Tingginya kasus kekerasan seksual pada anak, perkosaan ayah kandung di Indonesia nampaknya belum akan menemui titik akhir. Peristiwa ini pun baru-baru ini kembali terungkap.
Bukannya melindungi buah hati, seorang ayah asal Jambi tega memerkosa anak kandungnya sendiri. Lebih memprihatinkan lagi, sang ayah yang menjadi pelaku melakukan tindakan asusila tersebut hingga 100 kali.
Kasus perkosaan ayah kandung selama tiga tahun terbongkar
Hal ini disampaikan Wakasat Reskrim Polresta Jambi Iptu Irwan, ia menuturkan SD (42 tahun) melakukan tindakan asusila hingga 100 kali.
Entah apa yang merasuki SD (42), pria asal Kelurahan Besar, Kecamatan Alam Barajo, Jambi sehingga tega menyetubuhi anak kandungnya sendiri, RA (12).
“Pelaku sudah lebih dari 100 kali menyetubuhi anak kandungnya sendiri layaknya pasangan suami istri,” ungkapnya dikutip dari laman Kompas, Kamis (20/02).
Irwan memaparkan peristiwa ini berlangsung dalam kurun waktu tiga tahun, yakni sejak 2017 hingga 2020. Aksi pelaku terhenti pada 29 Januari 2020 setelah terbongkar oleh kepolisian. Hal itu ia lakukan tanpa sepengetahuan istri dan tetangga sekitar.
“Pelaku sering melihat korban mandi,” jelas Irwan. Hal inilah yang ditengarai memicu pelaku melakukan aksi tidak senonohnya tersebut.
Istri sakit, menjadi alasan di balik tindakan asusila
Parahnya, aksi ini turut dilakukan saat sang istri sakit keras dan hanya bisa terbaring tak berdaya di kasur. Akibat penyakitnya, istri SD lalu meninggal dunia pada Januari 2018.
Sepeninggal sang istri, aksi bejat ini justru semakin sering dilakukan SD terhadap anaknya.
Menurut keterangan, SD nekat melakukan aksinya lantaran istrinya tidak bisa melayaninya.
“Istri saya sudah meninggal dan saya sebagai lelaki normal ingin seperti pasangan suami-istri lainnya, tapi tidak kesampaian,” tutur SD tertunduk lemas.
Kasus ini membuat SD harus mendekam di penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia dijerat Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman penjara selama 15 tahun.
Hukum untuk pelaku pemerkosaan di Indonesia
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”).
Perautan ini kemudian diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perppu 1/2016”).
Sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (“UU 17/2016”), maka pemerkosa anak (termasuk anak kandungnya) dapat dijerat dengan Pasal 81 ayat (3) Perppu 1/2016.
Melansir Hukum Online, berikut bunyi pasal tersebut:
Pasal 81 Perppu 1/2016
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
- Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak juga menyertakan hukuman tambahan antara lain:
- Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
- Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
- Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
- Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.
Hukuman kebiri kimia untuk pelaku perkosaan di Indonesia, bagaimana nasibnya?
Polemik hukuman ideal bagi pelaku pemerkosaan masih menjadi perdebatan, salah satunya hukum kebiri kimia. Wacana hukuman ini pertama kali mencuat pada era pemerintahan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Usulan ini kembali merebak setelah kasus pemerkosaan terhadap Yuyun, seorang siswi SMP di Bengkulu. Pelajar berusia 14 tahun ini diperkosa 14 orang dan dibunuh sehingga memicu kemarahan banyak pihak.
Merespon kejadian ini, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan anak yang di dalamnya menyebutkan adanya tiga hukuman tambahan yakni kebiri kimia, mengumumkan identitas pelaku ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik yang dinilai akan menimbulkan efek jera terhadap pelaku.
Melalui peraturan ini, pemerintah mengubah dua pasal dari UU sebelumnya yaitu Pasal 81 dan Pasal 82 serta menambahkan satu Pasal 81A. Tak hanya itu, perppu ini memperberat hukuman pelaku kejahatan seksual yaitu hukuman mati, penjara seumur hidup, minimal penjara 10 tahun dan maksimal 20 tahun.
Sayangnya, hukuman kebiri kimia masih belum menemui titik terang lantaran mendapat penolakan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dokter menolak menjadi eksekutor karena hal ini melanggar sumpah dokter dan kode etik kedokteran Indonesia.
“Masalah hukuman tambahan yaitu kebiri rasanya buat kami dari IDI karena kita bekerja dalam koridor etik, sumpah, itu yang tidak memungkinkan,” ungkap Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran IDI Pudjo Hartono mengutip BBC Indonesia.
Pernyataan ini menimbulkan dilema lain mengingat hanya dokter yang bisa melakukan prosedur memasukkan zat kimia ke dalam tubuh manusia.
Ia menyatakan pihaknya mendukung hukuman seberat-beratnya terhadap pelaku pemerkosaan, namun hukuman kebiri sejatinya harus melalui kajian dan pertimbangan lebih dalam.
“Saat kita melakukan kajian tahun 2016 dengan referensi macam-macam apakah tindakan dengan suntik itu bisa menyelesaikan masalah? Itu kan masih tanda tanya,” sambungnya. Pudjo menilai diperlukan pembahasan mendalam terkait hal ini.
Sementara itu, dokter ahli andrologi Prof Dr dr Wimpie Pangkahila memaparkan kebiri kimia merupakan prosedur menyuntikkan zat kimia anti-androgen ke tubuh akan sebabkan hormon testosteron menurun dan gairah seksual akan hilang.
Nantinya akan terjadi efek samping antara lain berat badan bertambah, penumpukan lemak, dan pengeroposan tulang terjadi lebih cepat. Kehidupan tidak akan berjalan optimal karena akan mengganggu fungsi kognitif. Ditambah lagi, diperlukan penyuntikkan berulang jika menginginkan efek yang diharapkan. Selain itu, seseorang yang telah disuntik kebiri bisa kembali normal.
Berlawanan arah, hukum kebiri kimia didukung sepenuhnya oleh Deputi Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Sujatmiko yang menegaskan bahwa jika hukuman ini bisa dilaksanakan tetap akan memerhatikan koridor hukum yang berlaku.
Hukuman ini tidak berlaku bagi pelaku yang masih di bawah umur dan akan diawasi secara ketat oleh ahli jiwa dan ahli kesehatan.
Baca juga :
Polemik RKUHP: Korban perkosaan terancam dipenjara jika aborsi, Parents setuju?
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.