Pernahkah Anda mendengar kisah bapak rumah tangga? Mungkin di masa sekarang, sudah banyak laki-laki yang berperan sebagai bapak rumah tangga.
Sementara berbeda dengan zaman dulu, stigma ayah sebagai si pencari nafkah lebih tertanam dalam masyarakat kita. Sedangkan ibu, tempatnya di rumah. Mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga.
Faktanya, pandangan ini pun kian bergeser. Tidak sedikit pasangan suami istri yang berbagi peran bahkan bertukar peran. Suami di rumah, istri menjadi pencari nafkah tunggal. Istilah ini juga dikenal sebagai breadwinner.
Bagi kaum laki-laki, menjadi bapak rumah tangga bukanlah pilihan. Laki-laki secara umum tidak pernah mendapatkan pengajaran sejak dini bagaimana menjadi bapak rumah tangga yang baik layaknya yang diajarkan kepada kaum perempuan: mengurus rumah serta melayani suami dan anak.
Sejak awal, laki-laki memang cenderung dididik dan dibesarkan untuk menjadi bapak di masa depan yang mampu mencari nafkah dengan bekerja di kantoran atau membangun sebuah bisnis.
Tapi tidak dengan 3 kisah bapak rumah tangga ini. Meski mereka juga tumbuh dengan stigma di atas, dalam perjalanannya kini mereka hidup dengan status bapak rumah tangga –di mana istri-istrinya bekerja kantoran dan memercayakan sebagian besar urusan domestik dan anak kepada mereka.
Memang tidak semua dari mereka yang dengan sukarela melakukannya, ada juga yang karena paksaan keadaan. Namun demikian, kemudian mereka melakukannya dengan bahagia.
Yuk, simak kisah mereka berikut ini!
3 Kisah Bapak Rumah Tangga, dari Terpaksa Hingga Terbiasa
Jika Peran Ayah dan Ibu di Balik, Mengapa Itu Kemudian Menjadi Salah?
“Sebelum berumah tangga, saya dan istri (waktu itu masih pacaran) bekerja di perusahaan yang sama. Menjelang hari pernikahan, kami memutuskan dia yang bertahan di perusahaan itu dan saya yang resign karena posisi dia di sana lebih menjanjikan. Tak lama setelah resign sebenarnya saya sudah langsung diterima di perusahaan lain. Tapi saya hanya bertahan di perusahaan itu beberapa bulan saja lantaran jarak rumah kami (masih mengontrak waktu itu) dengan kantor saya jauh sekali. Sedangkan kalau kami pindah rumah ke dekat kantor saya, kasihan istri. Sejak itu saya terus apply lamaran kerja ke beberapa perusahaan, tapi belum ada yang jodoh. Hingga kemudian istri saya hamil dan melahirkan. Saat cuti bersalin istri habis dan ia mulai kembali kerja lagi, sementara anak kami saya yang mengurus.
Sesekali ibu saya datang ke rumah untuk mengecek kondisi saya dan bayi. Beberapa teman saya tanya, orangtua kami juga, apa saya kesulitan mengurus bayi sendirian. Awalnya saya pikir juga saya akan kesulitan. Ternyata enggak. Secara alamiah saya mampu mengurus semua: mengganti popok dan pakaian, memberi ASI, menghangatkan ASI, dan lain sebagainya. Kalau untuk memandikan, sampai usia anak kami 6 bulan masih istri dan ibu saya yang melakukannya. Soal pekerjaan, saya masih terus cari, tapi mungkin tidak seintens dulu. Dari sebelum menikah saya memang suka terima order desain dan cetak kaos. Jadi itu usaha kecil-kecilan saya sekarang sambil mengurus rumah. Memang sih penghasilannya masih jauh dibanding penghasilan saya dulu. Tapi kalau dipikir-pikir ini sama saja jika dibandingkan saya bekerja tapi saya harus mengeluarkan biaya untuk ongkos, makan di luar, dan biaya pengasuh anak. Saya nikmati apa yang Tuhan beri saat ini. Kami tidak pernah merasa kekurangan. Istri saya malah jauh lebih senang dan bahagia dengan saya tidak bekerja. Mungkin kalau istri yang lain sudah mengamuk tahu suaminya tidak bekerja. Hahahahaha…. Selama ini ayah memiliki citra sebagai pencari nafkah, ibu di rumah mengurus anak. Kalau kemudian peran itu dibalik, mengapa itu kemudian menjadi salah?”
