Mengenakan Jilbab Sejak Dini Bikin Krisis Identitas pada Anak? Begini Kata Psikolog

Memakaikan jilbab kepada anak sejak usia dini tidak melulu akan berdampak pada krisis identitas, asalkan orangtua memerhatikan hal-hal yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Memakaikan jilbab untuk anak memang bukan hal asing bagi sejumlah keluarga muslim. Terlebih dengan makin maraknya perkembangan gaya hidup islami membuat banyak orang berlomba-lomba memperbaiki kehidupan keagamannya.

Salah satu contohnya yaitu tren orangtua, baik dari kalangan biasa hingga publik figur, yang mulai memakaikan jilbab ke anak perempuan mereka. Bahkan, ini dilakukan sejak usia sangat kecil.

Artikel Terkait: Wajib atau Tidak Pakaikan Jilbab kepada Anak? Ini Kata Ulama dan Hadis

Gambar: Freepik

Belakangan ini memang tengah ramai diperbincangkan tentang memakaikan jilbab kepada anak sejak usia dini. Ada pula orangtua yang mulai memakaikan jilbab kepada anaknya sejak bayi.

Akan tetapi, hal tersebut justru menjadi kontroversi. Khususnya tentang kekhawatiran apakah benar jilbab (hijab) dapat membuat anak mengalami krisis identitas?

Seorang psikolog anak, Farraas A. Muhdiar, memberikan penjelasannya mengenai benarkah bahwa membiasakan anak menggunakan hijab dapat menyebabkan ia mengalami krisis identitas atau kesulitan dalam menetapkan identitasnya?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Untuk tahu penjelasannya lebih lanjut, mari disimak, Parents.

Bagian yang Menjadi Identitas Anak

Mengutip dari laman Instagram pribadi psikolog anak Farraas A. Muhdiar, anak sebenarnya mulai bisa mengembangkan identitasnya bahkan sejak bayi. Beberapa hal yang menjadi bagian dari identitas anak, antara lain:

  • Apa yang aku bisa?
  • Apa jenis kelaminku?
  • Lalu, apa yang diucapkan oleh orang lain tentangku?
  • Apa agama dan sukuku?

Bagian-bagian dari identitas ini akan terus berkembang. Di setiap tahapan usia anak akan terus muncul pertanyaan-pertanyaan baru di benaknya terkait siapa dirinya yang sebenarnya. Hal ini pun akan mencapai puncaknya ketika anak memasuki usia remaja.

Pencarian Identitas Anak

Memasuki usia remaja, anak mulai mencari tahu "identitas" dirinya. | Gambar: Freepik

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Saat anak memasuki usia remaja, mereka mulai bergelut dengan pencarian identitasnya. Secara psikologis, usia perkembangan pada remaja berkisar antara usia 11 hingga 20 tahun. Memasuki masa remaja, anak pun akan mengalami banyak perkembangan yang signifikan, mulai dari perubahan fisik, kognitif, emosional, dan sosial.

Di masa remaja inilah sering kali bisa menjadi saat-saat tertentu di mana anak merasakan emosi yang bergejolak. Anak mulai berfikir tentang masa depannya.

Pertanyaan-pertanyaa seperti "siapa aku?", "untuk apa aku diciptakan?", "aku bagian dari kelompok apa?" hingga "aku mau jadi apa nanti?" biasanya akan sering muncul di benak mereka.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan bagian dari pencarian identitas anak. Pencarian identitas ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli bernama Erikson.

Erikson (2017) mendefinisikan identitas sebagai konsepsi koheren tentang diri, membuat tujuan-tujuan, nilai-nilai, dan keyakinan saat individu berkomitmen kuat.

Remaja perlu mengetahui apa identitasnya untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang bahagia dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pada masa remaja, anak perlu bimbingan yang baik untuk menuntun dan membantu mereka dalam membentuk identitas diri. Ini bertujuan agar ia tidak kehilangan arah terhadap identitas mereka.

Artikel Terkait: Psikologi Anak : Ketika Anak Merasa Dirinya Berbeda

Apakah Pemakaian Jilbab untuk Anak Bisa Sebabkan Krisis Identitas?

Mengutip dari akun Instagram Farraas, menurut Phinney, 1998; dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009, ada 4 kemungkinan kondisi identitas budaya yang bisa terjadi pada anak, yaitu:

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

1. Diffuse

Diffuse adalah suatu kondisi di mana anak tidak mau mengeksplorasi budaya yang dimilikinya dan tidak menunjukkan yang baik terhadap budaya itu.

Contoh: "Ngapain sih harus pake jilbab? Temen-temen aku dan artis-artis yang aku suka pada nggak pakai, kok..."

