang ditinggalkan juga.
Hal tersebut diungkapkan oleh Fitria Lazzarini Latief, M. Psi. Ia menerangkan bahwa kehilangan adalah peristiwa traumatik yang biasa dialami oleh keluarga korban.
“Reaksi atas peristiwa kehilangan anak akan berbeda-beda bagi setiap orang. Ada yang mengalami PTSD (Post Trauma Stress Disorder atau Gangguan Stres Paska Trauma), depresi, maupun mati rasa.”
Psikolog dari Yayasan Pulih ini menjelaskan bahwa reaksi mati rasa justru jadi kondisi yang paling berbahaya. Karena itu adalah pertanda bahwa ia mengalami peristiwa yang sangat traumatis.
Dampak kerusakan lingkungan
JATAM Menilai bahwa pemerintah telah over dosis dalam memberikan perizinan pada perusahaan tambang. Sehingga 70% daratan Kalimantan Timur digunakan untuk usaha pertambangan.
Padahal UU NO. 26 tahun 2007 menyebutkan bahwa penyediaan ruang hijau sebuah kota harus minimal 30% dari luas wilayah. Saat ini, pemerintah Kaltim hanya memiliki ruang terbuka hijau sebanyak 5% dari total keseluruhan wilayah yang ada.
Banyak perusahaan yang tidak mengindahkan aturan yang dibuat oleh pemerintah terkait reklamasi lubang bekas tambang. Misalnya yang terjadi pada PT. Multi Harapan Utama di Kutai Kertanegara yang menjadikan lubang bekas tambang sebagai keramba ikan.
Beberapa perusahaan bahkan membuat lubang bekas tambang sebagai tempat pariwisata sehingga anak-anak sering berenang ke sana. Air bekas tambang juga dialirkan ke rumah warga melalui pipa dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
Padahal lubang bekas tambang tersebut mengandung zat berbahaya yang dapat menyebabkan kanker dan penyakit berbahaya lainnya. Belum lagi kualitas udara di sekitar tambang batu bara yang sangat buruk.
Bahkan, pada tahun 2013, tercatat ada 8 sekolah di Kutai Kertanegara yang terkena dampak debu tambang batubara. Selain harus menghirup polusi debu tambang, anak-anak sekolah juga harus membersihkan kelas setiap hari dari debu di musim panas dan lumpur di musim hujan.
JATAM menemukan bahwa dari seluruh sampel air di lubang tambang yang ada, rata-rata mengandung derajat keasaman (pH) 3,2 ppm, artinya air tersebut bersifat asam dan berbahaya.
Ada persoalan hukum, alam, keamanan, kemanusiaan, hal yang masih diabaikan oleh pemerintah maupun perusahaan. Bahkan, tidak pernah ada pemulihan psikologis pada para keluarga korban yang kehilangan anaknya.
Setiap kali ada korban jatuh di lubang tambang, keluarga korban dipaksa mengingat kembali luka lama akibat kehilangan anaknya. Kini, keluarga tetap menunggu upaya hukum berjalan untuk penegakan keadilan.
Para orang tua korban masih menunggu kejelasan kasus ini. Bukan untuk menuntut ganti rugi, tapi untuk memutus rantai kesedihan atas korban yang terus berjatuhan.
Baca juga:
Anak-anak yang menjadi Korban Terorisme dan Trauma yang Akan Menghantui Mereka
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.