Beberapa waktu lalu saya mengunjungi seorang sahabat di luar kota. Usianya terpaut 4 tahun di atas saya yang hampir kepala tiga. Saya punya anak, dia tidak punya anak.
Sebenarnya saya tidak pernah perlu menanyakan alasannya memilih untuk tidak punya anak. Tanpa penjelasan pun saya mengerti, karena pernah (kalau tidak bisa dibilang masih) merasakan hal yang sama.
Namun sekali-dua sahabat saya ini cerita tentang bagaimana orang melihat pilihan hidupnya, yaitu cenderung menghakimi, kadang mengatai.
Sebagai seorang ibu baru, saya pun mulai memiliki pemikiran seperti para ibu lainnya. Pikiran yang isinya mungkin sudah 95% hanya berkutat seputar anak. Kadang, hal ini membuat saya ingin menyarankannya teman saya untuk punya anak juga.
Untungnya saran saya berupa candaan, sehingga tidak menciptakan ketidaknyamanan. Bagaimana jika saya bertemu orang baru dan tidak sengaja mempertanyakan pilihan hidupnya?
Apakah ada etiket bergaul dengan perempuan tidak punya anak? Bisakah kita bertanya tentang keadaan mereka? Lebih jauh, bertanya mengapa tidak ingin punya anak?
Saya mencoba menjadi perpanjangan lidah para perempuan yang secara sadar dan tanpa paksaan tidak ingin punya anak. Saya menjanjikan anonimitas dan mendorong keterusterangan.
Berikut adalah apa yang mereka katakan.
Jangan menghakimi perempuan tidak punya anak
Anak-anak tidak untuk semua orang. Ya, ada perempuan yang tidak rindu atau mempunyai hasrat untuk hamil dan menjadi seorang ibu.
Ketika banyak orang mempertanyakan mengapa seolah perempuan ‘melawan kodratnya’, Lina justru balik bertanya, “Aku benar-benar tidak mengerti mengapa orang tampaknya berpikir perempuan harus punya anak? Bagaimana jika pernikahan gagal, dan selalu perempuan yang terjebak mengurus anak, hidup dalam kemiskinan setelah mengorbankan karir dan kebebasan hidupnya, demi mimpi yang konyol.”
“Membentuk keluarga mungkin penting untuk kelangsungan hidup di masa lalu, tapi benar-benar tidak untuk sekarang. Dunia ini berantakan. Membawa anak-anak ke dalam kekacauan ini adalah tindakan egois dan tidak bertanggungjawab,” lanjut perempuan paruh baya ini.
Bagi perempuan yang telah menikah sejak tahun 2000 ini, tidak ingin punya anak bukanlah keputusan, melainkan sesuatu yang sudah ia rasakan sejak kecil.
“Sejak kecil aku benar-benar tahu bahwa dalam keadaan apapun, aku tidak ingin punya anak sendiri. Tapi aku suka anak-anak, dan bisa sangat dekat dengan beberapa ‘Anak Girli’, yang sampai saat ini masih menganggap aku sebagai ibu mereka, hingga anak-anak mereka menganggap aku neneknya,” cerita Lina.
Lina sangat senang mengajar, dan sebagian besar pekerjaannya melibatkan anak-anak. Anak Girli, yang merupakan singkatan dari anak pinggir kali, adalah salah satu komunitas belajar anak-anak jalanan di mana Lina terlibat di dalamnya.
Menurut Lina, sebagai perempuan tidak punya anak ia bisa fokus melakukan hal-hal baik dan menjadi orangtua bagi anak-anak kurang beruntung yang lain.
“Hidupku sangat lengkap. Aku telah memberikan hidup yang baik bagi ratusan anak-anak, bukan saja hidupku sendiri. Keegoisan tidak ada hubungannya dengan tidak ingin punya anak.”
Ya, dalam hal ini saya sangat setuju. Menjadi orangtua bagi anak-anak sendiri tidak serta merta membuat kita menjadi perempuan yang lebih baik, lebih dari perempuan lain.
Jangan menganggap saya tidak suka anak-anak
Sebagian besar perempuan yang saya wawancarai sangat menikmati menghabiskan waktu dengan anak-anak orang lain. Mereka punya banyak keponakan, dan menikmati peran mereka sebagai bibi.
Seperti Dela yang hingga usia kepala tiga masih memilih untuk tidak punya anak. Tapi sebagai bibi, dia tak menolak bahkan senang jika dititipi para ponakannya. Tak jarang sampai seharian.
“Sering dititipi ponakan kakak ipar gua. Senang karena buat gua kayak teman main,” kata Dela.
Sama seperti Dara yang menikmati menjadi ‘baby sitter’ untuk anak-anak teman atau saudaranya, “gua ini child whisperer. Belum nemu deh anak yang gak mau gua ajak main,” kata Dara sambil tertawa.
Jangan kucilkan saya
Dara bekerja di salahsatu Pusat Kajian Perlindungan Anak, sehingga bisa dibilang Dara cukup mengerti dunia anak-anak meski tidak punya anak sendiri.
Namun, ada saja para ibu yang menganggap Dara tidak mengerti apa-apa tentang anak. “Ada teman gua yang hubungan kami jadi agak merenggang karena gua gak setuju dengan keputusan dia yang menurut gua ‘menelantarkan’ anaknya,” cerita Dara.
“Karena gak punya anak, gua suka dianggap gak punya pengetahuan soal jadi ibu, jadi komentar atau pendapat sering diacuhkan. Apa ya harus jadi ibu baru bisa komentar? Apa harus jadi ibu dulu baru bisa ngomong tentang apa yang baik dalam mendidik anak?” Dara balik bertanya.
Padahal, Dara menempuh pendidikan S2 di bidang anak, pekerjaan Dara pun masih seputar anak.
Jangan kasar
Para perempuan yang saya wawancarai telah mendengar beberapa komentar yang sangat tidak sensitif dan kasar. Berikut ini adalah contoh-contoh perkataan yang sebaiknya tidak kita lontarkan kepada perempuan yang tidak ingin punya anak.
“Kamu belum jadi perempuan seutuhnya kalau belum punya anak.”
“Siapa yang akan mengurus kamu kalau sudah tua nanti?”
“Kamu gak suka anak-anak ya?”
“Aku yakin kamu bakal menyesal nanti.”
“Oh jadi kamu lebih memilih karir daripada punya anak.”
“Punya anak adalah keputusan terbaik yang pernah aku ambil.”
Semakin tua dan dewasa, para perempuan ini lebih mampu mengatasi komentar-komentar kasar yang dilontarkan di depannya. Dengan bersikap cuek, atau kadang menghindari berinteraksi dengan orang-orang semacam itu.
Bagaimanapun, mereka tidak punya kewajiban menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu atau mentolerir pernyataan menjengkelkan. Justru ini adalah tanggungjawab kita, sebagai seorang ibu, untuk peka terhadap perasaan mereka.
Kita semua adalah perempuan mandiri dengan pilihan atau keadaan yang menempatkan kita menjadi seorang ibu ataupun tidak. Jangan buang-buang waktu untuk menilai satu sama lain. Sebagai perempuan, marilah saling mendukung pilihan masing-masing.