2. Foreclosed

Foreclosed adalah kondisi di mana anak tidak mengeksplorasi budayanya, tetapi juga tidak menyalahkan hal tersebut.

Contoh: "Ibuku pakai jilbab, aku disuruh pake juga. Ya sudahlah, nurut saja."

3. Moratorium

Ini adalah kondisi di mana anak mulai mengeksplorasi budayanya, tetapi ia merasa bingung dengan identitasnya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Contoh: "Ternyata ada banyak orang keren yang nggak berjilbab, ya. Kenapa aku beda sendiri? Kenapa aku lebih cocok temenan sama yang nggak berjilbab?"

4. Achieved

Kondisi di mana anak tertarik mengeksplorasi dan memahami budanyanya, serta menerima identitasnya atau apa yang ada pada dirinya, inilah yang disebut dengan achieved.

Contoh: "Ada perempuan yang pakai jilbab. Ada juga yang nggak. Ya nggak apa-apa. Aku pakai jilbab karena aku tahu alasannya apa."

Lantas, bagaimana dengan pemakaian jilbab sejak dini? Apakah jilbab untuk anak bisa membuatnya mengalami krisis identitas atau kesulitan dalam menetapkan identitasnya ketika ia kelak beranjak remaja?

Menurut Farraas, kondisi krisis identitas mungkin saja terjadi pada anak yang  mengenakan jilbab (hijab), apabila:

  • Anak menganggap jilbab sebagai aksesoris yang membatasi diri.
  • Anak merasa lebih cocok dan tertarik dengan perilaku orang-orang yang tidak berjilbab.
  • Hanya memakai jilbab karena diwajibkan oleh orangtua atau sekolah tanpa memahami alasannya.
  • Anak baru saja menemukan lingkungan baru (setelah sebelumnya selalu berada di lingkungan homogen, yaitu lingkungan yang sejenis dengannya, di mana semua perempuan yang ia kenal memakai jilbab).

Dari hal ini, yang paling penting Parents ketahui adalah krisis identitas bisa dialami oleh siapa saja, bukan hanya anak yang memakai jilbab sejak kecil. Jadi, membiasakan anak mengenakan jilbab sejak usia dini boleh-boleh saja dan tentu ini merupakan hal yang baik, asalkan Parents memerhatikan ketentuan di bawah ini:

  • Tanamkan pemahaman akidah (keimanan) kepada anak terlebih dahulu.
  • Sebelum balig, anak hanya "belajar". Artinya, anak boleh melepas jilbabnya saat ia merasa tidak nyaman.
  • Jelaskan dengan baik mengapa anak perlu memakai jilbab.
  • Pastikan anak memiliki role model atau komunitas yang berjilbab.
  • Berikan kebebasan kepada anak untuk menentukan gaya dan warna jilbab yang ia suka (selama masih memenuhi aturan berjilbab yang benar).
  • Berilah contoh yang baik serta tekankan kepada anak bahwa berjilbab dan berperilaku baik adalah hal yang sama pentingnya.

Artikel Terkait: Jangan salah pilih, ini 5 koleksi jilbab anak yang nyaman dan berkualitas

Dos and Don'ts (Apa yang Sebaiknya Orangtua Lakukan saat Pakaikan Jilbab untuk Anak?)

Agar anak merasa nyaman mengenakan jilbab dan tidak mengalami krisis identitas, Farraas juga memberikan beberapa hal yang seharusnya dan tidak seharusnya Parents lakukan, antara lain:

Don'ts (daripada begini):

Dos (lebih baik begini):

Mengatakan bahwa anak harus memakai jilbab supaya tidak disiksa di neraka atau tidak dilihat laki-laki Mengatakan bahwa anak harus memakai jilbab sebagai bentuk ketaatan dan kecintaan kepada Allah SWT
Menghukum saat anak menolak memakai jilbab atau diam-diam melepas jilbab Mencoba memahami apakah ada masalah yang sedang dialami oleh anak
Membatasi aktivitas anak karena alasan, "Kamu kan berhijab..." Tetap memberikan anak kebebasan untuk berkeksplorasi dan berekspresi selama tidak bertentangan dengan aturan
Menjelek-jelekkan perempuan yang tidak berjilbab di depan anak Menjelaskan bahwa setiap orang memiliki kesiapan yang berbeda-beda untuk berjilbab

Parents, itulah beberapa penjelasan dari seorang psikologi anak mengenai pemakaian jilbab untuk anak sejak usia dini. Apapun keputusannya, setiap orangtua berhak mendidik anak-anaknya sesuai dengan nilai-nilai yang mereka percayai. Jadi, yuk saling menghargai, bukan menghakimi.

Baca Juga: