“Assalamuálaikum. Ibu pulang,” salamku memasuki rumah selepas pulang kerja. “Alam. Ibu, nenen”, jawab si bontot anak lelaki satu-satunya di keluarga kami. “Sebentar ya, dek. Ibu cuci tangan dan mandi dulu. Main dulu ya sama kakak-kakak cantik”, balasku kepada si balita ganteng. Raungan merengek pun mulai dipertontonkan si kecil yang mengiba meminta menyusu kepadaku. Inilah sedikit cerita tentang tantangan mencari jurus menyapih yang ampuh untuk anak-anakku.
Anak bontot lelakiku satu bulan lagi akan berusia 2 tahun. Hal ini berarti menjadi periode untuk berstrategi bagaimana bisa menyapih dengan penuh cinta, dan tanpa paksaan. Berkaca dari kedua kakaknya, masa-masa menyapih terasa seperti nuansa “Jeritan Hati Balita Disapih”, dan ada pula lancar jaya seperti jalan tol yang lengang, hehe.
Menantangnya Proses Menyapih Anak-anakku
Berbagai jurus kulakukan untuk menyapih ketiga buah hatiku. Pertama, jurus menyapih anak pertama adalah berdamai dengan waktu, “Let it flow…”. Pada si kakak tertua, masa menyapih adalah masa-masa penuh drama bercucuran air mata, hehe. Menjelang dua tahun, si kakak pertama sudah dibisiki, diberitahukan dengan lucu-lucuan bahwa kakak sudah besar, sudah waktunya berhenti nenen.
Akan tetapi, saya lebih sering berada di rumah sejak anak pertama berusia 1,5 tahun karena sedang menjalani tugas belajar pendidikan master di salah satu PTN, sehingga kakak enggan meminum susu dan lebih menyukai “nenen”. Drama puting lecet dan berdarah karena digigit, hingga mencoba-coba menakuti dengan menggunakan obat merah dan jamu pahit pada PD pun juga dilakukan.
Namun, saya terus mengASIhi anak pertama hingga 2,5 tahun yang diakhiri dengan episode saya “ngambek” sebab memang pada saat itu puting PD sedang terluka akibat gigitan kakak. Saya pun tidak memberikan ASI sebelum tidur selama 3 hari, hingga akhirnya keterusan dan si kakak pun berhenti menyusu.
Artikel terkait: Menyapih Anak Saat Pandemi, Haruskah Ditunda?
Kedua, proses menyapih si anak tengah begitu ringan, hanya dengan strategi ibu berdiet. Si kakak kedua berhenti sendiri untuk tidak menyusu lagi di usia 1,5 tahun ketika saya yang overweight ataupun obesitas dengan menjalani diet. Pada masa diet ini, yang dilakukan saya yaitu mengurangi asupan kalori yang berlebihan dengan mengurangi konsumsi makanan-minuman yang berkalori tinggi dan membakarnya dengan aktivitas fisik secara rutin minimal 2x seminggu selama 1,5 jam.
Kekurangan dari metode diet yang dilaksanakan adalah tidak melalui konsultasi dengan ahli gizi atau nutrisionis serta tidak konsisten. Pada akhirnya, ada kemungkinan si kakak ini merasa “kurang” pada rasa dan nutrisi pada ASI saya sehingga menyebabkan anak kedua ini jika disusui merasa “tidak kenyang”. Pasca masa ketidakkenyangan karena ASI dan harus didukung dengan susu tambahan, 7 hari kemudian si kakak sudah tidak mau nenen lagi.
Alhamdulillah, mudah sekali rasanya menyapih anak kedua saya ini. Tanpa isak tangis dan bonus tubuh ibunya mulai kembali ke BB normal. Bahkan, di malam hari juga tertidur dengan nyenyak dan cenderung tidak meminta susu.
Ketiga, jurus menyapih bagi si bontot yang lahir menjelang pandemi COVID-19 cukup menantang. Mengingat saya lebih banyak bersamanya karena sistem bekerja dari rumah (work from home, WFH) selama hampir 2 tahun. Oleh karena itu, sebagai jurus ketiga yang bisa saya lakukan adalah dukungan support system dari keluarga dengan beramai-ramai kita berusaha memberikan pengertian kepada si adik sambil bercanda.
Tak lupa, kami semua mengalihkan perhatian dengan mengajak bermain untuk lupa dengan nenen. Saya pun mengurangi menawarkan nenen ketika menghadapi sikap tantrumnya, serta berdoa semoga periodisasi menyapih ini bisa berjalan baik.
Artikel terkait: Susah menyapih anak? Contek cara unik selebgram ini dalam menyapih sang buah hati
MengASIhi adalah Investasi Bangsa
Sungguh, masa mengASIhi seperti sedang bermain rollercoaster, seru, mengasyikan, sekaligus juga menegangkan. Dekapan antara ibu dan anak ketika sedang menyusui menjadi pengalaman yang tak terlupakan dan bonding yang menyentuh hingga hati dan pikiran. Demikian pula, “potek hati” ini saat proses menyapih hingga anak tidak mau menyusu lagi kepada ibunya.
Begitu banyak artikel dan publikasi ilmiah tentang manfaat dan kebaikan ASI. Studi dari The Global Breastfeeding Collective, pada 2017 menunjukkan bahwa satu negara akan mengalami kerugian ekonomi sekitar $300 miliaar per tahun akibat rendahnya cakupan ASI Eksklusif yang berdampak pada meningkatnya risiko kematian ibu dan balita serta pembiayaan kesehatan akibat tingginya kejadian diare dan infeksi lainnya.
Negara hadir untuk memahami pentingnya ASI dan pemberian ASI sebagai hak dasar warga negara yang dipenuhi dan dijaga dengan baik. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif, pemerintah telah menjamin dan melindungi para ibu yang memberikan ASI kepada anak-anaknya.
Artikel terkait: 7 Cara Menyapih Anak Tanpa Cabai atau Brotowali, Busui Wajib Tahu!
Produk hukum ini mengatur berbagai hal untuk keberhasilan pemberian ASI ekslusif seperti inisiasi menyusu dini (IMD), pendonor ASI, informasi dan edukasi oleh para konselor laktasi, hingga penyediaan ruang menyusui di tempat bekerja dan fasilitas umum.
Oleh karena itu, buat para ibu yang bisa memberikan ASI kepada anak-anaknya, berbahagialah selalu dan nikmati masa-masa itu karena masa-masa indah itu tak akan terulang lagi. Bagi yang sulit ataupun tidak bisa memberikan ASI, jangan kecewa karena orang tua lebih mengerti dan memahami pilihan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Ditulis oleh Dwi Handriyani, UGC Contributor theAsianparent.com
Artikel UGC lainnya:
Sering Garuk Telinga Hingga Lecet, Ternyata Anakku Alami Kondisi Ini
Mengenal Uniknya Mama-tomo, Circle Pertemanan Ibu-Ibu Jepang
Ceritaku Mengajak Anak Autis Berwisata ke Ciwidey dan Mendapat Reaksi Tak Terduga
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.