Adalah Juliana Cen, seorang ibu yang memiliki anak kembar dengan kondisi sensory processing disorder.
Suatu kondisi di mana otak kesulitan menerima dan merespons informasi yang masuk melalui pancaindra. Sensory processing disorder ini sebelumnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan disfungsi integrasi sensorik.
Pada awalnya, saat mengetahui buah hatinya memiliki kondisi khusus, Juliana Cen memilih untuk diam. Dalam artian tidak semua keluarga dan koleganya mengetahui kondisi buah hatinya.
Jika banyak orangtua yang sedang mengalami masalah yang berat, kemudian memilih untuk menceritakan masalahnya. Mungkin dengan bercerita, untuk dukungan semangat, hingga jalan keluarnya, tidak dengan Juliana. Semula ia memilih untuk menutupi kondisi anak kembarnya yang SPD, termasuk pada rekan-rekan kerjanya.
Seiring berjalannya waktu, ia pun merasa kewalahan mencari sekolah untuk anak-anaknya hingga beujung membuatnya stres. Tak disangka, jalan keluar justru datang setelah ia terbuka dengan rekan kerjanya. Ia merasakan benar allship yang ada di lingkungan kerjanya.
Berikut ini cerita lengkap Juliana Cen mengenai kondisi anak kembarnya dan allship yang diberikan rekan sekerjanya.
Cara Juliana Cen Hadapi Gangguan SPD Anaknya, Libatkan Allship
Juliana Cen, Perempuan Tangguh dan Teguh Pendirian
Juliana Cen merupakan keturunan etnis Tionghoa yang lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Layaknya anak dari orangtua yang memiliki usaha, setelah lulus sekolah Juliana sempat diminta untuk tak melanjutkan kuliah dan langsung meneruskan mengurus bisnis keluarganya. Tapi ia menolak dan memilih menggapai cita-citanya bekerja di bidang teknologi.
Kebetulan ibunya juga mendukung pilihannya. Sebagai ganti, ia menunjukkan keseriusannya belajar dengan lulus kuliah dengan predikat summa cum laude dengan IPK 4.0.
Tak ingin membuang waktu, setelah diwisuda Juliana segera pindah ke Jakarta dan bekerja di salah satu perusahaan perangkat IT. Singkat cerita, ia bertemu jodohnya, menikah, dan melahirkan putra kembarnya Allen dan Darren di tahun 2015. Baru setelah usia anaknya beranjak 2 tahun, Juliana bergabung bersama Microsoft Indonesia. Kini 3 tahun kemudian, ia sudah berada di posisi Senior Partner Development Manager (PDM).
Artikel terkait: Pesan manis untuk semua ibu bekerja: “Kerja keras Anda tidaklah sia-sia…”
Anak Kembarnya Lahir Prematur dan SPD
Anak-anak Juliana lahir dalam kondisi prematur. Seiring berjalannya waktu, ia memperhatikan tumbuh kembang anaknya tak seperti balita pada umumnya. Kedua putranya berjalan dengan berjinjit, suka mengulang-ulang pertanyaan alih-alih menjawabnya, dan sulit dalam berbicara.
Dokter mendiagnosa anak-anaknya menderita SPD (Sensory Processing Disorder). Yaitu, gangguan di mana otak salah menginterpretasikan informasi atau hal yang dialaminya.
Lahir prematur. Hanya itu rasanya yang diketahui teman sekantor Juliana mengenai kondisi anaknya. Soal SPD, Juliana tak pernah menceritakannya. Juliana enggan bercerita, ia malas meladeni kalau-kalau mereka bertanya hal-hal yang pada akhirnya sulit mereka pahami akhirnya –mengenai kondisi anaknya.
Belum lagi jika diam-diam ada yang mengoloknya. Ia tidak siap dan takut menjadi emosional. Tanpa disadari, Juliana pun semakin tertutup mengenai keluarganya.
