Hanya butuh waktu dua minggu untuk mengubah kehidupan Ayu Oktariani selamanya. Saat itu, di tahun 2009, suaminya sakit keras dan pemeriksaan menunjukkan bahwa suaminya positif sebagai pengidap human immunodeficiency virus atau HIV.
Saat vonis tersebut dijatuhkan oleh dokter, ia turut melakukan pemeriksaan. Dari sana diketahui bahwa dirinya juga positif tertular HIV.
Ayu bercerita bahwa suaminya memang memiliki riwayat sebagai pecandu Narkoba dan Zat Adiktif lain (NAPZA) di masa sekolah dulu, “nampaknya kami sudah terinfeksi sejak lama. Namun baru mengetahui saat kondisi suami sudah terlambat,” sesalnya.
Rentang waktu dua minggu setelah dinyatakan sebagai ODHA (orang dengan HIV/AIDS) itulah, ia kehilangan sang suami untuk selamanya. Mendadak, ada beban sangat berat yang harus diemban karena ia mesti sanggup menanggung hidup anaknya sendirian.
Itu pun belum termasuk dengan stigma negatif yang diberikan masyarakat untuk keluarga. Terutama saat mengetahui bahwa sang suami meninggal karena HIV/AIDS.
Namun, ia bertekad untuk bangkit. Ayu merasa bahwa anak dan orangtuanya adalah sumber kekuatan untuk terus maju ke depan dan melanjutkan hidup dengan lebih baik.
Bangkit dari kesedihan
Melalui video kampanye lembaga PBB untuk Wanita di Asia Pasifik, Ayu menceritakan sulit stigma yang menimpa seorang pengidap HIV, bahkan dari tenaga medis sekalipun.
“Suster saya dulu menceramahi dengan keras, ‘jangan nikah lagi ya mbak, jangan punya anak, nanti akan menulari penyakit’ dan ceramah yang lainnya,” kenang ibu rumah tangga ini.
Sampai pada akhirnya, ia memperoleh pekerjaan sebagai Pendamping Sebaya. Sebuah yayasan yang berfokus pada masalah sosial, kesehatan dan ekonomi masyarakat.
Dengan pekerjaannya tersebut, ia bisa memberi pendampingan pada pengidap HIV yang baru saja terinfeksi. Pendampingan tersebut berfungsi untuk memberikan pendidikan dan penguatan mental pada sesamanya.
Selain itu, ia juga tak segan mengoreksi tenaga medis lainnya yang memberikan informasi keliru maupun bertindak diskriminatif pada pasien HIV.
Tak hanya soal semangat hidup. Secara fisik pun, ia kini merasa sehat seperti orang biasa lainnya tanpa kekurangan suatu apapun. Aktivitas yang ia jalani pun juga normal seperti orang lainnya.
Keadaan ini sangat disyukurinya karena dengan begitu ia bisa terus mengedukasi masyarakat seputar HIV. Karena ia adalah bukti bahwa pengidap ODHA bisa hidup baik-baik saja.
Kondisinya kini dibanding dengan 8 tahun lalu memang sudah jauh lebih baik, “Kalau 8 tahun yang lalu sih, tentunya secara fisik ada perubahan ya… Jadi kurus karena saat itu saya sakit yang diakibatkan beberapa infeksi penyerta seperti TBC,” kenangnya.
Dengan penuh kesadaran, ia paham bahwa ada hal lain yang harus ia lawan selain stigma negatif di dalam masyarakat seputar penyakit HIV, “Misalnya menjaga komitmen patuh untuk terapi Anti Retroviral (ARV), yang dikonsumsi ODHA seumur hidup. Selain itu, harus konsisten menjaga pola hidup sehat. Kelihatannya sih sepele ya, tapi sulit juga menjalaninya.”
Pengidap HIV juga bisa menikah dan punya anak
Tekad Ayu untuk hidup normal dan memperoleh hak yang sama di masyarakat memang tak main-main. Berbeda dengan yang dikatakan susternya dulu, dengan tegas ia menyatakan bahwa ODHA pun berhak punya pasangan, merencanakan kehamilan, bekerja, dan sebagainya.
Berbekal pengetahuan yang matang seputar hal tersebut, Ayu berani menjalin hubungan dengan lawan jenis dengan keyakinan bahwa ia tak akan menulari pasangannya. Apalagi, lelaki yang kini menjadi suaminya adalah seorang non ODHA.
“Kebetulan suami saya bukan orang yang awam HIV, walaupun dia negatif (tidak terinfeksi HIV) dan tidak ada dalam lingkaran komunitas HIV, namun sedikit banyak sudah memahami persoalan HIV secara mendasar,” terangnya.
Ia mengungkapkan, sejak awal mereka saling mengenal, ia dan suaminya sudah tidak merasa asing lagi dengan persoalan HIV, “cukup memberikan pemahaman lebih mendalam jika memang ternyata kita akan menikah dan kompak memikirkan seputar program perencanaan punya anak.”
Ayu juga merasa bersyukur bahwa keluarga suaminya juga tidak terlalu sulit dalam menanggapi hal ini. Sekalipun ia mengakui bahwa masih ada keluarga besarnya yang belum tahu bahwa ia adalah pengidap ODHA.
“Yang pertama, sejak awal non ODHA yang akan menikahi ODHA harus tahu betul bahwa yang akan dinikahnya adalah seseorang yang terinfeksi HIV,” terang Ayu ketika ditanya tentang tips berpasangan dengan cara yang sehat dengan pengidap ODHA.
Ia melanjutkan bahwa pasangan juga wajib mengetahui tentang dasar penularan, pencegahan seperti wajibnya penggunaan kondom saat berhubungan seksual. Lebih jauh, ia menekankan pentingnya untuk melakukan program tertentu saat ingin memiliki keturunan. Jangan lupa untuk saling mengingatkan tentang kewajiban konsumsi ARV pada mereka yang terinfeksi HIV.
“Yang utama sih, setiap pasangan harus sama–sama untuk saling mengingatkan apa yang penting untuk diketahui dan diwaspadai. Yang paling utama adalah komunikasi dan keterlibatan kedua belah pihak dalam rumah tangga,” sambungnya.
Jika ODHA ingin program punya anak pun, semua petunjuknya sudah tertuang dalam aturan khusus tentang Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) yang semestinya sudah di sosialisasikan oleh kemenkes melalui dokter dan suster di rumah sakit dan puskesmas rujukan HIV tersebut.
Ayu menekankan bahwa yang paling utama diperhatikan saat program hamil dengan pasangan yang salah satunya pengidap HIV adalah sebagai berikut:
- Mengkonsultasikan kepada dokter, konselor, atau dokter kandungan jika ingin program. Jangan sampai keinginan untuk program hamil tersebut dilaksanakan tanpa mengecek kondisi pasangan.
- ODHA wajib untuk mengkonsumsi ARV, untuk menekan jumlah pertumbuhan virus di dalam darah. Guna mengembalikan kondisi kesehatannya serta untuk mencegah penularan kepada pasangan/anaknya nanti. Konsumsi ARV ini berlangsung seumur hidup. Tidak hanya saat program hamil semata.
- Jumlah CD4 (sel kekebalan tubuh) dan viral load (jumlah virus HIV), harus sesuai dengan standar yang ditetapkan, serta tidak memiliki infeksi menular seksual lainnya.
Selain itu menurut Ayu, meskipun terinfeksi HIV, seorang ODHA harus memiliki pegangan yang kuat, bahwa ia memiliki hak yang sama sebagai manusia normal lainnya. Sehingga, alangkah baiknya sebelum meminta masyarakat untuk tidak memberikan stigma atau diskriminasi karena status kesehatan, hal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah adil terhadap diri kita sendiri.
Hidup untuk mengedukasi sesama
Di Indonesia, angka pengidap HIV/AIDS terbesar dipegang oleh para ibu rumah tangga. Kebanyakan, ibu tersebut tertular HIV/AIDS dari suaminya yang ‘jajan di luar’. Tribun News Jogja menulis bahwa ada hal ironis di dalam penyebaran virus HIV ini.
Diantaranya adalah fakta bahwa bahwa kelompok paling rentan terhadap HIV/AIDS justru ibu rumah tangga, bahkan, ibu yang bekerja pun angkanya jauh lebih rendah. Kebanyakan, ibu rumah tangga berperan sebagai pengidap pasif, yaitu mereka yang tertular dari pasangan tetapnya.
Padahal, awalnya orang akan menduga bahwa prosentase tertinggi akan dipegang oleh Pekerja Seks Komersial (PSK). Data ini belum mengalami perubahan yang signifikan sejak tahun 2014 sampai sekarang.
Mengenai hal ini, Ayu berharap bahwa kelompok rentan tertular HIV/AIDS ini hendaknya sering melakukan pengecekan kesehatan seperti layaknya medical check up biasa. Jangan sampai, pengidap HIV mengetahui bahwa dirinya terinfeksi setelah adanya banyak komplikasi penyakit di dalam tubuhnya.
“Dalam konteks Ibu Rumah tangga, sebaiknya sebelum menikah atau kalau sudah terlanjur menikah sebaiknya setiap pasangan melakukan pemeriksaan HIV. Bukan hanya perempuannya saja, tapi kedua belah pihak,” ia melanjutkan, “hal ini sebagai bentuk pencegahan. Jika diketahui positif segera diobati, dan jika hasil negatif, tetap dipertahankan seperti itu,” jelasnya.
Apalagi, kondisi terkini memungkinkan seseorang untuk mengakses kesehatan yang ramah pada ODHA. Hal itu dikarenakan pemerintah -dalam hal ini kementerian kesehatan- telah menyediakan Rumah Sakit dan puskesmas rujukan khusus untuk persoalan HIV AIDS di seluruh Indonesia.
Ayu mengingatkan bahwa persoalan ramah dan tidak ramah itu kembali lagi kepada si penyedia layanan kesehatan serta tenaga medis, “memang ada beberapa RS/PKM (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang masih tidak ramah terhadap ODHA. Jutek ketus bahkan diskriminatif. Tapi biasanya hal itu hanya terjadi pada orang perorang,” paparnya.
Ia menambahkan, “Ya, mungkin tenaga medisnya masih harus belajar lagi bagaimana memberikan pelayanan yang baik tanpa membeda-bedakan status kesehatan dan penyakitnya apa. Hal lain yang juga perlu diperhatikan, banyak teman ODHA yang sangat sensitif dengan privacynya, jadi cenderung menutup diri dan (kebalikannya) tidak ramah sama petugas kesehatan..”
Menurutnya, antara tenaga kesehatan dan para ODHA baiknya sama-sama introspeksi diri bagaimana menciptakan layanan yang ramah dan nyaman dengan kehadirannya.
Ayu juga menegaskan bahwa ODHA harus menyayangi dan memperhatikan dirinya. Seorang ODHA juga harus membuktikan minimal pada dirinya bahwa HIV tidak akan membuatnya lemah, atau bahkan tidak akan membuatnya menjadi lebih hina daripada mereka yang tidak memiliki HIV.
“Meskipun hidup dengan virus HIV, kita juga tetap bisa melakukan sesuatu bahkan melakukan lebih banyak kebaikan kepada orang lain. Love your self!“
Menurutnya masyarakat Indonesia, harus lebih banyak belajar mengenai makna toleransi dan keberagaman. Ia mengingatkan bahwa di negara Indonesia kita hidup dengan beragam manusia dengan berbagai macam suku, bangsa, agama, ras, bahkan penyakit.
“Saling menghargai, dan bisa hidup rukun bersama–sama itu sudah hal paling sederhana yang bisa dilakukan oleh masyarakat,” ujarnya.
Hal lain yang juga penting adalah masyarakat indonesia perlu lebih banyak membaca dan mencari tahu mengenai informasi HIV/AIDS atau bahkan kesehatan seksual reproduksi yang selama ini dianggap tabu.
“Ajarkan diri kita, keluarga kita serta anak anak kita, tentang bagaimana pentingnya melindungi diri, dan menyayangi diri sendiri. Jangan jadi masyarakat yang abai dan cuek,” saran Ayu dengan penuh semangat.
Hidup dengan pikiran positif adalah prinsip hidup yang selalu dipegang oleh Ayu sehari-hari. Sehingga perlakuan diskriminatif atau musibah lainnya tak pernah ia ingat sebagai sesuatu yang buruk. Ia menilai bahwa hal itu hanya akan mengalirkan energi negatif saja ke dalam kehidupannya.
Ia merasa bahwa setiap tantangan yang hadir di dalam kehidupannya adalah sesuatu yang harus disikapi dengan pemikiran yang jernih dan tenang. Sehingga hal tersebut tidak membuatnya larut dalam pengalaman–pengalaman yang menganggu kehidupannya kini dan di masa depan.
“Mungkin karena pada dasarnya saya cheerful ya, jadi kalau ada masalah. Tidak sampai butuh waktu lama setelah diselesaikan, saya harus segera move on dan gak stuck di sana. Life must go on right?!” tutupnya.
Saat ini, Ayu aktif di organisasi Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) dan sedang menikmati perannya sebagai ibu rumah tangga. Anda bisa mengunjungi blognya di https://sukamakancokelat.com/.
Baca juga:
Kenali Herpes Simplex (HSV) Serta Risikonya pada Pasangan dan Anak
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.