(Samuel, 29 tahun)
Artikel terkait: 8 Kisah Anak yang Diadopsi Artis Indonesia, Siapa Sajakah Mereka?
“Saya Enggak Peduli Pikiran atau Omongan Orang”
“Saya bekerja hanya sampai sekitar 2 tahun setelah saya dan istri menikah. Istri saya seorang guru di sebuah sekolah swasta. Saat itu saya berhenti karena memang kontrak kerja saya sudah selesai dan saya menolak memperpanjangnya. Kebetulan saya memang bukan tipe orang yang senang bekerja di dalam sebuah kooporat. Istri saya tahu sekali tentang hal ini, dan ketika saya memutuskan untuk buka usaha di rumah, dia setuju. Keluar dari pekerjaan, saya kemudian membuka usaha servis barang elektronik, dari mulai alat rumah tangga, laptop, hingga smartphone. Saya memang punya talenta di bidang ini yang saya pelajari mendalam secara otodidak. Untuk membuka usaha ini bisa dibilang saya tidak mengeluarkan modal sepeser pun. Semua alatnya saya sudah punya. Soal promosi dan pelanggan, saya juga sudah punya, mereka saudara dan tetangga sendiri. Memang sejak dulu orang-orang di sekitar saya sudah tahu keahlian saya ini dan hampir setiap hari ada saja dari mereka yang datang ke rumah untuk membetulkan sesuatu. Sekarang bedanya, saya jadikan ini usaha, dan bayarannya pun sudah bukan ‘Terima kasih’ lagi. Hehe…
Modal saya yang paling besar saat itu adalah keberanian dan keyakinan. Yakin kalau yang saya lakukan adalah sesuatu hal yang benar.
Setelah itu saya tanya istri saya dulu, apakah dia akan malu jika punya suami yang tidak bekerja (kantoran)? Ketika saya merasa benar dan istri menganggap ini sesuatu yang baik, saya enggak peduli pikiran atau omongan orang. Dengan saya bekerja di rumah, otomatis urusan rumah tangga dan anak saya yang urus. Beberapa hal yang tidak bisa saya urus, seperti mencuci pakaian dan makanan anak, istri yang kerjakan. Kami menjalankan rumah tangga ini secara gotong royong. Yang namanya bertengkar soal uang itu pasti pernah. Bohong kalau saya bilang kami tidak pernah bertengkar soal itu. Tapi balik lagi, kami kemudian berpikir, kalau sesungguhnya kami semua –saya, istri, dan anak-anak- ‘bekerja’ untuk bisa menjalankan pernikahan dan rumah tangga ini. Anak-anak kami juga sudah lebih besar sekarang, keduanya laki-laki usia 11 dan 6 tahun. Mereka sudah bisa mengerjakan urusan pribadinya masing-masing. Dengan begitu saya dan istri juga bisa lebih fokus ke pekerjaan kami. Intinya, kami bahagia –terutama saya dan istri- karena sejauh ini kami masih bisa menjalankan passion kami masing-masing. Itu, sih, yang penting! Enggak disangka pandemi justru membuat usaha saya semakin berkembang. Di awal pandemi banyak orangtua yang mengeluh karena harus membayar biaya internet keluarga hingga lebih dari 1,5 juta setiap bulan. Akhirnya saya berpikir untuk membuka layanan jasa berlangganan Wi-Fi. Sekarang pelanggan saya sudah ada 60 rumah. Tapi meski begitu, masih ada saja kok orang yang menganggap saya pengangguran. Hahaha…”
(Gideon, 37 tahun)
Kisah terkait: Kisah Keluarga Donald Trump: dari Migran Sampai Jadi Penguasa Properti Amerika
Kisah Bapak Rumah Tangga: Sempat Down, tapi Kemudian Legowo dan Cuek