Artikel terkait: Mengenal Mutisme Selektif, Gangguan Bicara dan Kecemasan yang Kerap Dialami Balita
Berawal dari Kesulitan Mencari Sekolah untuk Anak Kembarnya
Kisah ini dimulai saat Juliana Cen mencari fasilitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk anak kembarnya yang berusia 5 tahun, Allen dan Darren. Tak disangka, proses pencarian itu berlangsung lama, hingga berminggu-minggu. PAUD memang banyak, tapi yang bisa menerima kondisi kedua putranya yang didiagnosa gangguan sensori atau sensory processing disorder (SPD), bisa dibilang tidak ada.
Di minggu-minggu penuh perjuangan itu, Juliana sampai merelakan waktu akhir pekannya. Ia bahkan mengambil cuti ekstra untuk dapat mengunjungi beberapa fasilitas prasekolah di Jakarta. Tapi tak satupun menawarkan program yang dibutuhkan putranya. Seharusnya ia sudah bisa mengira, sekolah untuk anak berkebutuhan khusus pasti sangat sulit ditemukan.
“Saya mengkhawatirkan masa depan mereka. Jika saya dipanggil Tuhan lebih dulu, apakah anak-anak saya bisa menjaga diri sendiri? Itu adalah kekhawatiran terbesar saya,” kata Juliana.
Stres Menghadapi Masalahnya Sendirian
Memikirkan tak juga mendapat sekolah untuk kedua putranya, Juliana menjadi stres dan sulit tidur. Hingga ia tak tahan lagi menanggung semua itu. Dan akhirnya ia menjadi sangat emosional. Ia meluapkan perasaannya dan menceritakan kisah kedua anaknya kepada rekan-rekannya di perusahaan tempat ia bekerja, Microsoft Indonesia.
Tak disangka, ia justru mendapatkan banyak sekali dukungan. Semua temannya tak hanya memberikan rasa empati dan semangat, tapi juga tawaran bantuan untuk menemukan fasilitas prasekolah yang cocok bagi anaknya. Yang lebih di luar dugaan, allyship dari teman-temannya berlanjut hingga mengumpulkan dana untuk kebutuhan anaknya.
Artikel terkait: Penelitian: Punya komunitas membantu ibu melawan stres dan optimis soal parenting
Pentingnya Allship
Berkat bantuan dari teman sekerjanya, Juliana akhirnya menemukan prasekolah yang programnya sesuai dengan kebutuhan putra-putranya. Ia juga bisa mendaftarkan anak kembarnya dalam program terapi bicara dan integrasi sensorik. Biaya untuk dua terapi ini sangat mahal, namun berkat dukungan orang-orang yang ada di perusahaannya, ia bisa menutupinya.
“Saya didorong untuk lebih terbuka dengan kolega saya dan menjelaskan bahwa saya harus meninggalkan kantor pada pukul 5 sore agar saya bisa berkonsultasi dengan terapis anak-anak saya,” kenang Juliana.
Ia juga bergabung dalam sebuah forum diskusi bagi karyawan tempatnya bekerja yang memiliki kondisi neurodiverse. Bagi Juliana, komunitas seperti ini penting. Karyawan berkumpul tak hanya menceritakan pekerjaan mereka, tapi bisa saling bercerita mengenai masalah di luar pekerjaan, dan mencari jalan keluar yang positif di sana.
“Menurut saya ini sangat penting, dan saya bersyukur bahwa Microsoft mempromosikan inklusi dan persekutuan (allyship) karena hal itu membantu menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi orang-orang untuk berbicara dan saling peduli. Ini membantu memperkuat tim dan menciptakan hasil yang lebih baik.”
Sekarang, Juliana berharap, dengan apa yang didapatkan anaknya, mereka bisa tumbuh menjadi anak-anak yang mandiri dan cemerlang di masa depan. Ia pun menyadari, bagi orangtua yang memiliki anak dengan kondisi spesial, betapun pada awalnya dirasa sulit untuk menerima dan menceritakannya, tak perlu malu untuk meminta bantuan pada orang lain.
Baca juga:
id.theasianparent.com/general-anxiety-disorder