“Menjadi bapak rumah tangga bukan pilihan bagi saya dan istri, melainkan kondisi yang memaksa. Saya baru menjadi ‘bapak rumah tangga’ sekitar 7 bulan ini. Di awal pandemi, saya salah satu karyawan yang terkena PHK dari perusahaan tempat saya bekerja. Saya juga belum merasakan susah-senangnya menjadi bapak rumah tangga, karena meski anak sekolah dari rumah, istri juga masih work from home. Selain mengurus pekerjaan kantornya, istri masih mengurus urusan domestik sekitar 60 persen, sisanya saya. Kami punya cara sendiri dalam membagi pekerjaan rumah tangga. Misalnya, jika istri memasak, saya yang menyiapkan makanan di meja dan mencuci piring. Usai istri mencuci pakaian, saya yang menjemurnya. Sepulang istri belanja, saya yang membereskan belanjaan dan menempatkannya di tempatnya masing-masing. Dan selama pandemi ini pula saya merasakan mengurus anak kami (usia 4 tahun) secara penuh. Seumur-umur saya tidak pernah mengurus urusan domestik seperti ini, saya pikir ini cara yang tepat untuk saya bisa cepat belajar. Di sisi lain, istri memang tidak bisa sepenuhnya mengerjakan segala sesuatu hingga selesai, karena ia juga harus membagi waktu untuk mengurus pekerjaan kantornya. Ditambah selama pandemi pun kami sudah tidak punya asisten rumah tangga.
Di masa pandemi ini sulit bagi saya mencari pekerjaan baru. Jika memang ada kesempatan bekerja lagi nanti usai pandemi, tentu akan saya ambil. Namun jika belum –kemungkinan ini sudah saya diskusikan juga dengan istri- kami tetap berusaha dan sementara itu saya harus legowo mengurus rumah.
Karena dengan kondisi hanya istri yang bekerja, konyol rasanya jika kami memaksakan diri membayar jasa asisten rumah tangga. Saya bersyukur istri saya begitu pengertian dan terus membesarkan hati saya. Jujur, kondisi saya yang sekarang ini sempat membuat saya sangat down. Tidak mudah bagi saya yang terbiasa menghasilkan uang setiap bulan, harus menganggur. Ditambah, hampir setiap bulan istri memberi ‘tugas tambahan’ kepada saya agar saya menawarkan produk jualannya ke teman-teman saya. Tugas ini yang paling berat, sebenarnya. Produknya itu produk perawatan dan kecantikan wanita (salah satu brand MLM), sedangkan saya harus menawarkan ke teman-teman yang mayoritas laki-laki. Di awal-awal saya tidak punya mental untuk memulai menawarkan ke teman, tapi lama kelamaan saya cuek. Yang saya pikirkan saat itu, mau dibeli atau tidak, terserah lah! Yang penting sudah saya coba. Saya lebih tidak enak melihat respon istri kalau saya menolaknya. Sekarang saya sudah bisa lebih menikmati kondisi saya. Meski kadang ada waktu di mana kami sangat susah, istri selalu punya cara untuk kami bisa melewati situasi itu dengan mudah. Saya belajar banyak darinya. Sepertinya saya sudah lebih siap dengan kemungkinan apapun yang akan kami hadapi ke depannya nanti. Semangat!”
(Eldric, 34 tahun)
Lewat 3 kisah bapak rumah tangga di atas, setidaknya bisa memperlihatkan bahwa pasangan suami istri memang idealnya bisa saling mendukung dan menjadi partner dalam semua kondisi. Semoga bisa menginspirasi, ya!
Artikel terkait: Kisah Hidup Chef Renatta, Pernah Terbakar saat Masak Hingga Ditolak Kerja
Baca juga:
"Konflik dengan ipar membuatku bertengkar dengan suami," cerita seorang istri
"Sayangi istrimu, apalagi saat dia sedang hamil," curhat suami dan ayah satu anak